Melampaui Literalisme, Menangkal Radikalisasi Agama

Muhammad Fariz Akbar
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta Angkatan 2022
Konten dari Pengguna
23 November 2023 14:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fariz Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi aksi radikal. Sumber: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aksi radikal. Sumber: Pixabay.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fakta bahwa kitab-kitab suci telah, sedang, dan akan terus mendapatkan penafsiran yang berbeda-beda menunjukkan bahwa kekayaan wahyu Tuhan tidak habis-habisnya ditimba, Untuk melangkah jauh kepada kegiatan menafsir, kita harus lebih dulu paham mengenai apa itu pemahaman.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, jika ditarik mundur, kitab suci itu turun di antara kelompok-kelompok masyarakat. Ada kalanya kelompok-kelompok masyarakat itu berada di area pemahaman yang sama, namun ada kalanya pula melalui hadirnya demokratisasi dan globalisasi, masyarakat yang berada di luar area pemahaman yang sama harus tunduk kepada kompleksitas baru itu untuk dapat hidup damai.
Bagaimanapun juga, memahami memiliki arti yang berbeda dengan menafsirkan atau menginterpretasikan. Sederhananya adalah, untuk menafsirkan diperlukan kegiatan verbal dan diskursif. Memahami tidak memerlukan itu. Untuk menafsirkan, kita perlu memahami. Namun untuk sekadar memahami, kita tidak perlu melibatkan penafsiran meski terkadang penafsiran juga dilibatkan.
Hal ini menunjukkan bahwa menafsirkan merupakan sebuah kegiatan yang membutuhkan kompetensi atau kepiawaian, meski tujuan akhirnya tidak lain adalah memahami. Dalam konteks masyarakat modern yang kompleks dan majemuk, pemahaman naif harus ditingkatkan lebih jauh menjadi taraf menafsirkan atau interpretasi.
ADVERTISEMENT
Keterbukaan terhadap pemahaman tidak hanya memahami pemahaman, tetapi juga memahami ketidaksepahaman dan kesalahpahaman. Hal ini akan terus berlangsung di dalam berbagai polemik: budaya, hak asasi manusia, agama, dan seterusnya. Melampaui literalisme artinya dapat menempatkan teks di dalam konteks.
Teks di sini dapat dimaknai secara lebih luas, yaitu sebuah target pemahaman yang di mana struktur-struktur simbol juga termasuk di dalamnya. Dua hal yang perlu dipahami dalam memahami teks adalah, “memahami sebagai bagian dari konteks bahasa” dan “memahami apa yang ada dan berusaha mengetahui fakta yang ada di dalam pikiran penuturnya”.
Al-Quran. Sumber: Pexels.
Teks-teks otoritatif seperti kitab suci, Taurat, Injil, atau Al-Quran diyakini oleh para pemeluknya dan pembacanya sehingga mengarahkan kepada praktik-praktik dan bahkan membentuk suatu identitas kolektif. Mereka yang menganggap teks-teks tersebut sakral sudah tentu membacanya tidak lagi sebatas pemahaman, namun sudah berhubungan dengan perubahan praktik dan sikap. Mulai dari yang liberal dan moderat, hingga termasuk kaum ekstrem keagamaan atau yang dikenal sebagai fundamentalis. Semuanya didasarkan atas interpretasi teks-teks sakral tersebut.
ADVERTISEMENT
Yang perlu diketahui di antara berbagai sikap dan praktik pemahaman terhadap teks-teks sakral tersebut adalah bahwa ada kesenjangan waktu antara pembaca dan juga teksnya. Setiap periode waktu tentu memiliki pemahamannya masing-masing. Oleh karena itu, kita perlu memahami bahwa teks-teks sakral itu memiliki penulis atau setidaknya para pembaca awalnya, karena awalnya teks tersebut tidak ditujukan untuk keseluruhan umat manusia, melainkan para pembaca yang spesifik dan berada pada zaman tertentu.
Tugas kita tidak lain adalah masuk ke dalam konteks di mana teks-teks sakral itu diturunkan. Terlebih teks-teks sakral itu ditulis dalam bahasa manusia yang terikat pada gramatikal yang terus berubah seiring berjalannya waktu.
Cara baca literalisme, sebagaimana sudah disinggung di atas adalah hanya membaca kalimat-kalimat yang tertulis. Memang mudah untuk memahami narasinya tetapi pasti akan menimbulkan persoalan. Yang sulit dari itu adalah memahami pesannya.
ADVERTISEMENT
Sudah sepatutnya teks-teks sakral tersebut ditempatkan di dalam konteks historis. Setidaknya memahami bahwa dengan teks-teks sakral tersebut, Tuhan tidak berbicara langsung dengan kalimat-kalimat itu. Melalui penulisnya, dan seterusnya penulisnya mengungkapkan dengan bahasanya, kondisi budaya, sosial dan politik pada zamannya.