Antara Perang Rusia-Ukraina, G20 dan Resolusi Konflik Global

Muhammad Ibrahim Hamdani, S,I,P, M,Si
Wakil Sekretaris Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa MUI Pusat Direktur Jaringan Strategis dan Kerja Sama Institut Inisiatif Moderasi Indonesia Peneliti Center for Strategic Policy Studies (CSPS) SKSG UI Sekjen DPP Rumah Produktif Indonesia
Konten dari Pengguna
23 November 2022 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ibrahim Hamdani, S,I,P, M,Si tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto Penulis saat mengikuti Konferensi Internasional di Universitas Airlangga, Surabaya, pada Jumat, 11 November 2022
Perhelatan akbar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) atau G20 Summit yang berlangsung di Hotel Apurva Kempinski Bali, Nusa Dua, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, telah berakhir pada Rabu, 16 November 2022. KTT G20 ini dibuka secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia (RI), Ir. H. Joko Widodo, pada Selasa, 15 November 2022. Bahkan KTT G20 mampu menghasilkan kesepakatan monumental di tengah-tengah berlangsungnya krisis multidimensi global, yakni G20 Bali Leader’s Declaration atau Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali. Kesepakatan ini terdiri dari 52 poin atau paragraf, termasuk masalah paling krusial dan diperdebatkan oleh negara-negara anggota G20, yakni perang fisik (militer) antara Federasi Rusia versus Republik Ukraina. Tepatnya pada paragraf ketiga dalam Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali, yang menurut penulis bersifat sangat akomodatif, solutif, adil dan mencakup semua serta menampilkan fakta-fakta masalah. Dampaknya, paragraf ketiga ini menjadi win-win solution atau solusi yang saling meguntungkan bagi semua pihak sehingga tidak ada satu pun pemimpin negara-negara anggota G20 yang merasa dipermalukan di depan publik.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, paragraf ketiga dalam G20 Bali Leader’s Declaration telah menyajikan sebuah fakta penting secara tertulis. Fakta itu terkait dengan perang Rusia versus Ukraina, yakni Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor ES-11/1 pada tanggal 2 Maret 2022. Resolusi ini didukung oleh 141 negara anggota Majelis Umum PBB, terutama Amerika Serikat (AS) dan Persatuan Kerajaan Britania Raya dan Irlandia Utara (United Kingdom / UK). Namun resolusi tersebut ditolak oleh 5 negara lainnya, khususnya Federasi Rusia dan Republik Rakyat Demokratis Korea (Korea Utara). Sedangkan 35 negara anggota Majelis Umum PBB memilih bersikap abstain (tidak menyetujui, namun juga tidak menolak) terhadap draf resolusi ini, misalnya Republik Rakyat China dan Republik India. Bahkan 12 negara lainnya memilih absen (tidak hadir) dalam proses penentuan sikap terhadap draf resolusi ini. Fakta-fakta tersebut ditampilkan secara riil pada paragraf ketiga dalam Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali.
ADVERTISEMENT
Berikut ini adalah bunyi paragraf ketiga dalam G20 Bali Leader’s Declaration, seperti dikutip dari situs web Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI di laman https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/G20%20Bali%20Leaders%27%20Declaration%2C%2015-16%20November%202022%2C%20incl%20Annex.pdf, yakni:
This year, we have also witnessed the war in Ukraine further adversely impact the global economy. There was a discussion on the issue. We reiterated our national positions as expressed in other fora, including the UN Security Council and the UN General Assembly, which, in Resolution No. ES-11/1 dated 2 March 2022, as adopted by majority vote (141 votes for, 5 against, 35 abstentions, 12 absent) deplores in the strongest terms the aggression by the Russian Federation against Ukraine and demands its complete and unconditional withdrawal from the territory of Ukraine. Most members strongly condemned the war in Ukraine and stressed it is causing immense human suffering and exacerbating existing fragilities in the global economy - constraining growth, increasing inflation, disrupting supply chains, heightening energy and food insecurity, and elevating financial stability risks. There were other views and different assessments of the situation and sanctions. Recognizing that the G20 is not the forum to resolve security issues, we acknowledge that security issues can have significant consequences for the global economy.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Indonesia, penulis menerjemahkan paragraf ketiga di atas sebagai berikut: “Tahun ini, kami juga menyaksikan perang di Ukraina semakin berdampak buruk terhadap ekonomi global. Ada diskusi terhadap isu tersebut. Kami mengulangi kembali posisi nasional kami sebagaimana diungkapkan dalam forum-forum lainnya, termasuk Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB, yang dalam Resolusi No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022, seperti diadopsi oleh suara mayoritas (141 memilih setuju, 5 menolak, 35 abstain, 12 absen), menyesalkan dengan sangat keras agresi oleh Federasi Rusia terhadap Ukraina serta menuntut penarikan penuh dan tanpa syarat dari wilayah Ukraina. Sebagian besar anggota mengutuk keras perang di Ukraina dan menekankan bahwa hal itu telah menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa serta memperburuk kerentanan yang ada dalam ekonomi global – menghambat pertumbuhan, meningkatkan inflasi, menggangu rantai pasokan, meningkatkan kerawanan energi dan pangan serta meningkatkan resiko-resiko stabilitas keuangan. Ada beberapa pandangan lain dan penilaian berbeda terhadap situasi dan sanksi-sanksi. Menyadari bahwa G20 bukan forum untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan, kami mengakui bahwa masalah-masalah keamanan dapat menimbulkan konsekuensi yang signifikan bagi ekonomi global.”
