Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Suara Masyarakat dan Kontrol Politik dalam Berkehidupan Manusia
22 Januari 2024 10:56 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Adib Al-Fikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam hitungan minggu, masyarakat Indonesia akan menghadapi sebuah pesta. Pesta ini menjadi sebuah landasan utama ketika ingin mendirikan negara yang berkemakmuran dan sejahtera. Inilah pesta demokrasi, yang menurut banyak orang adalah sebuah duka daripada pesta. Saya menyadari semenjak saya memiliki hak untuk menjadi memilih dari antar berbagai suara yang memohon kepada saya untuk dipilih, melihat pro dan kontra ketika pilihan saya-dan kebanyakan orang-adalah malapetaka untuk kita.
ADVERTISEMENT
Inilah politik, dengan basis berupaya untuk memberikan keadilan untuk manusia yang terlibat. Politik sesungguhnya dalam keseharian kita memberikan sumbangsih terhadap kita melakukan praktik dan produksi. Upaya politisasi ini nyatanya adalah ujung tombak kita menjatuhkan satu sama lain, dalam sisi negatifnya.
Dalam tulisan ini saya berupaya untuk membuka kembali tentang suara masyarakat (yaitu suara saya dan Anda) dalam melihat politik sesungguhnya terjadi dalam kehidupan saya dan tentunya pesta politik yang akan terjadi beberapa minggu kemudian hanya bagian receh temeh dari politik itu sendiri.
Politik dalam Oxford Dictionary adalah upaya untuk mendapatkan kekuasaan dalam publik dan upaya untuk mendapatkan keputusan yang berdampak pada suatu negara atau masyarakat.
Saya menggarisbawahi kekuasaan (power) merujuk kewenangan yang dimiliki oleh individu atau kolektif tertentu. Dalam hal ini sejalan dengan Max Weber yang melihat bahwa kekuasaan adalah medium dalam upaya individu atau kelompok untuk mencapai keinginannya.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, Friedrich Nietzsche dalam will to power (kehendak untuk berkuasa), manusia memiliki hasrat untuk berkuasa, umumnya diperoleh melalui menguasai atau mempengaruhi orang lain. Upaya untuk berkuasa tidak selalu dengan kekerasan, menindas individu atau kelompok. Ada usaha yang lebih halus dengan memberikan pengetahuan dan wacana (konteks bahasa) sebagai upaya untuk menstimulus masyarakat. Inilah konteks pengetahuan adalah kekuasaan sebagaimana yang pernah disebutkan oleh Michael Foucault.
Suara masyarakat dalam istilah demokrasi adalah suara Tuhan. Sejak kecil kita diajarkan untuk percaya pada kata mufakat, percaya suara yang terbanyak, percaya pada satu suara dengan keyakinan tertingginya. Hal ini tidaklah salah, melainkan ada figur atau aktor yang memainkan suara masyarakat demi kepentingan dia sendiri. Indonesia dengan negara religius dan merepresentasikan suara masyarakat sebagaimana suara Tuhan adalah hal yang akan kita anggap kebenaran. Ini terjadi sejak kita diperlihatkan dengan berbagai macam wacana yang ditemukan dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, Foucault menegaskan bahwa berkuasa tidak selalu berkonotasi negatif. Semua itu tergantung pada tujuan individu atau kelompok untuk berkuasa. Dalam arti, individu atau kelompok itu akan dianggap baik selama bertujuan memang untuk menyatukan suara masyarakat dengan perjuangan, dan pada akhirnya berjalan dengan istilah politik sebagaimana yang saya sebutkan di awal.
Kita saat ini hidup dalam konteks impersonal, terpisah, tetapi akan menyatu ketika beban memang ditakdirkan untuk kita. Kita sebenarnya adalah komunitas dalam skala besar, dan suara masyarakat adalah upaya terbesar dalam melihat politik yang lebih kompleks tetapi memberikan dampak besar terhadap kita melakukan berbagai aktivitas.
Kita terbiasa melakukan politik, dan itu lumrah. Dan dengan kehadiran pesta demokrasi ini, mari kita lihat kembali tentang suara kita, apakah akan dilihat sebagai sarana saja, atau memang dilihat sebagai andil dalam tujuan mereka untuk penyatuan akan kemakmuran dan kesejahteraan.
ADVERTISEMENT