Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berpikir Kritis dalam Koridor Syariat: Kisah Ahmad di Pondok Pesantren
8 Juli 2024 12:16 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Nasrullah Maruf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suatu hari, di salah satu kelas fikih, Ustaz Ali membahas tentang pentingnya mengikuti syariat Islam dan bagaimana syariat itu menjadi panduan hidup bagi umat Islam. Ahmad, seperti biasa, mengajukan pertanyaan yang cukup kritis. “Ustaz, mengapa kita harus berpikir hitam-putih dalam mengikuti syariat? Bukankah dunia ini penuh dengan warna dan perbedaan pendapat?”
ADVERTISEMENT
Ustaz Ali tersenyum mendengar pertanyaan Ahmad. “Ahmad, pertanyaanmu sangat bagus dan menunjukkan bahwa kamu berpikir kritis. Namun, kita harus memahami bahwa syariat bukanlah bentuk pemikiran hitam-putih yang kaku. Syariat adalah jalan hidup yang Allah tetapkan untuk kita, yang mengajarkan kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam syariat, memang ada hal-hal yang jelas halal dan haram, namun itu bukan berarti kita menafikan keberagaman warna kehidupan.”
Ahmad terlihat masih berpikir keras. “Tapi Ustaz, bagaimana dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama? Bukankah itu menunjukkan bahwa tidak ada satu kebenaran mutlak?”
Ustaz Ali menjawab dengan bijaksana, “Benar, Ahmad. Islam menghargai perbedaan pendapat dalam konteks ijtihad, yaitu usaha maksimal seorang ulama untuk memahami dan menerapkan hukum syariat. Namun, perbedaan ini tetap berada dalam koridor yang telah ditetapkan oleh syariat. Ada prinsip-prinsip dasar yang tidak bisa ditawar, seperti keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah pondasi yang harus kita pegang teguh.”
ADVERTISEMENT
Ahmad mulai mengerti, namun ia masih ingin memastikan, “Jadi, apakah salah jika kita menerima pemikiran yang berbeda selama itu tidak bertentangan dengan syariat?”
Ustaz Ali mengangguk. “Tepat sekali, Ahmad. Islam mengajarkan kita untuk terbuka terhadap perbedaan dan bersikap toleran, tetapi kita juga harus tahu batasannya. Pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam tidak bisa kita terima. Selain itu, kritik dan diskusi harus dilakukan dengan niat yang baik dan tujuan yang konstruktif, bukan untuk menjatuhkan atau merendahkan pihak lain.”
Ahmad tersenyum lega. Ia mulai memahami bahwa mengikuti syariat bukan berarti berpikir secara kaku dan hitam-putih. Sebaliknya, syariat memberikan panduan yang jelas agar umat Islam bisa hidup dengan baik dan adil, sambil tetap menghargai perbedaan dalam kerangka yang benar.
ADVERTISEMENT
Kisah Ahmad ini menjadi pelajaran berharga bagi para santri lainnya. Mereka belajar bahwa dalam Islam, berpikir kritis dan terbuka sangat dianjurkan, namun tetap harus dalam batasan syariat yang telah Allah tetapkan. Dengan demikian, mereka dapat menjalani kehidupan dengan bijaksana, penuh warna, dan tetap teguh pada prinsip-prinsip agama yang mereka yakini.
Meskipun kisah ini fiktif, situasi yang digambarkan sering terjadi di banyak pondok pesantren. Ahmad, seorang santri yang rajin dan cerdas, mengalami perubahan pandangan setelah melihat dunia luar yang penuh dengan kebebasan. Kisah ini mengilustrasikan tantangan yang dihadapi santri dalam menjaga keseimbangan antara menjalankan syariat Islam dan mengapresiasi kebebasan serta perbedaan pendapat yang ada di luar pesantren.