Konten dari Pengguna

Sri Mulyani, Babah Alun, dan Mahfud MD dalam Pusaran BLBI

M Husain Nashar
- Ketua Komisi Ekonomi PB HMI MPO 2023-2025 - Mahasiswa Magister Ekonomi Pembangunan, UGM.
24 Juni 2023 15:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari M Husain Nashar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengusaha jalan tol Jusuf Hamka saat ditemui di Gedung PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), Kamis (15/6/2023). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pengusaha jalan tol Jusuf Hamka saat ditemui di Gedung PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), Kamis (15/6/2023). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik antara Jusuf Hamka atau yang lebih akrab disapa Babah Alun dengan pemerintah membuka tabir bagaimana proses bernegara di Indonesia tengah berlangsung dewasa ini. Konflik utang-piutang ini bermula saat program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diluncurkan, tiga dekade lalu.
ADVERTISEMENT
Dana deposito PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) yang diketahui milik Jusuf Hamka terdapat di Bank Yakin Makmur (Yama) dikecualikan dari program BLBI dan tidak dicairkan saat itu. Jusuf Hamka pun mencari keadilan dan berujung dimenangkan putusan hakim Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2015. Oleh sebab itu, Jusuf Hamka menuntut Pemerintah agar membayarkan utang negara terhadap dirinya.
Permasalahan tidak selesai sampai di sini, pasalnya Pemerintah mengalami kesulitan dalam membayarkan utang tersebut. Bila ditelisik lebih lanjut, kasus ini tidak sesederhana “menagih utang ke kawan”. Kasus ini tidak hanya mengenai utang negara ke rakyatnya, namun utang-piutang negara dengan rakyatnya. Bila kita urai kasus ini, terdapat utang negara terhadap CMNP, pun utang segelintir kelompok terhadap negara, seperti utang Keluarga Cendana terhadap negara.
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak tahu mengenai aktor besar di balik kasus BLBI? Sudah jelas sekelompok orang penghuni Jalan Cendana, yakni Keluarga Cendana. Memang negara memiliki kewajiban dalam membayar utang terhadap Jusuf Hamka, namun Keluarga Cendana pun memiliki kewajiban dalam membayar utang kepada negara. Total dana BLBI yang diketahui bermasalah senilai 110 triliun rupiah.
Berdasarkan penjelasan Sri Mulyani, dari Rp 110 triliun dana BLBI, belum sampai sepertiga dana yang kembali. Dana Rp 80 triliun yang dinikmati segelintir orang tersebut menghambat pendirian 142.857 sekolah dasar, pembangunan 10 kali lipat jarak jalan Sorong ke Jayapura, 43 tahun anggaran Yogyakarta, dan 17 persen modal Indonesia dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Semua fasilitas yang bisa dinikmati 270 juta jiwa hanya dikuasai oleh segelintir orang, termasuk eks Keluarga Cendana.
ADVERTISEMENT
Ada yang janggal dalam penyelesaian utang-piutang BLBI. Seolah-olah negara sebesar ini tidak bisa mengatur segelintir orang ini. Selama 20 Tahun lebih para obligor BLBI diberi kelonggaran dan keleluasaan. Memang sudah ada sedikit pembayaran piutang tersebut.
Namun, itupun berkat desakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD melalui Satuan Tugas (Satgas) BLBI pada tahun 2021, yang kita ketahui bahwa akan purna tugas pada Desember 2023 ini.
Jika Satgas purna tugas, potensi kasus BLBI tidak terselesaikan makin tinggi. Pasalnya berbagai pihak sudah ragu menggantungkan tugas ini kepada Menteri Keuangan (“Menkeu”) dan bawahannya, bahkan konon kabarnya muncul stigma oknum bawahan Menkeu ada main mata dengan obligor BLBI. Harus ada gebrakan baru dari Pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini.
ADVERTISEMENT

