Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bung Denny Siregar, Berempatilah!
25 Maret 2017 3:08 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Muhammad Husnil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Para petani berjuang untuk tetap melestarikan pegunungan Kendeng, Jawa Tengah/Muhammad Husnil)
ADVERTISEMENT
Bertemu lagi akhirnya kita, Bung Denny. Tapi, kali ini saya ingin bicara soal petani Kendeng.
Setelah membaca tulisan-tulisan Anda, makin ke sini makin yakin saya bahwa Anda asyik sendiri dengan asumsi tanpa pernah mengujinya dengan data dan fakta. Dalam kasus petani Kendeng, Anda bukan hanya salah tapi juga tak patut.
Dalam tulisan Anda berjudul Cari Makan Atas Nama Rakyat, Anda menggebyah uyah seakan mereka yang membela rakyat, petani, dan kaum tertindas sebagai mencari uang atas nama rakyat. Ini tuduhan serius. Sementara itu, di sekujur tulisan Anda tak mencantumkan satu pun sumber atau bukti tuduhan Anda ini. Anda hanya ngecap.
Bung Denny, dalam mengukur seseorang itu Anda jangan pakai ukuran sendiri. Kalau baju Anda ukurannya M, jangan anggap semua orang mengenakan baju M.
ADVERTISEMENT
Entah sampai mana riset Anda tentang perjuangan petani Kendeng melawan Semen Indonesia, jika pun Anda melakukan riset. Data sederhana soal pabrik Semen Indonesia saja Anda keliru (Anda menyebutnya Pabrik Semen Rembang?).
Yang agak menggelikan, dalam tulisan Anda berjudul Sinetron Pabrik Semen Rembang, Anda tak tahu akar masalahnya dan mengutip pernyataan seseorang bernama Anggoro Harry Sulistyawan. Tulisan itu mempertanyakan soal perbedaaan perlakuan antara semen swasta dan pemerintah. Saran saya, Bung Denny periksa kembali asumsi-asumi Anda, pelajari lagi data-datanya.
Yang aneh, dalam satu tulisan Anda tak tahu akar masalah petani Kendeng, tapi di tulisan lain Anda meragukan kemampuan mereka dalam soal bentuk-bentuk perjuangan. Sementara itu Anda tak bertanya kepada diri sendiri sudah sejauh mana pengetahuan Anda tentang mereka?
ADVERTISEMENT
Padahal mereka sudah melakukan banyak hal. Mulai dari menggugat ke pengadilan dan menang, berjalan kaki Rembang-Semarang, berdoa di depan kantor gubernuran, membangun tenda dan mushala di dekat pabrik (yang akhirnya dibakar), mengirim surat, mengirimkan wacana soal AMDAl ke kampus-kampus. Tapi, upaya mereka mentok. Bahkan, dengan enteng Pemprov Jateng mengeluarkan izin baru, padahal sebelumnya Mahkamah Agung (MA) sudah memenangkan para petani itu.
Dalam hal pengetahuan Amdal dan kronologi hukum kasus Kendeng ini saya ragu Anda tahu banyak dibanding mereka.
Bung Denny, para petani Kendeng ini menyatroni Universitas Gadjah Mada (UGM) soal Amdal apkiran yang dibuat dosen UGM. Mereka ini presentasi di depan sivitas akademika perguruan tinggi soal Amdal ini. Saya bisa jamin bahwa Anda akan keok bicara soal Amdal dengan Pak Gunretno. Sekolah mereka memang tidak tinggi, tak seperti Anda. Tapi, ilmu kehidupan mereka tak bakal kalah dengan Anda, Bung Denny. Karena mereka ini belajar langsung dari alam. Sebab itulah mereka ingin menjaga kelestarian alam.
ADVERTISEMENT
Dan mereka, para petani itu, sudah mencoba berbagai cara dan upaya untuk memperjuangkan tanah dan air mereka. Bertahun-tahun, bukan cuma dua-tiga minggu.
Mengecor kaki dengan semen adalah tindakan mereka yang berani. Dan Anda, Bung Denny, menyepelekan perjuangan mereka.
Jika Anda mengira bahwa mereka yang dicor itu hanya petani Kendeng, saran saya Anda datangi aksi mereka di depan istana. Lihat sendiri dan kenali siapa saja yang dicor kakinya di sana. Apakah mereka ini hendak meraup untung dari aksi mereka?
Sekali lagi, jangan pakai ukuran Anda untuk mengukur orang lain.
Saran saya, selain riset sebelum menulis, Anda tampaknya mesti memiliki kemampuan lain: berempati. Mbok Patmi wafat dalam perjuangan melestarikan pegunungan Kendeng. Anda semestinya berempati terhadapnya dan perjuangan para petani itu.
ADVERTISEMENT
Dan, para pegiat atau publik yang ikut menyuarakan perjuangan petani Kendeng ini mungkin tak sempurna. Tapi mereka berbagi, mereka berempati, mereka melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Bagi Anda, mungkin tindakan mereka seperti sinetron.
Tidak. Mereka membantu petani Kendeng karena sedang melaksanakan ini:
“Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas." ~ Pramoedya Ananta Toer
Live Update