Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Westerling, Kapten Garang yang Menyedihkan
23 Januari 2018 20:30 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Muhammad Darisman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Kapten Westerling (Foto: Youtube)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1516714215/wkzz0rv6fiaroauydhqm.jpg)
ADVERTISEMENT
Raymond Pierre Paul Westerling atau yang dikenal Raymond Westerling atau dengan julukan “si Turco” (karena ia lahir di Istanbul, Turki) merupakan seorang komandan perang tentara Belanda pada Perang Dunia II. Dalam peperangan, Westerling terkenal sebagai seorang pembantai yang garang.
ADVERTISEMENT
Dua di antara peristiwa besar yang dia pimpin adalah Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan, dan Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung, 23 Januari 1950.
Pembantaian di Sulawesi Selatan menjadikan namanya langsung melambung di seantero Negeri Kincir Angin. Tak main-main, sepanjang berlangsungnya kekejaman Westerling itu, disebut-sebut oleh Kahar Muzakkar terhitung korban sampai 40.000 orang (Tetapi menurut pengakuannya sendiri jumlah korban pada waktu itu hanya 600 jiwa).
Ia memimpin pasukan Special Force yang kemudian berubah nama menjadi Komandan Depot Speciale Troepen (DST) dalam pembantaian demi mencari gerilyawan republik. Karena itu siapapun yang dianggap seorang pendukung republik di Sulawesi Selatan akan ditembak di tempat.
Westerling memulai kariernya di militer sejak tahun 1940. ketika Perang Dunia II pecah, ia secara sukarela meminta kepada konsulat Belanda di Istanbul untuk menjadi salah satu tentara. Sebelum memiliki pasukan sendiri, ia dikirim untuk berperang di Mesir, Palestina, lalu menjadi pasukan elite Inggris. Di sanalah ia baru merasakan aroma perang yang sesungguhnya, ketika tahun 1944 ia diterjunkan ke Bulma.
ADVERTISEMENT
Kemudian ia memilih meninggalkan pasukan Inggris ini dan bergabung bersama Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL). Bersama pasukan ini, ia bersinar cemerlang saat diterjunkan ke Medan, Sumatra Utara untuk menghadapi pasukan Jepang. Dalam aksi tersebut, ia berhasil membebaskan tawanan pro-Belanda.
Selain kekejamannya di Sulawesi Selatan, Westerling juga melancarkan Kudeta APRA di Bandung tepat 68 tahun lalu. Meskipun misi sebenarnya dari kudeta tersebut dianggap gagal-- melakukan eksekusi terhadap Soekarno-Hatta-- tetapi hampir seratus orang TNI yang dibantai pasukan Westerling kala itu.
Ia juga terkenal sebagai tentara yang ahli dalam sabotase, peledakan, serta ahli bertarung dengan tangan kosong.
Tak urung kegarangannya di medan perang dengan taktik teror pengadilan lapangan ala-ala tentara Nazi, menjadikan ia begitu diminati banyak pihak untuk dijadikan motor dalam menjalankan misi mereka.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, diketahui banyak yang menunggangi aksi pasukan Kapten Westerling. Selain para pengusaha yang anti-republik, ada Ratu Belanda Juliana dan suaminya Pangeran Bernhard yang kabarnya disebut-sebut sebagai orang yang memanfaatkan jasa de Turk.
Buku ZKH karya Jort dan Harry mengungkapkan kemungkinan hubungan erat tindakan kudeta Kapten Westerling di Bandung dengan ambisi politik Pangeran Bernhard yang ingin mengambil alih kekuasaan Soekarno.
Barangkali, demi keselamatan banyak pihak yang terlibat di balik aksinya juga, walaupun ia dituduh telah melakukan pelanggaran HAM berat, dan begitu ingin diadili pemerintah Indonesia, ia tetap tak menjalani hukuman seumur hidupnya.
Kuat dugaan, bahkan pemberhentiannya sebagai kapten oleh Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor pun sebagai upaya mengamankan pemerintah Belanda. Bahkan, meskipun ia di depan umum mengakui sendiri kekejamannya, tetap saja ia tidak pernah dihukum pengadilan HAM.
ADVERTISEMENT
Selama pelarian demi pelariannya, ada konspirasi dari Belanda yang membuatnya selamat, ia sempat di tahan di Singapura, tetapi pemerintah Indonesia tidak berhasil memintanya dan malah ia “disenyapkan” kemudian. Begitu juga ketika ia ditangkap di Belanda, Indonesia juga gagal mendapatkannya. Sang kapten tidak pernah diadili sepanjang hidupnya.
Westerling yang Menyedihkan
![Kudeta Apra (Foto: Wikipedia)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1516692821/wgdja91iacqyk1prmpff.jpg)
Betapapun garangnya de Turk di medan laga, akan tetapi sejak lahir ia seolah sudah ditakdirkan sebagai sorang yang menyedihkan. Ia berawal menyedihkan dan berakhir menyedihkan.
Sejak usia lima tahun ia telah ditinggalkan orang tuanya yang merupakan pedagang karpet, lalu hidup di panti asuhan. Di sanalah ia terbentuk menjadi seorang yang keras dan tidak bergantung pada siapapun. Buku-buku perang yang sejak kecil dibacanya membentuk ambisinya untuk benar-benar ingin merasakan suasana perang.
ADVERTISEMENT
Ketika diberhentikan sebagai kapten tahun 1949, Dia hidup di kawasan perbukitan di Cililin dan Pacet, Jawa Barat. Dia menceraikan istrinya di London yang telah dinikahinya selama empat tahun.Kemudian pada tahun yang sama, dia menikahi perempuan Indis keturunan Prancis, Yvone Fournier. Di sana, memanfaatkan truk milik KNIL, ia hidup dengan menjalani pekerjaan sebagai penyedia jasa angkutan perbekunan.
Saat Kudeta APRA gagal, ia menjadi buronan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dan Polisi Milter Belanda. Selama dibiarkan lenyap demi alasan hubungan diplomatis, ia hidup dari pelarian ke pelarian.
Setelah pelarian panjangnya, ia dan istrinya akhirnya bisa sampai ke Belanda dan hidup di sebuah kota kecil di Provinsi Friesland. Si garang ini menjalani masa tuanya sebagai seorang penyanyi dan juga pernah membuka toko buku.
ADVERTISEMENT
Dia tidak terbunuh di medan perang, tetapi dikalahkan oleh penyakit gagal jantung pada tahun 1987. Pengabdian terhadap negaranya malah dihadiahi kambing hitam untuk dirinya.
Berpuluh tahun setelah kematiannya, akhirnya pemerintah Belanda menyatakan permohonan maaf atas Pembantaian Westerling, dan memberikan kompensasi kepada istri-istri korban pembantaian.
(Membaca lagi Kudeta APRA, 68 tahun lalu)