Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Pelecehan Seksual, Salahkah Pakaian ?
27 Agustus 2021 10:25 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhammad Areev tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai orang yang aktif di media sosial, berita tentang pelecehan seksual (sexual harassment) seolah sudah menjadi pemandangan biasa di timeline media sosial. Pelecehan dapat terjadi pada perempuan maupun pria, pelecehan seksual kepada keduanya merupakan perbuatan kotor dan tercela.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya kita sepakat dulu apa itu pelecehan seksual ? Pelecehan yang saya maksud di sini yaitu :
Sebagai manusia yang berakal sehat tidak ada yang dapat mentolerir perilaku pelecehan seksual. Namun di sini saya hanya membahas tentang pelecehan yang umum terjadi yaitu pada wanita, di mana banyak yang menyalahkan pakaian yang dikenakan ketika pelecehan sudah terjadi.
Ironis memang, ketika menilik isi komentar tentang peristiwa pelecehan seksual di media sosial tidak sedikit yang menyalahkan pakaian yang dikenakan korban.
Hal ini tentu saja tidak dapat dibenarkan. Apalagi jika penyalahan terhadap pakaian ini, diungkapkan oleh tokoh agama yang notabene orang yang mengajarkan tentang akhlak yang baik, tindakan terpuji. Menyalahkan pakaian terhadap kejadian pelecehan merupakan kesalahan daripada berpikir (logical fallacy). Mengapa saya mengatakan demikian ?
ADVERTISEMENT
Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 pernah membuat survei mengenai pakaian model apa saja yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual.
Hasilnya, pakaian yang dikenakan korban adalah rok panjang dan celana panjang (17,47%), disusul baju lengan panjang (15,82%), baju seragam sekolah (14,23%), baju longgar (13,80%), berhijab pendek/sedang (13,20%), baju lengan pendek (7,72%), baju seragam kantor (4,61%), berhijab panjang (3,68%), rok selutut atau celana selutut (3,02%), dan baju ketat atau celana ketat (1,89%). Yang berhijab dan bercadar juga mengalami pelecehan seksual (0,17%). Bila dijumlah, ada 17% responden berhijab mengalami pelecehan seksual.
Mereka yang menyalahkan pakaian terhadap peristiwa pelecehan seksual biasanya berargumen bahwa "tidak akan ada asap tanpa adanya api" dalam artian tidak akan adanya pelecehan seksual tanpa adanya pakaian 'mengundang' dari korban. Argumen lainnya dikarenakan korban tidak memakai pakaian yang menutup aurat sehingga wajar jika dilecehkan karena tidak mematuhi perintah agama.
ADVERTISEMENT
Mengapa saya mengatakan argumen seperti di atas adalah cacat (logical fallacy) ? yang pertama survei sudah membuktikan bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada mereka yang berpakaian terbuka. Namun, juga terjadi kepada yang mereka yang mengenakan hijab ( 17 %) dan bahkan mereka yang bercadar. Lalu sebab apa yang membuat mereka dilecehkan ketika api (pakaian) yang dimaksud tidak ada?
Jawabannya, niat dan pikiran jorok pelaku. "tidak akan ada asap tanpa adanya api" benar. Namun, di perumpaan sebab-akibat itu apinya bukanlah pakaian pelaku tapi niat dan pikiran jorok dari pelaku sehingga timbullah pelecehan sebagai asapnya (akibat).
Yang kedua, mengenai argumen korban tidak memakai pakaian yang menutup aurat sehingga wajar jika dilecehkan karena tidak mematuhi perintah agama. Sebagai orang yang beragama Islam kita meyakini bahwa menutup aurat merupakan perintah agama, apabila kita membuka aurat berarti kita sudah melanggar perintah agama.
ADVERTISEMENT
Namun, tetap saja kesalahan dari korban yang menurut keyakinan kita membuka aurat, bukan 'lampu hijau' untuk kita melakukan kesalahan yang lain yaitu pelecehan. Membuka aurat suatu kesalahan dalam sudut pandang agama dan pelecehan seksual juga kesalahan dalam sudut pandang agama dan sosial. Keduanya kesalahan tidak berkaitan dan bukan 'legal permit' untuk melakukan kesalahan yang lainnya apabila satu kesalahan dilanggar.
Sebagai manusia yang dianugerahi syahwat ataupun ketertarikan terhadap lawan jenis, agama mengajarkan bagaimana menundukkan pandangan bagi pria dan menutup aurat bagi perempuan. Keduanya dilakukan untuk menghindari terjadinya fitnah (kekacauan). Ketidakmampuan kita menundukkan pandangan tidaklah berarti jaiz (boleh) bagi kita melakukan pelecehan.
Mengutip perkataan Habib Ali Jufri, seorang ulama besar asal Yaman yang kini tinggal di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab dalam salah satu seminar di Universitas Mesir ketika ada yang bertanya tenang maraknya pelecehan di tempat umum, beliau mengatakan :
ADVERTISEMENT
Maraknya pelecehan seksual terhadap perempuan murni dari niat dan pikiran kotor dari para pelaku. Tidak ada kaitannya dengan pakaian yang dikenakan oleh wanita. Sekalipun kita menganggap bahwa korban berpakaian terbuka dan 'mengundang', itu bukan alasan untuk membenarkan perilaku pelecehan. Sebagai manusia kita memiliki free will ketika adanya sesuatu yang 'mengundang' yaitu menundukkan pandangan ataupun melecehkan. Dan sesuatu yang 'mengundang' tidak otomatis mendorong kita untuk melakukan pelecehan seksual.