Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Sewindu dan Polemik LPDP
18 Maret 2020 7:53 WIB
Diperbarui 21 Juli 2020 11:02 WIB
Tulisan dari Muhamad Rosyid Jazuli tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini tepatnya 30 Januari 2020, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP RI baru berulang tahun sewindu. Sepertinya tak banyak yang tahu dan jarang ada ulasan terkait di media.
ADVERTISEMENT
Meski sepi peliputan, LPDP jelaslah bukan lembaga ‘kaleng-kaleng’. Saat ini, lembaga yang terkenal sebagai pemberi beasiswa sekolah paska sarjana (magister dan doktoral) telah melahirkan puluhan ribu awardee (mereka yang akan dan sedang kuliah) dan alumni. Dana abadi pendidikannya pun tak main-main, mencapai 55 triliun (2019).
Sejalan dengan tujuan agungnya, LPDP tak lepas dari berbagai kritik dan polemik, khususnya terkait program dan alumni studi luar negerinya.
LPDP dan polemiknya
Sejak kelahirannya, LPDP terus mengalami perubahan dari sistem manajemen hingga proses seleksi beasiswanya. Misalnya, yang awalnya tak ada tes berbasis komputer, kini LPDP melakukannya.
Polemik pun muncul. Pada 2017 sempat ramai isu wawancara berbau SARA , transparansi proses dan belanja anggaran seleksi . Baru-baru ini, polemik LPDP mengarah pada diskursus apakah para penerima beasiswa ‘plat merah’ boleh mengkritik pemerintah atau tidak .
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, LPDP beserta programnya disiapkan untuk tujuan jangka panjang untuk menyiapkan ‘SDM unggul untuk Indonesia maju’. Jelas, pendidikan berkualitas adalah kunci memperbaiki generasi dan kemajuan bangsa.
Sebelum LPDP hadir, bagi sebagian besar anak muda Indonesia, meraih pendidikan paska sarjana berkualitas, khususnya di luar negeri, yang biayanya menjulang, adalah mimpi di siang bolong.
Rata-rata biaya studi magister di AS, misalnya, sebagai tujuan favorit awardee LPDP, adalah antara 450 juta-1,5 milyar Rupiah pertahun, belum termasuk biaya hidupnya. Tentunya, bukan angka yang terjangkau bagi umumnya para pemuda negeri +62 ini.
Kehadiran LPDP mendadak membuka keran akses ke pendidikan tinggi yang dulunya hanya angan-angan. Singkat cerita, dalam perjalanan sewindunya, ada sekitar LPDP sudah punya 24 ribu awardee–termasuk saya pribadi, dan 10 ribu lebih alumni.
ADVERTISEMENT
Awalnya LPDP tak wajibkan alumni studi luar negeri ini untuk langsung pulang seusai kuliah. Namun kini semua harus kembali ke Indonesia usai kuliah. Koleksi polemik LPDP pun bertambah.
Sebagian alumni benar-benar pulang dan meneruskan karier lamanya khususnya mereka yang memang awalnya bekerja sebagai pegawai pemerintah (ASN, TNI-POLRI), atau menemukan karier baru yang lebih baik di sektor swasta.
Namun, dari berbagai cerita dan kesaksian saya sendiri, banyak alumni memilih bertahan di luar negeri meski telah berkomitmen dalam kontrak beasiswa bahwa akan pulang seusai studi.
Alasan utamanya, mereka mendapatkan pekerjaan dan kehidupan lebih baik di luar negeri. Buat apa pulang kalau belum jelas kesempatan pekerjaannya. Pedih sebenarnya mendengar argumen ‘egois’ semacam itu. Sebab ini bisa jadi wujud arogansi alumni yang tak mau balas budi pada bangsa yang telah biayai studinya yang mahalnya selangit.
ADVERTISEMENT
Brain-drain dan lapangan kerja
Masalah alumni LPDP ‘kabur’ sebenarnya hanya sebuah puncak dari ‘gunung es’ permasalahan mendalam bangsa ini, yakni mandeg-nya penyediaan lapangan kerja bagi generasi milenial berpendidikan tinggi .
Sudahlah lumrah bahwa mereka yang punya talenta muda berpendidikan tinggi, dalam hal ini termasuk alumni LPDP studi luar negeri, untuk berburu kesempatan kerja dan hidup yang lebih baik. Keengganan pulang usai studi umumnya dimotori kekhawatiran akan ketiadaan lapangan kerja di dalam negeri.
Ditambah, tak semua alumni pendidikan tinggi, tak terkecuali alumni LPDP, punya jiwa kewirausahaan dan daya juang yang dapat mendorong mereka untuk bisa menciptakan usaha secara mandiri.
Karena itu, penciptaan lapangan kerja untuk kalangan pemuda berpendidikan tinggi ini perlu disikapi serius oleh pemerintah RI. Meski terdengar agak egois, kebijakan yang juga bertujuan menampung arus balik alumni LPDP ini, bisa jadi malah strategis. Negara-negara lain telah mengadopsi cara pandang ini di awal pembangunannya. Misalnya, Singapura.
