news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Aimai: Ambiguinitas Komunikasi Masyarakat Jepang

Muhammad Haris Afiful Hamim
Mahasiswa Studi Kejepangan Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
4 Oktober 2022 18:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Haris Afiful Hamim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/photos/cddaZDt6uRw?
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/photos/cddaZDt6uRw?
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan budaya sehari-hari di Jepang, terdapat aturan, tata krama, serta banyak juga kata-kata yang terucapkan seperti kehidupan normal di negara lainnya. Akan tetapi, di Jepang terdapat ambiguinitas yang tersirat dalam setiap cara penyampaian para individunya yang sehingga mungkin akan membuat banyak orang asing kebingungan.
ADVERTISEMENT
Apakah budaya orang Jepang memang benar-benar sulit dipahami? Apakah hal ini terlalu rumit bagi orang asing sehingga tidak akan bisa memahaminya? Tentu saja tidak. Segala budaya memiliki alasan dan tidak peduli bagaimana dan seberapa aneh asal-usulnya. Ambiguinitas merupakan salah satu bagian dari budaya Jepang yang diambil dari sebagian bahasa Jepang itu sendiri.
Percaya atau tidak, bahasa Jepang yang dulu sangatlah lebih membingungkan daripada yang sekarang. Bahasa Jepang yang lama tidaklah terdapat huruf kana yang sehingga akan lebih menyusahkan bagi pembaca asing dan sebagian orang Jepang itu sendiri. Sebagai seorang mahasiswa, hal yang membuat frustasi dari proses penerjemahan ialah mencari tahu pesan tersirat untuk menentukan makna dari kata-kata yang disampaikan.
ADVERTISEMENT
Ambiguinitas dalam kehidupan sehari-hari para individu di Jepang sangatlah banyak, sehingga diperlukan kemampuan untuk menyimpulkan makna dan memasukkan kata yang sesuai dalam percakapan yang akan disampaikan. Bagi orang asing hal ini akan sangat menyusahkan, akan tetapi bagi orang Jepang hal hal samar ambiguinitas sangatlah mudah dipahami oleh mereka.
Misalnya, “好きです” (suki desu, atau “Saya suka/kamu/dia/dia/dll”) adalah kata yang subjeknya tidak dapat ditentukan tanpa informasi sebelumnya. Apa yang sebenarnya disukai? Sifatnya tidak jelas. Akan tetapi jika kita memiliki pengalaman dengan orang Jepang dan sering menggunakan dan bercakap-cakap dengan kata-kata tersebut, maka kita akan dengan mudah dapat memahami makna yang disimpulkan. Contoh lain lagi ialah “ちょっと” (chotto, atau “tunggu. sebentar, sedikit, sekejap”) juga termasuk kata yang tidak jelas sifatnya, karena kata tersebut saat digunakan pada kejadian yang berbeda, maka artinya akan juga berbeda sehingga akan sangat membingungkan.
ADVERTISEMENT
Bahkan tanpa ambiguinitas bahasa Jepang, tidak semua bahasa Jepang yang ada digunakan secara dalam kehidupan sehari-hari, terkadang ada juga kata yang sama sekali tidak digunakan meskipun kata tersebut ada, mereka akan lebih memilih memakai kalimat ambigu untuk menghindari tersinggungnya perasaan lawan bicara mereka. Contohnya ialah, Rikishi diajak makan bersama oleh temannya, akan tetapi ia sedang tidak ingin pergi kemanapun, ia sedang ingin sendiri. Rikishi akan menggunakan kalimat penolakan secara tidak langsung untuk menghindari temannya sakit hati, ia akan lebih memilih menggunakan kalimat “すみませんちょっと” (sumimasen chotto), bagi orang asing ini mungkin akan membingungkan mereka, akan tetapi bagi orang Jepang mereka akan langsung paham dan mengerti bahwa si Rikishi tidak bisa datang / menolak.
ADVERTISEMENT
Bagi orang asing yang tidak terbiasa dengan situasi seperti ini, kata-kata tersebut mungkin akan membuat mereka berpikir bahwa si Rikishi aneh, bahkan mereka juga berpikir bahwa si Rikishi meminta untuk ditunggu, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya si Rikishi menolak ajakan untuk pergi makan malam bersama.
Terkadang penolakan orang Jepang untuk menjawab pertanyaan secara langsung bisa dianggap tidak jelas. Pertanyaan dapat dipenuhi dengan jawaban yang sebagian atau seluruhnya menyembunyikan perasaan pembicara yang sebenarnya atau tanpa jawaban sama sekali. Mungkin ini terjadi karena mereka tidak mau terus terang dengan perasaan mereka yang sebenarnya, atau karena berpikir bahwa jawaban mereka akan dapat menimbulkan rasa sakit hati dan mereka tidak ingin membuat keributan.
ADVERTISEMENT
Poin keseluruhan yang ingin saya sampaikan ialah, terlepas dari segala aspek menyeluruh, budaya dan bahasa Jepang itu tidak samar seperti yang terlihat di permukaan. Terdapat alasan untuk tradisi dan perilaku, dan bagian bahasa yang tampaknya ambigu itu membutuhkan pengalaman atau penegasan yang lebih agar kita sebagai orang asing dapat memahami maksud mereka yang sebenarnya.
-------------------------------------------------------------
Referensi:
Hammond, Andrew. 2011. Aimai: The Importance of Ambiguity.
John. 2012. KY and Ambiguity in Japan: It’s Difficult.
Sato, Yoichi. 2010. “Kuki ga Yomenai” : Situated Face-Threatening Act Within Japanese Social Interaction.
Spacey, John. 2012. Why You Need To Read The Air in Japan.
Michael Joseph. 1996. Aimai no ronri: The logic of ambiguity and indirectness in Japanese rhetoric.
ADVERTISEMENT