ADVERTISEMENT
Paragraf ketiga di atas menunjukkan keberhasilan pemerintah RI dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif selaku presidensi G20 tahun 2022. Hal ini terkait erat dengan peran pemerintah RI, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sebagai mediator sekaligus fasilitator KTT G20 di Bali, Indonesia. Khususnya terkait upaya pemerintah untuk mewujudkan Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali. Dalam konteks ini, peran Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Luar Negeri RI, Retno Lestari Priansari Marsudi, sangat vital dan signifikan. Menurut penulis, paragraf ketiga ini dapat mempertemukan pandangan negara-negara anggota G20 yang saling berbeda dan berlawanan mengenai perang antara Rusia versus Ukraina. Terdapat sejumlah poin penting yang menjadi kesepakatan bersama para pemimpin G20 di Bali terkait hal ini. Pertama, para pemimpin G20 mengakui bahwa perang di Ukraina semakin berdampak buruk terhadap perekonomian global. Kedua, para pemimpin G20 menyadari bahwa G20 bukanlah forum untuk menyelesaikan masalah-masalah keamanan. Ketiga, para pemimpin G20 mengakui bahwa masalah-masalah keamanan dapat menimbulkan konsekuensi yang signifikan bagi ekonomi global. Tiga poin kesepahaman ini berdampak sangat positif bagi keutuhan dan keberlanjutan forum G20, setidaknya hingga akhir tahun 2023. Bahkan G20 dapat terhindar dari perpecahan dan masalah serius seperti perubahan nama menjadi Group of Nineteen (G19) akibat salah satu negara dikeluarkan dari forum ini. Istilah G19 diucapkan langsung oleh Presiden Republik Ukraina, Volodymyr Oleksandrovych Zelenskiy, saat hadir secara daring dan memberikan sambutan pidato politiknya di KTT G20.
ADVERTISEMENT
KTT G20 di Bali, Indonesia, pada 15-16 November 2022, tidak dihadiri oleh tiga kepala negara anggotanya, yakni Presiden Federasi Rusia, Vladimir Vladimirovich Putin, Presiden Republik Federatif Brazil, Jair Messias Bolsonaro, dan Presiden United Mexican States (Meksiko Serikat), Andrés Manuel López Obrador. Namun perhelatan KTT G20 ini tetap meraih kesuksesan luar biasa. Bahkan Sekretaris Jenderal PBB, António Manuel de Oliveira Guterres, dan Presiden International Olympic Committee (IOC) atau Komite Olimpiade Internasional, Thomas Bach, turut hadir dalam pertemuan G20 di Bali. Menurut penulis, salah satu bukti nyata dari kesuksesan KTT G20 di Bali, Indonesia, ialah kemampuan orkestrasi pemerintah RI, sebagai presidensi G20, untuk mengakomodir perbedaan pendapat tentang perang antara Rusia versus Ukraina dalam satu paragraf. Perbedaan dan pertentangan pendapat di antara negara-negara G20 tidak dihilangkan sama sekali, juga tidak disimpulkan menjadi satu atau dua kalimat, namun ditampilkan apa adanya di dalam Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali. Hasilnya ialah orkestrasi ekonomi, sosial dan politik yang sangat harmonis dalam perundingan-perundingan di forum KTT G20, khususnya pada paragraf ketiga mengenai perang antara Rusia versus Ukraina.
ADVERTISEMENT
Pendapat pertama di forum G20 terhadap perang antara Rusia versus Ukraina ialah sebagai berikut: “Sebagian besar anggota mengutuk keras perang di Ukraina dan menekankan bahwa hal itu telah menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa serta memperburuk kerentanan yang ada dalam ekonomi global – menghambat pertumbuhan, meningkatkan inflasi, menggangu rantai pasokan, meningkatkan kerawanan energi dan pangan serta meningkatkan resiko-resiko stabilitas keuangan”. Pendapat pertama ini disuarakan oleh negara-negara yang menentang perang atau agresi militer sepihak oleh Rusia terhadap Ukraina, terutama negara-negara anggota G20 yang juga tergabung dalam Group of Seven (G7) dan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Misalnya pemerintah AS, UK, Republik Prancis, Republik Italia, Republik Federal Jerman, Jepang (Nippon-koku), Republik Korea (Korea Selatan), Persemakmuran Australia dan Dominion of Canada.
