Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Cerpen: Surat yang Tak Pernah Sampai
7 Januari 2025 9:41 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Muhammad Iqbal Ash Siddiq Sudjaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerita Pendek
Surat yang Tak Pernah Sampai
Karya: Muhammad Iqbal Ash Siddiq Sudjaya
ADVERTISEMENT
Aku tak pernah menyangka kabar buruk itu akan sampai di telinga ini. Dia yang aku sayang, dia yang selalu menjadi matahariku, kini harus pergi untuk selamanya. Semuanya bermula ketika perang itu datang dan memaksa dirinya terlibat di dalamnya, membawa kami ke dalam kegelapan yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Hari itu, langit tampak suram, seolah alam tahu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Angin yang biasanya lembut berhembus seakan membawa firasat buruk, dan aku bisa merasakan ketegangan mengendap di udara. Dio, pria yang selama ini menjadi sandaran hidupku, tiba-tiba dipanggil untuk maju ke garis depan. Aku tahu, di dalam hatinya dia tak pernah ingin meninggalkanku, tetapi ada sesuatu yang lebih besar darinya, dari kami, yang memaksanya pergi. Itu adalah panggilan tugas, panggilan yang tak bisa dia abaikan meskipun kami sama-sama tahu konsekuensinya. Aku tahu bahwa dia tidak bisa menolak. Bukan hanya karena panggilan itu datang dari atasannya, tetapi juga karena keberanian dalam hatinya yang selalu membuatnya ingin melindungi orang-orang yang ia cintai, termasuk aku. Namun, meskipun aku memahami alasan di balik kepergiannya, ketakutan di hatiku tak pernah bisa dihapus.
ADVERTISEMENT
Ketika hari itu tiba, aku memeluknya erat-erat, berharap bahwa pelukan ini akan cukup untuk membuatnya tetap tinggal. "Jangan pergi," aku berbisik dengan suara yang nyaris tak terdengar, meskipun dalam hati aku tahu bahwa permintaan itu sia-sia. Ada perang yang harus dia hadapi, dan aku tak punya kekuatan untuk menghentikannya. Dio hanya tersenyum, senyuman yang seakan berusaha menenangkan diriku, tetapi aku bisa melihat di balik matanya, ada keraguan, ada ketakutan yang sama dengan apa yang aku rasakan.
Setiap hari, aku duduk di sudut kamar dengan hati yang terus diliputi oleh harapan yang semakin menipis. Aku menunggu kabar darinya, meski dalam hati aku tahu kabar itu mungkin tak pernah datang. Surat-suratku yang aku kirimkan ke medan perang tak pernah berbalas, tapi aku tetap menulis, terus berharap. Di tengah rasa rindu yang menghantamku seperti gelombang tak berkesudahan, aku akan mengambil foto yang ia berikan sebelum kepergiannya. Foto itu, meski sederhana, adalah satu-satunya kenangan nyata yang tersisa dari dirinya, seolah-olah setiap kali aku menatapnya, aku bisa merasakan kehadirannya kembali di sisiku. Dalam foto itu, kami berdua berdiri di depan rumah, dengan senyum bahagia yang terpancar dari wajah kami. Waktu itu kami baru saja selesai menikah, dan semuanya terasa begitu sempurna. Aku mengenakan pakaian istimewa yang menjadi bagian penting dari hari itu, pakaian yang diberikan oleh Dio sebagai hadiah pernikahan di hari bahagia kami. Dio, dengan segala kebaikan hatinya, memberikanku pakaian yang membuat hari pernikahanku terasa lebih istimewa. Dio saat itu menatapku dengan penuh cinta dan berkata, "Kau terlihat sangat cantik, Dewi. Seperti bidadari yang turun dari langit." Aku tertawa kecil mengingatnya, meskipun air mataku mengalir saat ini. Aku hanya bisa membayangkan suara lembutnya, senyuman yang selalu bisa menenangkan hatiku, dan tatapan hangatnya yang membuatku merasa aman.
ADVERTISEMENT
Setiap kali aku melihat foto itu, kenangan tentang hari pernikahan kami kembali membanjiri pikiranku. "Kau berjanji akan kembali, Dio," bisikku pelan di tengah sepi malam. Namun, semakin lama aku menunggu, semakin aku menyadari bahwa janji itu mungkin takkan pernah ditepati. Aku tak tahu apakah ia masih hidup di luar sana, di medan perang yang begitu jauh, di tengah deru peluru dan ledakan yang tiada henti. Tapi di dalam hatiku, aku terus berharap.
"Aku akan menunggumu, apa pun yang terjadi," kataku saat ia pamit untuk pergi berperang.
