Konten dari Pengguna

Toleransi di Kelas Multikultural, Tugas Siapa?

Elly
Mahasiswi Universitas Pamulang Pendidikan Ekonomi S1
6 Mei 2025 10:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elly tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya percaya bahwa ruang kelas bukan hanya tempat mentransfer pengetahuan, tapi juga ruang untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah keberagaman yang semakin nyata di sekolah-sekolah kita dari perbedaan agama, suku, hingga gaya hidup guru punya peran strategis dalam menjaga agar toleransi bukan sekadar slogan, tapi jadi laku hidup sehari-hari. Sebagai seseorang yang pernah berada di kelas dengan latar belakang siswa yang sangat beragam, saya melihat betapa pentingnya kehadiran guru yang sensitif terhadap isu multikulturalisme. Guru yang tidak memihak, tidak berkomentar stereotipikal, dan mampu menciptakan ruang aman untuk semua anak. Ini bukan peran yang mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil. Kita tak bisa menutup mata: perbedaan bisa jadi sumber gesekan.
ADVERTISEMENT
Sering kali, konflik kecil bermula dari ketidaktahuan atau asumsi yang salah. Di sinilah guru perlu hadir, bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai penengah, fasilitator dialog, dan yang paling penting teladan. Bayangkan jika sejak dini anak-anak dibiasakan berdiskusi dengan sehat, mendengar pendapat yang berbeda tanpa tersulut emosi, atau bekerja sama dalam kelompok tanpa memilih berdasarkan "kelompoknya sendiri". Ini bukan hanya membentuk siswa yang toleran, tapi juga menciptakan fondasi untuk masyarakat yang lebih inklusi.
Tentu, saya sadar tidak semua guru mendapat pelatihan khusus untuk menghadapi tantangan ini. Namun, membangun kebiasaan kecil seperti menghindari candaan yang bernuansa diskriminatif, memberi kesempatan yang adil pada semua siswa, dan terbuka terhadap perbedaan, bisa jadi langkah awal yang berarti.
ADVERTISEMENT
Toleransi di kelas multikultural bukan hanya soal tugas guru. Tapi guru dengan posisi strategisnya adalah aktor utama. Dan jika peran ini dijalankan dengan sepenuh hati, saya percaya, ruang kelas bisa menjadi cermin kecil Indonesia yang lebih ramah terhadap perbedaan.Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki lebih dari 1.300 kelompok etnik dengan 700 lebih bahasa daerah. Dengan keberagaman sebesar ini, ruang kelas di kota-kota besar maupun daerah menjadi cerminan nyata dari masyarakat multikultural. Sayangnya, keberagaman ini kadang juga membawa tantangan tersendiri. Saya pernah menyaksikan bagaimana siswa yang berbeda keyakinan atau adat sering kali dijadikan bahan olokan. Tidak selalu dalam bentuk kekerasan, tapi cukup menyakitkan untuk membuat mereka menarik diri.
ADVERTISEMENT
Di sinilah guru memegang peranan kunci. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga fasilitator nilai. Dalam pandangan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara, guru sejatinya menjadi panutan, memberikan arah, dan menjadi teladan. Ini artinya, nilai-nilai seperti saling menghargai, menghormati perbedaan, dan hidup berdampingan harus tercermin dari sikap guru itu sendiri.
Sayangnya, dalam praktiknya, tidak semua guru mendapatkan pelatihan atau bimbingan dalam mengelola kelas multikultural. Hal ini diperkuat oleh laporan UNESCO tahun 2023 yang menyebutkan bahwa di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, pelatihan guru tentang pendidikan multikultural dan anti diskriminasi masih belum menjadi prioritas utama.
Namun, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Langkah awal bisa dimulai dari hal sederhana: membiasakan siswa untuk berdialog tanpa prasangka, mendorong kerja kelompok lintas latar belakang, dan menciptakan suasana kelas yang aman dari komentar bernuansa stereotip. Guru juga perlu waspada terhadap gejala diskriminasi yang mungkin tersembunyi di balik candaan, pemilihan kelompok, atau bahkan tugas-tugas kelas.
ADVERTISEMENT
Pengalaman saya sendiri menunjukkan bahwa ketika guru dengan sadar menciptakan ruang dialog—misalnya dengan diskusi lintas perspektif tentang budaya atau agama—siswa menjadi lebih terbuka dan belajar menghargai perbedaan. Bahkan dalam pelajaran seperti sejarah atau seni, guru bisa menyisipkan narasi-narasi inklusif yang menekankan kontribusi berbagai kelompok dalam membangun bangsa.
Psikolog pendidikan Elly Risman pernah mengatakan bahwa anak-anak belajar dari contoh, bukan dari ceramah. Artinya, cara guru menyapa siswa yang berbeda, cara mereka merespons isu sensitif, dan cara mereka menengahi konflik di kelas akan lebih diingat oleh siswa daripada teori tentang toleransi yang dibacakan di depan kelas.
Lebih jauh, menurut tokoh pendidikan Prof. Arief Rachman, toleransi harus ditanamkan sebagai bagian dari karakter, bukan sebagai pelajaran tambahan. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang berbasis pada nilai-nilai kebangsaan dan keberagaman perlu diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran dan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.
ADVERTISEMENT
Tentu, menumbuhkan toleransi bukan hanya tanggung jawab guru semata. Sekolah, orang tua, bahkan kebijakan pendidikan dari pemerintah turut memainkan peran penting. Namun, guru dengan posisi strategisnya yang langsung bersentuhan dengan siswa setiap hari adalah aktor utama. Jika peran ini dijalankan dengan kesadaran dan kepedulian, ruang kelas bisa menjadi cermin kecil Indonesia yang lebih ramah, inklusif, dan siap hidup dalam keberagaman.
Akhirnya, toleransi bukan sekadar ajaran ia adalah keterampilan hidup. Dan tidak ada tempat yang lebih baik untuk mulai menanamkannya selain dari ruang kelas, bersama guru-guru yang menyadari pentingnya peran mereka dalam membentuk masa depan.
Foto Kegiatan mengecat tongkat di SMPN 85 JAKARTA melatih pendidikan MULTIKULTIRAL dilingkungan sekolah ( 6/5/2025 )