Lagi-lagi Sri Mulyani dan Mahfud MD

Menteri Keuangan, Sri Mulyani di DPR RI, Jumat (19/5). Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
Lagi-lagi Sri Mulyani dan Mahfud MD, begitu metafora yang tepat agaknya begitu mendengar berita tentang kasus ini. Bagaimana tidak, masih segar dalam ingatan tentang angka 349 triliun yang sempat menggemparkan ruang sidang parlemen.
Skandal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang disinyalir melibatkan oknum internal bawahan Menkeu itu masuk dalam rentetan masalah yang melukai kepercayaan publik terhadap institusinya.
Hal itu kemudian membuat Menkopolhukam Mahfud MD semakin mendesak untuk disahkannya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset), yang kebetulan RUU ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Penyusunan Undang-Undang (Prolegnas) pada tahun 2023.
Terlepas sudah menurunnya kepercayaan publik terhadap Kemenkeu karena hal tersebut, gebrakan Menkopolhukam yang terus mendesak disahkannya RUU Perampasan Aset patut kita apresiasi. Berlakunya UU ini bisa jadi senjata ampuh untuk mendesak obligor BLBI agar membayarkan utangnya kepada negara.
Pengusaha jalan tol Jusuf Hamka dan Menkopolhukam Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa (13/6/2023). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
Untuk menjadi senjata ampuh dalam menarik dan menjaga aset Negara memang perlu ada tiga klausul yang tertera pada RUU Perampasan Aset tersebut. Pertama, klausul yang memuat perihal aset yang dapat ditarik yaitu aset para pihak yang terbukti secara hukum merugikan keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Kedua, klausul yang memuat perihal pihak-pihak yang terindikasi menghambat penarikan aset tersebut juga harus diberikan sanksi hukuman berat. Ketiga, klausul yang memuat perihal instansi yang mengurus agenda perampasan aset ini harus menyampaikan informasi mengenai progres dari kasus tersebut kepada publik.
Klausul pertama tersebut bertujuan agar menjaga kondisi keuangan negara kelak, serta tujuan lebih jauh yakni keadilan penggunaan resources negara. Kondisi keuangan yang belum sepenuhnya pulih ditambah perkembangan global yang menuntut Indonesia terus membangun perlu pengelolaan resources yang tepat.
Dana yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara harus dikembalikan untuk digunakan sebagaimana mestinya, demi kemakmuran bersama, bukan segelintir oknum serakah.
Masih mengenai klausul pertama, bagaimana apabila negara sewenang-wenang mengambil aset rakyat? Hal ini dapat dicegah melalui adanya pembatasan kewenangan penarikan aset dalam klausul tersebut. Pembatasan penyitaan hanya terjadi jika “terbukti secara hukum merugikan keuangan negara” dan dibatasi sebatas nilai yang setara dengan kejadiannya.
ADVERTISEMENT
Lalu klausul kedua muncul untuk mencegah bola liar dari persepsi publik bahwa ada pihak-pihak yang bermain mata dengan para obligor BLBI. Pemberian sanksi yang tegas pada pihak-pihak yang membantu diharapkan dapat kembali meningkatkan kepercayaan publik terhadap Pemerintah.
Selain itu, efek samping lain yang diharapkan berdampak adalah terpojoknya pelaku dalam mencari bantuan dalam melakukan perbuatan melawan hukum.
Terakhir, klausul ketiga ini perihal transparansi instansi yang sedang mengeksekusi agenda perampasan aset ini. Klausul ini sejatinya membantu peran Pemerintah dalam pengelolaan negara, dengan mendorong partisipasi publik yang aktif mengawasi jalannya pengelolaan.
Tujuan transparansi ini tentu agar masyarakat dapat membantu dan mengawal tiap kasus perampasan aset yang sedang dikerjakan oleh Pemerintah. Jika proses ini berjalan dengan baik, maka masyarakat akan terus mendukung kinerja Pemerintah, namun jika ada yang perlu dikoreksi, maka masyarakat akan memberikan koreksi atas kinerja perampasan aset ini.
ADVERTISEMENT
Tentu, berbagai klausul yang diharapkan di atas ini agar RUU Perampasan Aset dapat menjadi instrumen dalam menjaga dan mendukung kinerja keuangan negara. Di mana hal ini berujung pada digunakannya anggaran negara demi menjaga kondisi perekonomian seluruh masyarakat, bukan hanya untuk segelintir orang yang itu-itu saja.