Lelaki Itu Menangis di Pelukan Merapi

19 Februari 2017 11:32 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kawasan Gunung Merapi (Foto: Pixabay)
Semua berawal dari basecamp Barameru Boyolali atau lebih dikenal dengan basecamp Selo yang menjadi jalur utama pendakian gunung sejuta cerita: Merapi.
ADVERTISEMENT
Bermula dari sana, 4 orang sahabat hendak mendaki bersama di pengujung semester 6 masa kuliah. Mereka mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, dan sama-sama anak rantau dengan berbagai latar belakang dan idealisme berbeda.
Sahabat pertama sebut saja Beo, karena sifatnya yang menghibur, tidak bisa diam, dan sering menghujat dengan menirukan gaya bicara seseorang layaknya burung beo.
Sahabat kedua jika juga diibaratkan seekor burung, adalah burung bangkai. Untuk memperhalus, kita akan sebut saja dengan Nasar --nama lain burung bangkai.
Disebut demikian karena ucapannya yang serbakotor dan cenderung pemalas. Namun ia pintar melihat kesempatan dalam kesempitan, layaknya burung bangkai.
Sahabat ketiga adalah jelmaan burung walet karena sosoknya yang selalu mencari tempat ternyaman dan tersejuk untuk bersarang a.k.a tidur. Ia juga sosok yang ke mana-mana selalu berkoloni, tak bisa sendiri; mungkin karena takut akan rasa sepi di hati.
ADVERTISEMENT
Sahabat terakhir adalah sosok misterius bagai burung hantu yang pendiam dan bermuka datar. Tak banyak yang tahu karakter aslinya, bahkan sahabat dan keluarganya sekalipun.
Terlepas dari perbedaan karakter, keempat sahabat ini dapat menyatu layaknya es campur.
Kawasan New Selo (Foto: winstercavers.org.uk)
Kembali ke basecamp Selo, kondisi saat itu sangat dingin dan berkabut untuk ukuran waktu senja. Keempat sahabat tersebut pun mencium pertanda tak baik.
Akhirnya mereka tetap memutuskan untuk mendaki selepas isya. Sembari menunggu isya, mereka beristirahat di sebuah saung kosong dekat pelang “New Selo” yang sekilas mirip pelang “Hollywood” di Los Angeles.
Seperti biasa, untuk mengisi waktu, keempat sahabat membentuk forum debat kusir, terpancing oleh pandangan idealis si Burung Hantu. Debat seperti ini biasanya berujung 3 vs 1, di mana Beo, Nasar, dan Walet selalu berseberangan dengan si Hantu.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa jam berdebat mengenai isu-isu terpanas seperti pro-kontra gaya hidup glamor, politik kampus, Liga Italia, hingga poligami, azan Isya dari surau warga setempat akhirnya menghentikan debat kusir.
Debat membara pun padam oleh dingin air wudu pegunungan yang membuat gemetar sekujur tubuh.
Pendakian Malam Hari (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Perjalanan menyusuri gunung setinggi 2930 mdpl (meter di atas permukaan laut) pun dimulai.
Burung Hantu --yang dengan gaya khasnya membawa tas tenda yang cukup berat dengan tangannya dan tas ransel yang biasanya ia gunakan untuk laundry-- memimpin pendakian.
Sementara Beo, Nasar dan, Walet --bergaya khas pendaki lengkap dengan tas gunung dan jaket gunung yang konon antiair-- menyusul di belakang.
Pendakian Merapi konon tidak memerlukan waktu panjang, hanya sekitar 7 jam. Namun trek yang dilalui akan sangat menanjak dan minim trek “bonus” yang landai.
ADVERTISEMENT
Benar saja, perjalanan menuju Pos 1 dengan trek tanah keras yang dikelilingi perkebunan penduduk, dilalui dengan rangkaian ocehan Beo --yang menandakan betapa lelahnya pendakian meski baru dimulai.
Baru sebentar melanjutkan pendakian, mereka tiba-tiba bertemu sesosok wanita berkulit putih berambut panjang. Mungkin bukan kuntilanak, karena ia tak sendiri. Dia bersama ketiga teman perempuannya sedang beristirahat di Pos Bayangan 1.
Dian Sastrowardoyo (Foto: Dian Sastrowardoyo/Facebook)
Wanita berkulit putih berambut panjang itu mengeluh sudah tak kuat lagi mendaki dan ingin turun saja. Ketiga temannya ingin menemani, tapi perempuan dengan paras mirip Dian Sastro itu tak mau mengecewakan teman-temannya --yang pasti tidak akan melanjutkan pendakian jika menemaninya turun.
