Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
The Post: Potret Wartawan dalam Membungkam Arogansi Pemerintah
7 Maret 2018 14:24 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Muhammad Fathir Al Anfal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Setelah Spotlight (2015), tema jurnalistik kembali diangkat dalam karya terbaru Steven Spielberg, The Post (2017). Bukan hal baru bagi Spielberg untuk mengadaptasi kisah nyata--terutama politik--dalam sejarah Amerika, seperti Lincoln (2012) dan Bridge of Spies (2015).
Elemen politik yang dibaurkan dalam dunia jurnalistik memang menjadi ruh dalam The Post. Pasalnya, peristiwa yang melatarbelakangi kisah ini berkaitan erat dengan kepemimpinan Richard Nixon--Presiden Amerika Serikat ke-37 yang tumbang akibat Skandal Watergate .
Sekitar dua tahun sebelum Nixon mengakui kekalahan Amerika Serikat dalam perang di Vietnam pada 23 Januari 1973 dan terungkapnya Skandal Watergate, Pentagon Papers sudah lebih dahulu mencuat. Pentagon Papers adalah makalah yang berisi mengenai cerita di balik Perang Vietnam, keterlibatan Pentagon, dan fakta bahwa Amerika adalah dalang di balik meregangnya ribuan nyawa di Vietnam hanya demi persoalan politik.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, Amerika tahu bahwa mereka tidak akan menang di Vietnam, namun tetap mengirim pasukan dalam medan perang.
Di balik kekacauan tersebut, ada keberanian pers dalam memperjuangkan kebenaran yang dikubur dalam-dalam. Ada konflik yang pelik dan pertaruhan yang besar ketika Washington Post, yang dipimpin Katharine Graham/Kay (Meryl Streep) bersama editornya, Ben Bradlee (Tom Hanks), memutuskan untuk mempublikasikan ‘rahasia’ ini sebagai bentuk tranparansi kepada publik.
Menguak Kebenaran
(SPOILER ALERT!)
Adalah Daniel Ellsberg (Matthew Rhys), aktivis Amerika dan mantan analis militer Amerika Serikat, pahlawan sesungguhnya dalam film ini--yang sayangnya tidak mendapat porsi yang sebanding.
Sebagai orang yang pernah berada di Vietnam--seperti dikisahkan pada awal film--darahnya semakin mendidih setelah dia tahu keadaan di Vietnam tidak pernah semakin membaik. Justru sebaliknya. Namun, pemerintah tetap mengirim ribuan pasukan ke sana, hanya untuk mati sia-sia.
ADVERTISEMENT
Lantas, Daniel--yang akrab disapa Dan--nekat mencuri ‘top secret’ Pentagon. Kenekatan yang didasari nurani memang patut diacungi jempol. Namun, setelah Dan mengetahui semua kebenaran, apa yang bisa dilakukannya?
Di sinilah, peran pers dibutuhkan.
Daniel Ellsberg: “Wouldn’t you go to prison to stop this war?”
Ben Bagdikian: “Theoretically, sure.”
Setelah Ben Bagdikian (Bob Odenkirk), salah satu editor Washington Post sekaligus teman lama Daniel, mendapat 4.000 lembar dokumen Pentagon Papers, kubu internal pun tepecah menjadi dua kubu: kubu ‘Publikasikan’ dan kubu ‘Jangan Publikasikan’. Masalah utamanya adalah New York Times sebelumnya telah dituntut pemerintah ke pengadilan karena membocorkan dokumen rahasia.
Times, lewat Robert McNamara (Bruce Greenwood), memang telah lebih dahulu menerbitkan skandal Pentagon Papers--hal yang membuat malu Bradlee, karena di hari yang sama malah mengabarkan pernikahan putri Nixon di halaman depan, yang tentu saja sangat tidak penting. Bradlee bersikukuh agar artikel ini diterbitkan, sebesar apapun risikonya.
"The only way to assert the right to publish is to publish," kata Ben Bradlee.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, beberapa jajaran direksi berpikir sebaliknya. Dengan dalih “pikirkanlah masa depan perusahaan”, mereka tidak ingin melawan ketakutan mereka untuk membungkam arogansi pemerintah atau berurusan dengan hukum. Jika kalah, tidak ada lagi The Washington Post.
Kay, yang meneruskan estafet dan warisan perusahaan keluarga, berada di tengah polemik ini. Dengan bercucuran air mata, kebimbangan sempat melanda benaknya.
Kay, bukan hanya seorang pemimpin perusahaan yang punya tanggung jawab besar, dia juga adalah seorang perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga--yang tentunya turut memikirkan masa depan anak-anaknya. Keputusannya kali ini tentu akan menghasilkan efek domino, baik bagi perusahaan atau keluarga.
"Quality drives profitability", inilah yang selalu dipegang teguh oleh Kay.
Atas dasar tersebut, dengan waktu yang menghimpit di tengah perseteruan dua kubu, Kay dengan bulat memutuskan bahwa berita ini harus segera dicetak. Dalam beberapa jam kemudian, berita tersebut sudah menyebar luas kepada publik.
ADVERTISEMENT
Tidak berselang lama, seperti yang dialami Times, mereka digugat.
Tapi, kebenaran harus diungkapkan. Ketakutan tidak seharusnya menutupi kebenaran. Prasangka juga tidak seharusnya mengaburkan kebenaran. Fakta sudah ada, bukan sekadar prasangka atau pendapat.