ADVERTISEMENT
Pada era 60-80 an, Singapura banyak mengirim pemudanya untuk studi ke negara maju seperti Amerika dan Inggris untuk menciptakan SDM yang unggul (seperti visi LPDP). Dalam memoarnya, Lee Kuan Yew (2000) memprediksi, jika Singapura tak siapkan lapangan kerja untuk para talenta yang segera berarus balik waktu itu, mereka akan memilih ‘kabur’ dari Singapura.
Singapura kemudian membuka lapangan kerja bagi pemuda lulusan luar negeri ini di berbagai bidang seperti pemerintahan, swasta, militer, hingga politik. Sedari awal kemerdekaannya, Singapura berkomitmen menyiapkan SDM terbaiknya untuk bekerja di bidang-bidang tersebut.
Di sektor swasta misalnya, di era 60 an, negeri ini ‘mati-matian’ datangkan berbagai perusahaan multinasional (MNC) untuk membuka kantor dan pabriknya sekaligus membuka lapangan kerja. Alhasil, berkat kegigihannya, sejak tahun 90-an, Singapura sukses menjalankan kebijakan itu. Sejak itu pula, negeri Singa itu relatif tak punya masalah soal pengangguran dan jadi negara maju nan dihormati di dunia.
ADVERTISEMENT
PM Lee Kuan Yew (LKY) pernah khawatir bahwa jika talenta muda terbaik Singapura dibiarkan beremigrasi, pembangunan negeri itu bisa mati. Pada satu kesempatan di tahun 70an, LKY pernah serius meminta agar PM Australia waktu itu Gough Whitlam untuk membatasi jumlah imigran Asia ke Australia. Sebab jika tidak, Asia termasuk Singapura akan kehilangan para talenta terbaiknya yang mencari kehidupan lebih baik di negeri Kangguru, sementara negeri Singa sedang berbenah.
Emigrasi talenta ini sering disebut brain-drain yang berefek pada matinya pembangunan sebuah kawasan atau negara karena kekeringan SDM berkualitas. Jika tak ingin terkena efek brain-drain ini, pemerintah Indonesia perlu serius membuka lapangan kerja seluas-luasnya, lewat berbagai kebijakan, baik itu untuk alumni LPDP dan juga untuk talenta-talenta muda terbaik lainnya.
ADVERTISEMENT
Sunnatullah
Kembali ke Indonesia, terkait pembukaan lapangan kerja, salah satu opsi kebijakan jangka pendek yang bisa dipertimbangkan adalah berbagai kementerian dan lembaga pemerintah, sipil maupun militer perlu mengajak alumni LPDP untuk berkarier bersama mereka.
Saya yakin banyak inisiatif yang bisa didukung oleh kerja alumni LPDP lewat mekanisme satuan kerja independen, misalnya untuk membuat kajian kepastian kebijakan ‘ini dan itu’ yang, sesuai penelitian Paramadina Public Policy Institute (2014) , jadi permasalahan serius di Indonesia.
Selain itu, partai-partai politik bisa membuka rekrutmen kader dari para alumni LPDP untuk ikut serta membesarkan organisasi mereka. Syaratnya, tentu para parpol juga mau membenahi sistem pengkaderan mereka.
Alumni LPDP sudah punya wadah bernama Mata Garuda. Perannya bisa lebih dioptimalkan dengan aktif mengkaji dan melobi potensi kolaborasi antara pemangku kepentingan di berbagai sektor baik di pemerintahan dan swasta dengan para talenta terbaik yang dilahirkan oleh LPDP.
ADVERTISEMENT
Ini semua sekaligus menjadi pengingat bahwa pembangunan Indonesia tidak bisa hanya didasarkan pada wacana investasi dan pembangunan infrastruktur saja.
Terkait polemik bolehkah awardee dan alumni LPDP mengkritik terhadap pemerintah, sebenarnya sederhana saja. Adalah sunnatullah bahwa para awardee LPDP adalah pribadi-pribadi yang kritis. Pemerintah RI perlu lebih ‘selaw’ menyikapinya.
Sebab, ketrampilan berpikir kritis (critical thinking) itu yang jadi kekuatan utama mereka bisa meraih beasiswa dan juga bertahan dalam sulitnya menyelesaikan kuliah. Kritik-kritik tersebut seharusnya dipahami sebagai rasa cinta para awardee pada bangsanya dan keinginan kuat mereka untuk berperan dalam segenap upaya dan kebijakan memajukan Indonesia.
Selamat berulang tahun sewindu LPDP! Semoga terus makin jaya!(*)
Penulis adalah peneliti di Paramadina Public Policy Institute dan awardee LPDP PK-143. Tulisan ini adalah pendapat pribadi. Terima kasih kepada Rizal Rizal, MBiotech, rekan satu PK, atas masukannya.
ADVERTISEMENT