ADVERTISEMENT
Adapun pendapat kedua ialah sebagai berikut: “Ada beberapa pandangan lain dan penilaian berbeda terhadap situasi dan sanksi-sanksi”. Pendapat kedua ini disuarakan dengan lantang oleh pemerintah Federasi Rusia yang juga anggota G20, G8, dan terlibat langsung dalam perang di Ukraina. Bahkan Perwakilan Tetap Federasi Rusia, Vassily Nebenzia, telah memveto Draf Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang berisi Kecaman Terhadap Invasi Rusia di Ukraina pada Jumat, 25 Februari 2022. Pemerintah Rusia juga memveto Draf Resolusi DK PBB yang berisi Kutukan Terhadap Referendum di Empat Wilayah Ukraina, oleh Federasi Rusia, Sebagai Tindakan Ilegal pada Jumat, 30 September 2022. Keempat wilayah itu ialah Lugansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia. Selain itu, Pemerintah Rusia menolak Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022, yang menjadi rujukan utama pada paragraf ketiga dalam Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali. Kondisi ini wajar karena Federasi Rusia berstatus sebagai anggota tetap DK PBB sehingga memiliki hak veto, sama seperti status empat negara lainnya, yakni AS, UK, Prancis dan RRC.
ADVERTISEMENT
Pendapat kedua ini juga didukung oleh tiga negara anggota G20 lainnya yang memilih bersikap abstain terhadap Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022, yakni Republik Rakyat China (RRC), Republik India dan Republik Afrika Selatan. Hingga kini, ketiga negara tersebut tidak pernah memberikan sanksi-sanksi ekonomi dalam bentuk apa pun terhadap Rusia. Bahkan pemerintah RRC, selaku anggota tetap DK PBB, selalu bersikap abstain terhadap dua draf resolusi DK PBB yang telah diveto oleh Rusia, tepatnya draf resolusi pertama pada Jumat, 25 Februari 2022, serta draf resolusi kedua pada Jumat, 30 September 2022. Tindakan senada juga dilakukan oleh pemerintah India sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB. Republik India selalu bersikap abstain terhadap dua draf resolusi DK PBB yang diusulkan oleh pemerintah AS, UK dan Prancis. Menurut penulis, kedua negara memilih bersikap abstain karena berpandangan tetap menghormati eksistensi wilayah dari setiap negara yang telah diakui kedaulatan dan kemerdekaannya oleh PBB, bahkan telah sah menjadi anggota PBB, termasuk Republik Uraina. Namun di sisi lain, India dan China berpandangan bahwa sanksi-sanksi ekonomi dan usulan resolusi DK PBB yang mengecam atau mengutuk invasi militer Rusia hanya akan meperburuk situasi ekonomi serta meningkatkan ketegangan diplomatik global.
ADVERTISEMENT
Selain itu, menurut penulis, ada perbedaan pandangan yang unik dan khas terhadap invasi militer dan perang fisik antara Rusia versus Ukraina. Pandangan ini diwakili oleh sikap politik luar negeri pemerintah RI, Kerajaan Arab Saudi, Republik Federatif Brazil dan Meksiko Serikat dalam KTT G20. Di satu sisi, keempat negara anggota G20 ini sama-sama menyetujui Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022. Namun di sisi lain, hingga kini, keempat negara itu tidak pernah memberikan sanksi ekonomi dalam bentuk apa pun kepada Rusia. Sanksi-sanksi ekonomi dinilai tidak efektif untuk menghentikan perang dan invasi militer oleh Rusia terhadap Ukraina, alih-alih justru merugikan perekonomian keempat negara yang memiliki hubungan bisnis, ekonomi dan politik dengan Rusia. Pandangan yang unik dan khas ini jelas sangat sejalan dan sesuai dengan paragraf ketiga dalam Deklarasi Pemimpin-Pemimpin G20 Bali yang memuat fakta politik riil global tentang Resolusi Majelis Umum PBB No. ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022 serta pengakuan penting dan signifikan G20 bahwa ada beberapa pandangan lain dan penilaian berbeda terhadap situasi dan sanksi-sanksi terkait perang di Ukraina.
ADVERTISEMENT
Penulis: Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., M.Si.
Direktur Jaringan Strategis dan Kerja Sama Institut Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind Institute).
Bendahara/ Peneliti Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI)
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Rumah Produktif Indonesia (RPI).