Keberanian Kay dan Bradlee pada akhirnya berbuah manis. Media lain turut mengikuti jejak Washington Post dalam mempublikasikan Pentagon Papers.
Terbongkarnya Pentagon Papers yang semakin mencuat membuat gelombang massa yang menuntut agar perang di Vietnam segera dihentikan. Bahkan, sebelum persidangan, seorang perempuan berkata pada Kay, “My brother outside there, you must win.”
Akhirnya, keadilan pun berpihak pada kebenaran. Pers menang. Hakim Hugo Black yang memutuskan kemenangan bagi pers mengatakan, The press was to serve the governed, not the governors."
ADVERTISEMENT
Akhir film The Post ditutup dengan scene menganai awal mula terbongkarnya Skandal Watergate--skandal yang membuat Nixon menjadi satu-satunya Presiden AS yang mengundurkan diri. Kisah investigasi yang dilakukan dua jurnalis, Carl Bernstein dan Bob Woodward, tentang skandal tersebut sudah difilmkan, dengan judul All President’s Men (1976).
Apa yang Membedakan dengan ‘Spotlight’?
Film ini (mungkin) tidak lebih bagus dari Spotlight (2015)--ini memang subjektif. Namun, ada kesamaan besar yang langsung terlihat di awal film. Ada sebuah skandal besar yang publik harus ketahui.
Dalam Spotlight, penonton disuguhi investigasi Boston Globes tentang pelecehan seksual yang dilakukan banyak Pastor kepada anak di bawah umur. Sebelum kasus ini mencuat tidak ada yang berani menggembor-gemborkan masalah ini.
Dilema sosial, jadi penyebabnya. Pasalnya, Pastor selama ini dianggap ‘makhluk suci’ atau perantara Tuhan yang bisa menghapus dosa-dosa, salah satu teladan masyarakat yang dipercaya. Jika skandal ini mencuat, pada siapa lagi masyarakat harus percaya--dari segi religiositas?
ADVERTISEMENT
Namun, pasca-mencuatnya skandal tersebut lewat rubrik ‘Spotlight’ Boston Globes--semacam rubrik investigasi khusus--semakin banyak masyarakat yang terbuka untuk menyampaikan kebenaran. Semakin banyak laporan pelecahan Pastor yang terjadi di seluruh dunia.
Dari sini, kita bisa lihat bahwa pers bisa menjadi lentera dan penggerak bagi masyarakat dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Hanya saja, dalam The Post, kita bisa melihat bahwa di balik keberanian tersebut, ada kekhawatiran dan ketakutan. Pro dan kontra menyelimuti keputusan tersebut. Bukan tanpa alasan, karena yang dihadapi kali ini adalah pemerintah dan kekuasaan.
Konflik tersebut tampil cukup apik dengan peran Meryl Streep dan Tom Hanks yang terlihat klop--meski tidak benar-benar ‘berduet’ (hanya berada pada posisi yang sama). Hanks terlihat sudah paham betul apa yang diinginkan Spielberg dalam memainkan perannya. Maklum, mereka pernah bekerja sama sebelumnya, lewat Catch Me If You Can (2002) dan Bridge of Spies (2015).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Streep juga tampil natural dan mengesankan dalam film ini. Memang, perannya kali ini sedikit mengingatkan kita pada pernannya sebagai Margaret Thatcher dalam The Iron Lady (2011). Namun, aku rasa penampilannya kali ini layak diganjar dengan nominee Best Actress dalam Piala Oscar 2018 (walau pada akhirnya kalah oleh Frances McDormand).
Meski klimaks tidak begitu terasa dan resolusi terkesan terlalu cepat, jalinan cerita dan pengembangan alur sudah begitu mengalir. Secara keseluruhan, film ini menampilkan lapisan gagasan yang membedakannya dengan Spotlight, termasuk jurnalistik, politik, perang, hingga keluarga.
Pelajaran dan Tantangan bagi Wartawan ‘Zaman Now’
Zaman sudah berubah. Kita tidak berada di masa ketika kebebasan pers dibungkam. Masyarakat dipaksa tunduk dalam ‘ketakutan’ selama puluhan tahun.
ADVERTISEMENT
Baru ketika krisis moneter terjadi, perlawanan terhadap tirani terjadi. Revolusi yang berakhir dengan lahirnya era Reformasi.
Namun, di era digital, ketika segalanya serba cepat, pers pun demikian. Seperti dua mata sisi uang, ada dampak positif dan dampak negatif perkembangan zaman terhadap pers.
Namun, dengan semakin diperlukannya banyak berita untuk sekadar menambah traffic, ulasan mendalam kian ditinggalkan. Tidak bisa dimungkiri juga bahwa banyak media yang menggunakan ‘clickbait’ hanya untuk meraih keuntungan. Tidak peduli seburuk apapun kualitasnya.
Berbanding terbalik dengan prinsip yang dipegang teguh Kay dalam The Post.
Menjadi wartawan memang berat. Lebih berat dari rindu--yang kata Dilan merupakan hal yang berat. Belum lagi problematikan upah--yang katanya tak sebanding.
ADVERTISEMENT
Namun pada intinya, menjadi wartawan memang adalah perihal mencari kebenaran kemudian mentawakalkannya. Selama itu benar--disertai data dan fakta--sampaikan. Mengapa harus takut?
Sudah seharusnya, The Post, Spotlight, atau film lain yang mengangkat tema jurnalisme menjadi pelajaran dan tantangan bagi wartawan masa kini.