Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Wadon Wadas: Representasi Ecofeminisme dalam Konflik Desa Wadas
27 Juni 2023 22:09 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari MUHAMMAD FAIZ NURUDDIN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Desa Wadas yang terletak di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang sangat subur. Tanah yang ada di Desa Wadas bagi penduduk setempat dimanfaatkan sebagai penyangga kehidupan dan dijadikan mata pencaharian mereka tak heran penduduk menyebut daerah tersebut dengan julukan Alas Wadas.
ADVERTISEMENT
Manfaat lain dari daerah Alas Wadas yaitu sebagai fungsi resapan air serta sebagai tempat hidup dari berbagai flora dan fauna endemik setempat. Tanah Desa Wadas merupakan daerah yang sangat vital dikarenakan 95% penduduk Wadas berprofesi sebagai petani. Selain kedua hal tersebut, potensi lain dari tanah yang ada di Desa Wadas selain sebagai penghidupan masyarakat setempat ternyata juga mengandung potensi berupa batuan andesit yang cukup besar yang biasanya dapat dijadikan sebagai bahan material untuk suatu pembangunan. Batuan andesit adalah salah satu batuan yang memiliki struktur yang kuat dan kokoh jika dijadikan sebagai bahan material.
Di lain sisi pemerintah berupaya untuk membangaun bendungan yang dinamakan Bendungan Bener. Proyek Bendungan Bener termasuk dari proyek strategis nasional yang sudah disahkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 56 Tahun 2018. Proyek Bendungan Bener akan dibangun dengan luasan bendungan meliputi 11 Desa, 3 Kecamatan serta 2 Kabupaten telah memiliki nilai investasi yang di siapkan untuk rencana proyek sekitar Rp 4 Triliun yang berasal dari APBN.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam pelaksanaan rencana proyek pembangunan Bendungan Bener tersebut mengalami banyak penolakan dari warga asli Wadas yang menggantungkan kehidupannya dengan alam Wadas serta dari berbagai aktifis lingkungan karena akan merusak potensi kesuburan tanah yang ada serta mengancam kehidupan masa depan anak cucu mereka.
Pada konflik di Wadas keterlibatan perempuan sebagai aktor gerakan juga menjadi salah satu opsi strategi dalam menunjukkan eksistensi kesetaraan gender dalam pergerakan. Dasar alasan tersebut menjadi salah satu alasan masyarakat Wadas membuat paguyuban yang diberi nama GEMPA DEWA dan paguyuban Wadon Wadas dengan keanggotaannya berisi para perempuan Desa Wadas. Dengan mengkaitkan konsep yang bernama ekofeminisme, sehingga dalam keberjalannya istilah ekofeminisme sering digunakan bagi perempuan yang berjuang untuk menjaga alam atau ekologi.
ADVERTISEMENT
Francoise D’ Eaubonne adalah tokoh yang pertama kali menggunakan kata dengan sebutan kata ekofeminisme, namun istilah tersebut baru ramai ketika naiknya isu pertentangan terkait perusakan lingkungan yang menyebabkan permasalahan ekologis bahkan bencana ekologis yang terus-menerus terjadi. Dalam pandangan feminisme, kerusakan ekologi menimbulkan dampak yang cukup besar bagi perempuan serta anak-anak. Hal yang dipersoalkan mencuat ke permukaan merupakan dampak negatif dari politik global yang terjadi pada perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya krisis makanan dan air bersih bisa dikatakan sebagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh para perempuan dan anak-anak di berbagai dunia sebab akan memiliki dampak yang cukup besar bagi angka kematian dan angka kematian ibu dan anak (Fitri, Akbar, 2017). Hal tersebut jelas akan dirasakan oleh para perempuan Wadas yang sudah dari lama memiliki kesadaran akan pentingnya tanah sebagai keterbutuhan pangan, sehingga dengan adanya penambangan akan menyebabkan kerusakan bentang alam serta berbagai aktivitas kehidupan.
ADVERTISEMENT
Represifitas aparat terhadap para perempuan Wadas tak luput juga pernah terjadi dalam sejarah gerakannya. Pada tanggal 28 April 2021, pada saat itu ibu-ibu Wadas berkumpul di posko penjagaan untuk rencana menghadang orangorang yang akan mengukur dan mematok tanah di lahan yang warga yang ada di Desa Wadas oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBSO). Pengukuran dan pematokan tersebut sebagai salah satu rencana penambangan batuan andesit yang nantinya akan dijadikan bahan material PSN, Bendungan Bener.
Kedatangan BBWSO yang di dampingi para aparat kepolisian (Polres Purworejo) langsung dihadang oleh masyarakat Wadas termasuk para Wadon Wadas. Tak selang beberapa jam, bentrok antara warga Wadas dengan aparat kepolisian terjadi. Beberapa persenjataan yang digunakan oleh aparat kepolisian atas bentrok yang terjadi adalah gas air mata. Hal itu menimbulkan beberapa masyarakat mengalami luka dan terkena intimidasi. Sehingga, dalam represifitas tersebut menghasilkan 12 masyarakat sipil, termasuk dua pendamping hukum, di angkut menggunakan mobil barikade.
ADVERTISEMENT
Perjuangan perempuan Wadas memainkan peran yang sangat penting dalam mendidik massa untuk bergabung dengan gerakan resistensi terhadap lingkungan dan alam. Jika dilihat dari studi kasus Konflik Wadas, perempuan Wadas berusaha mempertahankan ruang hidup akan hilang karena penambangan.
Keyakinan akan nilai Spiritualitas yang terkait dengan pelestarian alam merupakan kehendak pencipta alam alam semesta adalah salah satu elemen yang dijiwai dan diatur secara mendalam dewasa ini. Perjuangan Wadon Wadas dari sudut pandang ekofeminisme memiliki karakteristik yang sangat menarik dan dapat menjadi dasar refleksi perjuangan melawan keberadaan pertambangan andesit.