Cerita Lain dalam Lika-liku Pendidikan Indonesia

Muhammad Fachrizal Helmi
Trainer dan Facilitator, Learning Strategies, Instructional Designer, Human Resources Practitioner
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2019 23:27 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fachrizal Helmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak sekolah. Foto: Dok. Biro Pers Setpers
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak sekolah. Foto: Dok. Biro Pers Setpers
ADVERTISEMENT
Tentu saja kita selalu sepakat kalau pendidikan di Indonesia masih punya banyak 'PR' (Pekerjaan Rumah) untuk dibenahi bersama. Permasalahan kurikulum nasional, sarana prasarana, kualitas guru (meliputi tanggung jawab dan kompetensi dalam mengajar), moral anak-anak sekolah (yang katanya) semakin merosot, orang tua yang terlalu menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah, atau kebijakan lainnya seperti zonasi yang belakangan ini ramai dibicarakan di banyak ruang diskusi. Belum lagi soal rendahnya literasi di Indonesia seperti yang dapat kita lihat dalam laporan penelitian Program for International Student Assessment (PISA) rilisan Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) tahun 2015 dan laporan mengenai 'World's Most Literate Nations' 2016 dari Central Connecticut State University (CCSU).
ADVERTISEMENT
Tentu saja masalah, dalam hal ini masalah di dunia pendidikan, merupakan suatu hal yang niscaya. Jadi, mari sebentar beristirahat membicarakan itu. Oke? Oke! Sekarang lebih baik kita bicarakan yang baik-baik, yaitu sedikit kisah tentang anak-anak sekolah di Kampung Rondepi, Distrik Kepulauan Ambai, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua.
Pernah mendengar nama tempat tersebut? Aku juga baru tahu karena berkesempatan hadir di sini sebagai guru dari Yayasan Indonesia Mengajar. Ambai terletak di daerah Teluk Cenderawasih. Coba cari di Google Maps. Tapi yang jelas, tidak terlalu banyak informasi tentang Ambai yang dapat anda temukan di internet. Di sana hampir seluruh rumah masyarakatnya terletak di atas permukaan laut (rumah berlabuh) dan mayoritas bekerja sebagai nelayan. Sekarang, aku coba bercerita ya. Ada 2 cerita seru yang coba aku ceritakan di sini.
Anak-anak SMPN Ambai sedang berangkat menuju ke sekolah.
Kisah pertama berkaitan dengan perjuangan anak untuk mencapai sekolahnya. Sekarang mari kita bernostalgia sedikit. Kira-kira waktu masih sekolah dulu, gimana sih perjuangan kita untuk bisa sampai di sana? Pasti kebanyakan diantar orang tua pakai motor atau mobil, jalan kaki, naik kendaraan umum seperti ojek dan taksi atau angkot, serta mungkin segelintir juga akan menjawab dengan naik sepeda.
ADVERTISEMENT
Mungkin juga ada yang menjawab tantangan yang akan dihadapi meliputi cipratan kubangan air di jalan, terjatuh dari sepeda, tiba-tiba hujan, dan mungkin kecelakaan ringan atau berat (semoga yang ini tidak banyak terjadi). Dari semua cara yang dipakai untuk bisa sampai di sekolah, yang jelas kebanyakan dari kita sudah (cukup) bisa dikatakan relatif lebih mudah.
Akan tetapi rasa-rasanya tidak demikian untuk anak-anak di Ambai, setidaknya menurutku sebagai seorang pendatang di sana. Mereka, anak-anak sekolah di SMP Negeri Ambai, harus melakukan perjalanan laut menggunakan perahu dayung kecil yang hanya cukup untuk 1-2 orang. Setiap pagi biasanya mereka beramai-ramai, bersamaan biasanya, menempuh perjalanan ke sekolah yang relatif jauh dari daerah perkampungan. Pakaian, tas, dan buku yang basah tentu jadi hal yang tak bisa dihindari karena mereka menempuh perjalanan laut.
ADVERTISEMENT
Mereka biasanya terlihat senang sekali kalau berangkat sekolah bersamaan di setiap pagi. Tak jarang ada yang sambil nyanyi, sambil ngobrol, atau malah mereka melakukan baku tarung (balapan) mendayung perahu sampai ke tujuan (sekolah). Sialnya, pernah ada juga yang suatu waktu perahunya terbalik sebelum sampai di sekolah. Basah deh. Tapi mereka tetap tertawa.
Tentu itu perjuangan yang tidak mudah. Tapi mereka tetap rela mendayung perahu, biar jauh sekalipun, demi bisa sampai di sekolah. Sedihnya, saat mereka sudah sampai di sekolah sering kali gurunya tak hadir memenuhi tanggung jawab. Alasannya karena masalah geografis dan ekonomi.
Mereka, guru-guru di sekolah, tidak mau menempati rumah guru yang telah tersedia (dibangun oleh dana BOS). Karena mereka tidak mau menempati rumah guru yang tersedia, maka mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bensin transportasi perahu motor. Satu kali perjalanan pulang pergi memerlukan biaya sekitar Rp 50-80 ribu. Seandainya guru-guru berangkat ke sekolah setiap hari, coba saja 50-80 dikalikan 6.
ADVERTISEMENT
Biasanya kalaupun berangkat ke sekolah, guru-guru tersebut datang di waktu yang cukup siang, sekitar pukul 9-10 WIT. Anak-anak biasanya tetap menunggu. Kalau sudah terlalu siang, mungkin sekitar jam 11 atau 12, tapi belum ada guru juga, biasanya mereka memutuskan untuk pulang sambil berkata kepada mace pace dorang (orang tua mereka) kalau guru tidak datang. Itu sudah lumrah.
Masyarakat pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka biasa menerima semua itu. Asalkan jangan sampai saat kenaikan kelas, anak mereka tidak naik. Wah, kalau itu terjadi bisa-bisa orang tua murid akan berkata dengan nada tinggi, "Macam datang mengajar saja itu guru".
Denias (kiri), Zakeus (tengah), dan Yasmin (kanan) yang tetap bersemangat sekolah walaupun hujan turun di Ambai.
Kemudian kita masuk ke kisah kedua. Waktu itu sekitar pukul 7.30 WIT, tapi hujan belum berhenti. Memang suara hujan bisa jadi medium relaksasi, ya. Saat sedang santai-santainya mendengar hujan di para-para belakang, terdengar ada yang mengetuk pintu. Dalam keadaan yang sudah rapi dan siap untuk mengajar, aku membuka pintu segera. Ada seorang mama (ibu) dengan 3 orang anak, yaitu Melvin Waromi (kelas 1), Nikson Waromi (kelas 2), dan Aris Musa Waromi (kelas 2).
ADVERTISEMENT
Mereka lumayan kuyup. Berangkat ke sekolah menggunakan perahu motor sembari pakai mantel menutupi tubuh tapi tak penuh. Ketiga anak tadi tertawa sambil menyapa aku dengan riang. Aku mempersilakan mereka masuk karena di luar masih hujan. Ketiga anak itu aku persilakan membaca buku, mewarnai, atau bermain beberapa permainan (basket, catur, dan dakon) yang tersedia di rumah tempatku tinggal. Mereka antusias, lekas membuka sepatu dan menaruh tas masing-masing. Senang sekali melihat semangat mereka yang begitu tinggi itu.
Saat aku sedang terkesima melihat semangat anak-anak, lalu tiba-tiba mama yang mengantar mereka bicara dengan antusias kepadaku.
"Pak guru, itu mereka waktu malam itu e belajar sama saya semangat apa lagi. Belajar menulis, belajar menghitung juga. Dari sore jam 4 itu sampai jam 9 malam anak-anak tara mau berhenti belajar. Berhenti cuma untuk mandi deng makan saja," kata ibu itu.
ADVERTISEMENT
Aku tersenyum mendengar cerita mama. Senang sekali mendengarnya. Lalu aku menawari mama dorang media untuk latihan menulis bagi anak-anak. Bukannya si mama yang menjawab, tapi malah anak-anak menyahut sambil tetap seru mewarnai. "Mau pak guru!" kata mereka. Duh, nak.
Selang beberapa menit, datang tiga orang anak lagi. Mereka adalah Zakeus Karubaba, Denias Marani, dan Yasmin Karubaba. Mereka datang menerobos hujan yang masih lumayan deras.
"Ayo lari, ini masih hujan," aku berteriak kepada mereka.
Ketika sampai, mereka lumayan kuyup. Tapi begitu sampai di rumah, mereka langsung bilang, "Pak guru tong baca buku e?" Padahal waktu itu mereka masih kuyup, namun semangat untuk belajar telah mengeringkannya.
Spenyel Kanggunum anak murid kelas 2 SD YPK Baitel Rondepi yang menghabiskan waktu istirahatnya untuk membaca buku.
Pelajaran dari Kedua Kisah
Dari kedua kisah di atas, kita dapat melihat bahwa masa depan pendidikan Indonesia sebetulnya tidak mungkin aram-temaram (tidak terang). Itu tentu hanya dua penggal kisah saja dari (yang aku yakini) banyaknya kisah inspiratif tentang pendidikan di Indonesia. Kita harus yakin bahwa masih banyak cerita baik tentang pendidikan di Indonesia. Tentu, berkali-kali ditekankan, tidak pernah ada habisnya kalau bicara soal masalah-masalah pendidikan yang masih menjadi PR kita bersama. Alih-alih terus 'menggoreng' masalah-masalah tersebut yang rasanya dari waktu ke waktu selalu muncul dengan topik yang sama, kita bisa mengubah cara melihat pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Misalnya, ketimbang kita menggarisbawahi dan mengutuk masalah ketidakhadiran guru karena masalah infrastruktur dan lain sebagainya, pada kisah pertama yang aku ceritakan di atas, maka akan lebih baik kita fokus pada semangat anak-anak sekolah yang tetap menyala setiap harinya mendayung untuk datang ke sekolah sambil tetap riang dan bahagia--tentu sembari tetap mencari solusi bersama atas masalah yang niscaya tadi.
Mungkin bisa dengan cara mencoba hadir ke sana, walaupun dalam waktu singkat, untuk menyaksikan langsung semangat mereka dengan seksama. Bisa juga sambil mengajarkan pengetahuan-pengetahuan baru yang dapat menambah 'kekayaan' mereka, ketimbang hanya terus gusar bicara soal masalah yang memang ada.
Dalam pengalamanku di Ambai ini bukannya aku tidak menemui masalah-masalah pendidikan, tentunya banyak. Mulai dari kepala sekolah yang tidak pernah hadir sampai guru yang tidak mengajar. Tapi aku memilih untuk tidak terlalu memusingkan itu karena tentu akan selalu ada positif dan negatif dalam suatu ruang lingkup (pendidikan).
ADVERTISEMENT
Kemudian bisa juga tuh ketimbang mengutuk soal rendahnya kemampuan literasi anak Indonesia, lebih baik kita coba pergi ke desa-desa kecil yang memang minim akses buku-buku dan sumber pengetahuan lainnya (tekstual). Kalau memang ada rezeki lebih, donasikan buku untuk mereka. Di luar sana masih banyak lho anak-anak atau bahkan orang tua, seperti pada kisah yang kedua di atas, yang semangat untuk belajar dan mengakses pendidikan (di sekolah maupun di luar sekolah); tapi sayang biasanya mereka kesulitan untuk mendapat akses yang luas ke sumber-sumber pengetahuan (tekstual).
Tenang saja dan yakinlah bahwa kita tidak akan pernah kehabisan cerita baik tentang lika-liku pendidikan di Indonesia. Dan sebetulnya cerita baik tersebut bisa jadi penguat agar kita bisa sama-sama mengerjakan PR di bidang pendidikan. Jadi kalau dirasa sudah terlalu kusut dengan banyaknya masalah yang hilir mudik di ruang publik, seketika kita pun perlu mengambil jarak dengan masalah tersebut.
ADVERTISEMENT
Setelah itu ingatlah tentang betapa semangatnya anak di Ambai mendayung perahu untuk pergi sekolah atau ingatlah kalau di Ambai juga ada seorang mama yang peduli pendidikan; dan anak-anak seperti Melvin, Nikson, Aris Musa, Denias, Zakeus, dan Yasmin yang begitu semangat untuk belajar. Setelah kita menguatkan diri dengan cerita baik tadi, maka lanjutkanlah mengerjakan PR sampai selesai.