Maka, dengan “modus” dibalut wajah penuh simpati, Nasar berkata “Wahai Adinda, biar aku yang mengantar kamu turun. Aku sudah biasa turun-naik gunung dan akan menyusul teman-temanku ini di Pos 2 nanti.”
ADVERTISEMENT
Perempuan itu pun mengiyakan, disertai restu teman-temannya. Dia lalu ditemani Nasar turun. Sedangkan Beo, Walet, dan Hantu melanjutkan perjalanan mendahului kelompok perempuan teman “Adinda”.
Mereka sampai di Pos 1 setelah 2 jam pendakian yang diwarnai sejumlah “drama”.
Saat beristirahat di Pos 1 yang berupa gazebo mini, Beo dan Walet memutar lagu “Ada yang Hilang” dari Ipang. Mereka berduet bernyanyi bersama sambil mengingat para mantan kekasih yang meninggalkan mereka.
Sementara si Burung Hantu duduk di bebatuan dengan tatapan kosong sambil menikmati batang demi batang tembakau, entah apa yang dipikirkan. Ia tak hanyut dalam nyanyian Beo dan Walet meski ia pun belum lama ini patah hati.
Begitulah Si Burung Hantu, dalam keadaan apapun tak pernah menunjukkan emosi. Hanya saat bermain bola, dia berteriak dan tersenyum lebar.
ADVERTISEMENT
Ketiga sahabat melanjutkan perjalanan ke Pos 2 dengan trek makin menanjak yang didominasi medan bebatuan. Rencananya, di Pos 2 mereka akan menununggu Nasar yang beruntung dapat menemani sang Dian Sastro.
Setelah 2 jam mendaki dan menyalip sejumlah pendaki yang mayoritas perempuan, mereka akhirnya sampai di Pos 2 yang memiliki gazebo seperti Pos 1.
Beo pun mulai bertanya-tanya apakah perempuan-perempuan yang mereka dahului selama pendakian benar-benar manusia. Terlebih, banyak kisah mistis di gunung ini seperti cerita seorang ratu cantik bernama Nyai Gadung Melati yang menjaga Gunung Merapi.
Tiba-tiba suara nyanyian wanita terdengar. Apakah itu sang Nyai?
Sama sekali bukan. Suara itu berasal dari mulut Nasar yang menyanyikan lagu Hivi “Siapkah Kau 'Tuk Jatuh Cinta Lagi" dengan menirukan suara sang mantan vokalis, Dalila Azkadiputri.
ADVERTISEMENT
Nasar sedang dimabuk asmara gara-gara si Adinda.
Empat sahabat akhirnya memutuskan untuk bermalam di pos karena Walet terlelap tidur dengan sleeping bag-nya di pojokan gazebo dan tidak bisa dibangunkan.
Melihat lelap Walet, Beo dan Nasar ikut tidur di gazebo, mengapit Walet dengan sleeping bag hangat.
Burung Hantu tak mengikuti para sahabatnya ke alam mimpi. Ia memasak air dan menyeduh secangkir kopi Toraja.
Sejumlah pendaki yang melewati Pos 2 memandang tajam ke arah tiga sahabat yang tidur di gazebo --menandakan ada sesuatu yang salah.
Burung Hantu, setelah puas menikmati kopi Toraja, duduk di sisa celah gazebo dengan menggunakan sleeping bag. Tak lupa ia mengatur alarm ponsel untuk berdering pada jam 3 --start summit attack yang akan menghabiskan waktu sekitar 2,5 jam dari Pos 2.
ADVERTISEMENT
Lima jam berlalu, Walet yang tidur paling lama akhirnya terbangun dan melihat jarum jam berada di angka 5.
Keempatnya melewatkan alarm Burung Hantu.
Gazebo Pos 2 (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Walet pun begegas membangunkan sahabat-sahabatnya, bertanya bagaimana mereka bisa melalui malam tanpa tenda di petang yang beku.
Selain itu, gazebo harusnya jadi tempat peristirahatan sementara bagi para pendaki.
Beo yang terbangun tak merespons pertanyaannya Walet dan langsung mengutak-atik tasnya mencari makanan.
Keempat sahabat itu akhirnya merebus kentang dan mengisi botol minum masing-masing dengan kopi Toraja sebagai perbekalan summit attack.
Sejenak mereka menikmati momen awal matahari terbit.
Pemandangan sunrise dari pos 2 Merapi/ (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Perjalanan kembali dimulai. Melintasi batas vegetasi dan trek penuh kerikil dan bebatuan, keempat sahabat perlahan menapaki jalur menuju Pasar Bubrah seraya menikmati pemandangan yang tak mereka rasakan semalaman.
ADVERTISEMENT
Trek yang tak begitu menanjak, membuat suara Beo tak terdengar. Mungkin ia masih mengantuk.