"Aku pasti kembali, Dewi. Tunggu aku," jawabnya, dengan senyum yang berusaha meyakinkanku meski aku tahu ia juga penuh kekhawatiran.
Sekarang, hari demi hari berlalu tanpa kabar, dan rasa rindu ini semakin tak tertahankan. Tapi setiap kali aku menggenggam foto itu, seolah-olah dengan memegang erat potongan kenangan itu, aku masih bisa merasakan sedikit dari Dio yang masih ada di sini, bersamaku, meskipun tubuhnya mungkin sudah tiada. Cinta kami tetap hidup dalam setiap kenangan, meskipun dunia kami kini terpisah oleh jarak yang begitu jauh.
ADVERTISEMENT
Sejak kejadian itu, kerinduanku terhadap dirinya terasa begitu berat dan tak tertahankan. Setiap malam, aku selalu merasakan kekosongan di samping ranjang ini, membayangkan dia masih ada di sini bersamaku seperti dulu. Di tengah keheningan malam, aku sering memeluk bantal dan membayangkan itu adalah dirinya.
"Kau tahu, Dio, malam ini aku merindukanmu lebih dari biasanya," bisikku dalam gelap kamar yang hampa. Aku membayangkan tatapan lembutnya yang selalu menenangkan, seolah-olah dia benar-benar ada di sampingku, membisikkan kata-kata penghiburan.
"Kau pasti tahu betapa sulitnya hari-hari ini tanpa kehadiranmu, bukan?" Aku sering berkata pada foto kami.
Seolah-olah itu bisa menjawab atau memberikan sedikit rasa tenang. Saat pagi menjelang, aku bangun dan merindukan momen-momen indah saat aku bisa melihatnya tersenyum dengan penuh kasih, masih terbaring di sampingku.
ADVERTISEMENT
Aku membayangkan dia membuka mata dan berkata, "Selamat pagi, sayang. Aku di sini, hanya untukmu." Namun kenyataan yang harus kuhadapi adalah ranjang ini selalu kosong, dan setiap pagi aku terbangun dengan rasa rindu yang tak pernah berkurang, seolah-olah hari-hari kami yang bahagia hanyalah mimpi yang telah lama berlalu.
Anakku kini tak pernah bisa melihat wajah ayahnya yang tampan dan rupawan, karena ayahnya telah pergi untuk selamanya. Dia kini sudah 4 bulan berada dalam perutku, sebuah anugerah yang penuh harapan dan kesedihan. Sebelum kepergiannya untuk berperang, Dio memberikan sebuah secarik kertas yang penuh makna, di mana terukir nama yang akan diberikan untuk anak kami. Saat itu, kami duduk berdua di bawah pohon besar di tepi desa, dan dia dengan lembut menyerahkan kertas itu kepadaku. "Jika anak kita perempuan, aku ingin dia bernama Cahaya," katanya dengan penuh kelembutan.
ADVERTISEMENT
"Karena dia akan menjadi sinar di hidup kita yang gelap ini." Matanya memancarkan keyakinan dan cinta, membuatku merasa seolah-olah dia tak akan pernah benar-benar pergi.
"Dan jika dia laki-laki?" tanyaku, memegang kertas itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Dio tersenyum dan menjawab, "Kalau begitu, namanya Batara. Nama itu berarti kekuatan, sesuatu yang aku harap akan dia bawa dalam hidupnya." Kata-katanya masih terasa seperti gema dalam hatiku, meskipun dia telah tiada.
Kini, setiap kali aku memikirkan nama-nama itu, aku merasa terhubung dengan Dio, dan hatiku terasa lebih ringan meskipun kesedihan tetap menyelimutiku. Dalam doa malamku, aku sering berbisik, "Dio, aku berjanji akan menjaga Cahaya atau Batara dengan segala cinta yang aku miliki. Mereka akan tahu betapa hebatnya ayah mereka, dan betapa dalamnya cinta yang kau berikan untuk mereka." Aku membayangkan, seandainya anak kami bisa merasakan kehadiran Dio dalam setiap langkah hidupnya, bagaimana bahagianya dia mengetahui bahwa dia dilahirkan dari sebuah cinta yang begitu besar dan tulus.
ADVERTISEMENT
Live Update
PSSI resmi mengumumkan Patrick Kluivert sebagai pelatih baru timnas Indonesia, Rabu (8/1). Pelatih asal Belanda ini akan menjalani kontrak selama dua tahun, mulai 2025 hingga 2027, dengan opsi perpanjangan kontrak. Kluivert hadir menggantikan STY.
Updated 8 Januari 2025, 15:57 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini