Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Menelusuri Ambang Kekuasaan dalam Dinamika Politik Kontemporer
15 Januari 2025 10:05 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Adiaat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada kali ini saya ingin sedikit membahas atau memberi pandangan terkait Presidential Threshold yang dimana, Dalam konteks politik Indonesia saat ini, isu presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas. Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ketentuan ambang batas minimal 20% kursi DPR, kita kini memasuki babak baru dalam pemilihan presiden yang bisa memperluas partisipasi politik. Langkah ini menjadi sinyal positif menuju demokrasi yang lebih inklusif, di mana semua partai yang lolos verifikasi bisa mencalonkan kader mereka tanpa terhalang oleh batasan kursi atau suara.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini disambut baik oleh partai-partai non-parlemen dan memberikan harapan baru bagi masyarakat untuk memiliki lebih banyak pilihan dalam memilih pemimpin. Dengan semakin banyaknya calon presiden, masyarakat kini dihadapkan pada beragam visi dan misi yang bisa dipilih. Namun, tantangan yang muncul adalah bagaimana masyarakat bisa memahami dan mengevaluasi agenda masing-masing calon di tengah banyaknya pilihan yang ada. Ini menuntut adanya pendidikan politik yang lebih mendalam agar pemilih bisa membuat keputusan yang tepat.
Dari perspektif akademis, penghapusan presidential threshold juga memicu diskusi tentang representasi politik dan oligarki. Banyak kritikus berpendapat bahwa ambang batas tersebut cenderung menguntungkan elit politik tertentu dan menghalangi calon-calon baru. Dengan keputusan ini, diharapkan akan ada pergeseran dalam struktur kekuasaan politik, di mana lebih banyak suara dari berbagai kalangan bisa terwakili. Ini adalah langkah penting untuk mencegah dominasi satu atau dua partai besar dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun keputusan ini membuka peluang bagi lebih banyak calon, tantangan logistik dan finansial tetap ada. Kampanye politik akan semakin mahal karena setiap calon harus berjuang keras untuk menarik perhatian pemilih. Oleh karena itu, calon presiden perlu berpikir kreatif dalam strategi kampanye mereka agar bisa bersaing secara efektif. Ini juga menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pendanaan kampanye untuk mencegah praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Selanjutnya, keputusan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi politik. Dalam sistem demokrasi, legitimasi pemerintah sangat bergantung pada dukungan rakyat. Dengan lebih banyak pilihan yang tersedia, diharapkan pemerintah baru bisa mendapatkan legitimasi yang lebih kuat dari masyarakat. Namun, hal ini hanya bisa terwujud jika proses pemilihan berlangsung secara adil dan transparan, serta jika pemerintah mampu memenuhi harapan rakyat setelah terpilih.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, perjalanan menuju pemilu 2029 akan menjadi ujian bagi sistem demokrasi Indonesia. Dengan dihapuskannya presidential threshold, kita memasuki era baru di mana partisipasi politik semakin terbuka lebar. Namun, tantangan untuk menjaga stabilitas politik dan memastikan representasi yang adil tetap menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi dan saling menghormati perbedaan pendapat demi terciptanya pemerintahan yang efektif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Muhammad Adiaat Harahap,
Mahasiswa FSH UIN Jakarta