news-card-video
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Ketika Ramadan Berubah Menjadi Ajang Konsumsi Berlebihan

Muhammad Ali Murtadlo
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo
3 Maret 2025 11:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ali Murtadlo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi budaya konsumtif masyarakat. Sumber : freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi budaya konsumtif masyarakat. Sumber : freepik.com
ADVERTISEMENT
Ramadan adalah bulan penuh berkah, bulan yang seharusnya menjadi ajang untuk menahan diri, beribadah, dan berbagi dengan sesama. Namun, ada satu ironi yang selalu terjadi setiap tahunnya: Ramadan justru menjadi bulan konsumtif! Alih-alih menekan hawa nafsu, banyak orang justru tergoda untuk belanja lebih banyak, memasak lebih banyak, dan menghabiskan lebih banyak. Pasar dan supermarket mendadak lebih ramai dari biasanya, dan pengeluaran rumah tangga melonjak drastis. Fenomena ini begitu nyata dan terus berulang.
ADVERTISEMENT
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pengeluaran masyarakat selama Ramadan bisa meningkat hingga 20% dibandingkan bulan-bulan lainnya. Restoran, pusat perbelanjaan, hingga marketplace online kebanjiran pembeli yang seolah-olah ingin membalas dendam setelah seharian menahan lapar dan haus. Ironinya, meski kita berpuasa, konsumsi makanan malah naik dua kali lipat. Yang lebih parah, jumlah sampah makanan juga ikut meningkat drastis. Lalu, di mana esensi dari pengendalian diri yang seharusnya menjadi inti dari Ramadan?
Fenomena ini bisa dijelaskan dari berbagai perspektif. Dari sisi sosiologi, budaya konsumtif yang semakin mengakar di masyarakat turut memperburuk keadaan. Menurut teori konsumsi mencolok dari Thorstein Veblen, orang sering membeli sesuatu bukan karena kebutuhan, tetapi demi status sosial. Ramadan menjadi ajang untuk menunjukkan kemewahan: buka puasa di restoran mahal, memborong pakaian baru, atau membeli gadget terbaru dengan alasan ‘THR baru cair’. Padahal, esensi Ramadan justru mengajarkan kesederhanaan.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang psikologi, ada fenomena ‘reward effect’ yang muncul ketika seseorang menahan diri sepanjang hari. Otak cenderung memberikan kompensasi atas usaha tersebut dengan membebaskan diri untuk menikmati lebih banyak saat berbuka. Ini serupa dengan pola pikir 'Setelah berpuasa seharian, wajar jika saya memanjakan diri dengan makanan lezat dan berlimpah.' Sayangnya, tanpa kontrol yang baik, efek ini dapat berujung pada perilaku konsumtif yang berlebihan, di mana seseorang merasa perlu mengganti ‘kerugian’ selama puasa dengan mengonsumsi lebih banyak makanan atau berbelanja secara impulsif.
Kondisi ini juga berdampak pada kenaikan harga bahan pokok. Ketika permintaan melonjak, harga beras, minyak goreng, daging, hingga kebutuhan lain ikut meroket. Akibatnya, masyarakat kelas bawah yang paling terdampak. Di satu sisi, ada orang-orang yang berpesta makanan, sementara di sisi lain ada keluarga yang bahkan kesulitan membeli beras untuk sahur. Inilah ketimpangan sosial yang bertolak belakang dengan semangat Ramadan yang mengajarkan kepekaan terhadap sesama.
ADVERTISEMENT
Padahal, Islam sudah jelas mengajarkan keseimbangan. Dalam QS. Al-A’raf: 31, Allah berfirman, "Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." Rasulullah sendiri berbuka hanya dengan kurma dan air, memberi contoh bahwa yang terpenting bukanlah kemewahan dalam berbuka, melainkan kesadaran akan makna puasa itu sendiri.
Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini? Pertama, sadari bahwa Ramadan bukan tentang menumpuk makanan atau barang, tetapi tentang pengendalian diri. Jangan sampai puasa menjadi sekadar ritual fisik tanpa makna spiritual. Kedua, belanja secukupnya. Jangan mudah tergoda promo atau diskon yang membuat kita membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Ketiga, perbanyak berbagi. Jika memiliki rezeki lebih, lebih baik disalurkan untuk sedekah, zakat, atau berbagi dengan mereka yang benar-benar membutuhkan daripada memborong makanan yang akhirnya terbuang sia-sia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, mari latih diri untuk menjalani Ramadan dengan kesadaran penuh. Ramadan seharusnya menjadi bulan refleksi, di mana kita belajar bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari kemewahan materi, tetapi dari rasa cukup dan syukur atas apa yang dimiliki. Jika kita mampu menahan lapar dan haus seharian, seharusnya kita juga bisa menahan godaan untuk berlebih-lebihan dalam berbelanja dan mengonsumsi makanan.
Jadikan Ramadan sebagai momentum untuk membangun pola hidup yang lebih sederhana dan berkelanjutan. Belanja secukupnya, konsumsi seperlunya, dan berbagi sebanyak-banyaknya dengan mereka yang membutuhkan. Dengan begitu, kita tidak hanya menjalankan ibadah puasa secara fisik, tetapi juga memperkuat aspek spiritual dan sosialnya. Ramadan bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, melainkan juga tentang melatih kedisiplinan, empati, dan pengendalian diri. Kini saatnya kita kembali ke makna Ramadan yang sesungguhnya: bulan yang mendekatkan kita kepada Allah, bukan sekadar bulan kemewahan berbuka. Mari mulai perubahan ini dari diri sendiri, karena perubahan kecil yang kita lakukan hari ini akan membawa manfaat besar di masa depan.
ADVERTISEMENT