Konten dari Pengguna

Budaya Politik Kaula dan Pemilu 2024

Muhammad Akbar Ramadhan
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Sebelas Maret
14 Mei 2023 20:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Akbar Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: kpu.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: kpu.go.id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tahun 2024 Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi besar-besaran. Tepatnya, 14 Februari 2024 akan terhelat pemilihan umum (pemilu) untuk memilih calon presiden dan wakil presiden, kemudian calon anggota dewan perwakilan rakyat (DPR), dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), dan dewan perwakilan daerah (DPD).
ADVERTISEMENT
Pemilihan kepala daerah (pilkada) juga bakal digelar serentak pada tahun 2024, yaitu 27 November 2024. Lewat gelaran pilkada ini nantinya akan memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota di semua wilayah Indonesia.
Tahun sebelumnya, pemilu dan pilkada tidak pernah dilakukan bersamaan di tahun yang sama. Ini akan menjadikan pemilihan terbesar pertama yang akan dilaksanakan di Indonesia.
Hal ini sesuai dengan konstitusi negara Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) Pasal 22E Ayat 1 yang berisi bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, yang mana pemilu sebelumnya dilaksanakan pada tahun 2019.
Peraturan mengenai pelaksanaan pilkada serentak dilakukan sesuai dengan aturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 Ayat 8 yang mengatakan pengambilan suara serentak di wilayah RI.
ADVERTISEMENT
Pengaruh politik dari pemilihan umum sebelumnya masih akan terlihat pada pemilu 2024 untuk eksekutif dan legislatif pusat dan daerah. Pengaruh tersebut berupa orientasi, sikap, atau perilaku politik masyarakat yang masih ada hingga saat ini dan disebut sebagai budaya politik.

Lantas, Apa Itu Budaya Politik Kaula?

Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Masyarakat dengan budaya politik kaula/subyek sudah relatif maju (ekonominya maupun sosial). Masyarakat dengan budaya politik kaula partisipasi politiknya yang masih bersifat pasif tetapi memiliki frekuensi yang tinggi kepada sistem politiknya.
Atensi dan ketertarikan dalam partisipasi mereka kepada objek-objek input dan output sistem politik masih sangat rendah mendekati 0 (nol). Orientasi kepada sistem politik lebih mengutamakan sifat normatif dan afektif dari pada kognitif.

Partisipasi Masyarakat Budaya Politik Kaula dalam Pemilu 2024

Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Kualitas pemilihan umum serentak pada tahun 2024 akan ditentukan oleh budaya politik yang berpengetahuan kebangsaan dalam beberapa bulan ke depan. Semua pihak yang terlibat dalam pemilihan umum, termasuk pemilih, kandidat, pemimpin partai, media, pemerintah, dan penyelenggara serta pengawas pemilu, harus memasukkan wawasan patriotik ini ke dalam sikap perilaku mereka.
ADVERTISEMENT
Masyarakat dengan budaya politik kaula meyakini jika posisinya sebagai pemilih dalam pemilu 2024 tidak akan menentukan perubahan apapun dalam politik. Mereka hanya memandang bahwa posisi mereka sebagai subjek adalah posisi pasif.
Mereka hanya memilih partai atau seseorang yang sudah mereka pahami, seperti tentang riwayat perjalanan politik partai atau tokoh-tokoh dari partai tersebut. Karena mereka hanya melihat dirinya sebagai subjek yang tidak memiliki adanya kekuatan atau pengaruh yang besar yang dapat mengubah sistem.
Kenyataan dari budaya politik seperti ini, jika tidak menyukai kepada sistem politik, maka hanya bisa diam dan memendamnya dalam hati.
Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat kelompok menengah yang tinggal di perkotaan atau seringkali terjadi kepada masyarakat yang tidak terdapat struktur input yang terdifirensiasi untuk menyalurkan aspirasi mereka.
ADVERTISEMENT
Mereka bisa dikategorikan cukup mempunyai kesadaran politik yang memadai, yaitu memahami mengenai situasi dan dinamika dalam politik terkait situasi dalam pemilihan umum yang terjadi. Maka dari itu, mereka secara lazim menerima semua kebijakan atau keputusan yang dilakukan oleh pejabat atau kepala pemerintahan yang nantinya mereka akan pilih.