Seperti biasa, Burung Hantu memimpin pendakian. Namun kali ini kecepatannya meningkat 2 kali lipat seperti kerasukan roh kambing gunung.
Jalur pendakian menuju Pasar Bubrah Merapi (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Setelah satu jam, akhirnya mereka tiba di Pasar Bubrah --punggung bukit di bawah kawah Merapi yang jadi lokasi favorit pendaki untuk beristirahat, karena hanya berjarak 1 kilometer menuju puncak Merapi.
Pasar Bubrah konon wilayah kerajaan gaib dan pasar dedemit yang akan ramai tiap malam Jumat.
Si Burung Hantu yang sampai duluan di Pasar Bubrah terlihat sedang berbincang dengan sekelompok pendaki yang nge-camp di sana.
Beo, Nasar, dan Walet yang penasaran lantas bertanya kepada Burung Hantu tentang apa yang mereka bicarakan.
Kondisi berkabut di Pasar Bubrah Merapi (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Tapi Burung Hantu hanya diam dan berjalan menyusuri kawasan Pasar Bubrah yang lapang, sembari sesekali melempar batu ke arah timur --dan tiba-tiba muncul sekelompok monyet dari arah tersebut yang kemungkinan kena timpuk lemparan si Burung Hantu.
ADVERTISEMENT
Entah apa yang kali ini merasuki dirinya kali ini.
Melihat tingkah Burung Hantu yang aneh, ketiga sahabat makin penasaran dan bertanya kepada sekelompok pendaki yang sebelumnya berbincang dengan Burung Hantu.
Ternyata pokok persoalan terkait cuaca.
Kondisi Pasar Bubrah Gunung Merapi yang berkabut (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Kabut tebal terlihat menyelimuti puncak Merapi. Angin kencang pun membuat beberapa pendaki masih terjebak, tak bisa turun dari puncak.
Ketiga sahabat pun menghampiri si Burung Hantu. Mereka berempat kemudian berdebat akan melanjutkan pendakian atau tidak.
Melihat trek bebatuan dan kerikil menuju Puncak, serta pekat kabut yang menyelimuti gunung, belum lagi ancaman hujan, membuat Beo, Nasar, dan Walet memutuskan untuk mundur.
Tapi Burung Hantu masih kukuh ingin melanjutkan pendakian meski para sahabat melarang.
Ia berjalan ke bebatuan di bawah jalur pendakian puncak. Namun kemudian berhenti dan duduk memandang puncak gunung.
ADVERTISEMENT
Ketiga sahabatnya memantau dari kejauhan.
Setengah jam berlalu dan Burung Hantu tak kunjung beranjak dari tempatnya. Ia tampak seperti melamun tak berkesudahan.
Kawasan Pasar Bubrah Gunung Merapi (Foto: Dok. Bimasakti Aryo)
Sesekali ia mengusap mata, mencegah air mata penuh drama yang berlebihan.
Ada apa gerangan?
Si Burung Hantu berhati beku menangis di pelukan Merapi!
Apakah kegagalan mencapai puncak sebegitu menyakitkan baginya?
Burung Hantu lalu mengajak para sahabatnya untuk turun.
Ia diam. Diam sepanjang perjalanan turun.
Selama ini ia memang selalu diam. Namun diam kali ini terasa berbeda, ditambah rinai hujan yang mengiringi perjalanan turun tersebut.
Beo, Nasar, dan Walet sampai tak ada yang berani bersuara.
Trek pendakian Gunung Merapi. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Sesampainya di basecamp, Nasar akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada Burung Hantu kenapa ia menangis.
ADVERTISEMENT
Si Burung Hantu pun menjawab:
Merapi memang tak pernah ingkar janji. Mungkin pemaknaan dari ‘janji’ tersebut berbeda-beda, namun bagiku janji yang dimaksud adalah janji Merapi untuk membuka batin setiap tamu dan penduduknya. Merapi tak akan membiarkanmu pulang dengan tangan kosong.
Aku menangis karena aku merasa gagal. Bukan sekadar gagal mencapai puncak, tapi lebih dari itu. Mungkin aku malah akan menyesal bila mencapai puncak yang telah memberi peringatan dengan tewasnya seorang pendaki asal Yogya beberapa bulan lalu.
Kegagalan mencapai puncak membuka mata batinku akan rentetan kegagalan sepanjang hidupku. Kegagalanku menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tuaku, kegagalanku menjadi sahabat yang baik, dan kegagalanku merintis tangga idealismeku untuk mengubah dunia yang keruh ini.
ADVERTISEMENT
Aku tak tahu berapa lama lagi aku akan hidup. Mungkin tangisan ini teguran bagiku...
untuk memulai hidup penuh keberhasilan.
Ikuti rangkaian kisah Catatan Pendaki di sini