Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Aspek-Aspek Penting dalam Penyusunan Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa
4 November 2024 9:48 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Muhammad Iqbal Mutaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kontrak merupakan landasan yang sangat penting dalam memulai suatu hubungan bisnis. Layaknya sebuah pondasi bangunan, kesepakatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu beserta konsekuensinya diletakkan di atas sebuah kontrak. Jika pondasi tersebut keropos, segala kesepakatan yang dibangun di atasnya akan rentan terhadap keruntuhan dan konflik. Sebaliknya, bangunan kontrak yang kokoh akan memperkuat hubungan yang terjalin, menciptakan kepercayaan dan pemahaman yang baik bagi para pihak yang terlibat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penting bagi para pelaku bisnis untuk memperhatikan berbagai elemen fundamental dalam kontrak, sehingga kesepakatan yang dibangun di atasnya menjadi kuat dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, pemahaman serta pemenuhan terhadap syarat dan unsur kontrak merupakan titik hulu dalam menyusun bangunan kontrak yang kokoh.
Dalam dunia pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintahan, hubungan bisnis antara pemerintah dan pihak vendor juga sangat bergantung pada kekuatan kontrak. Relasi yang tervisualisasi dalam sebuah perjanjian tertulis ini memegang peranan krusial dalam menentukan keberhasilan setiap proyek pengadaan yang dijalankan. Kontrak bukan hanya sebuah pemenuhan formalitas dalam proses PBJ; ia membawa konsekuensi hukum dan finansial yang signifikan atas berbagai hal yang tercantum didalamnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi pelalu PBJ pemerintah untuk memahami konsep dasar dalam penyusunan kontrak.
ADVERTISEMENT
Regulasi Penyusunan Kontrak
Penyusunan kontrak pada PBJ pemerintahan berpedoman pada dua regulasi utama yang menjadi rujukan. Pertama adalah Staatsblaad Nomor 23 Tahun 1847 tentang Burgerlijk Wetboek voor Indonesië. Staatsblaad masa kolonial yang diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio ini, kini dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Aturan ini berfungsi sebagai landasan hukum yang mengatur berbagai aspek hubungan antar individu, termasuk subjek hukum, kontrak, tanggung jawab hukum, kepemilikan properti, warisan, tanggung jawab profesional, serta penyelesaian sengketa perdata.
Regulasi kedua adalah Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 (Perpres PBJ) beserta peraturan turunannya. Peraturan ini memberikan pedoman yang lebih spesifik mengenai bentuk dan jenis kontrak yang digunakan dalam PBJ pemerintah, serta memberikan contoh mengenai model rancangan kontrak.
ADVERTISEMENT
Asas-Asas Kontrak
Sebelum menentukan bentuk dan jenis kontrak yang akan dipakai, pelaku PBJ pemerintah perlu memahami dengan baik asas-asas dan syarat sahnya suatu kontrak. Kekurangan pemahaman terhadap kedua hal ini dapat mengakibatkan masalah serius di kemudian hari, seperti perselisihan hukum yang berkepanjangan atau bahkan pembatalan kontrak secara hukum.
Menurut Salim (2002) , terdapat lima asas penting pada hukum kontrak, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda (kepastian hukum), asas iktikad baik, asas konsensualisme, dan asas kepribadian. Tiga asas yang pertama disebutkan–kebebasan berkontrak, pacta sunt servanda, dan iktikad baik– didasarkan pada Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
ADVERTISEMENT
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan pilar fundamental dalam hukum perjanjian. Prinsip ini memberikan hak kebebasan bagi tiap individu dalam membuat perjanjian. Secara garis besar, asas ini mencakup empat kebebasan utama: pertama, individu bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian; kedua, mereka dapat memilih dengan siapa mereka ingin berkontrak; ketiga, mereka memiliki hak untuk menentukan isi perjanjian, termasuk syarat dan ketentuan yang berlaku; dan keempat, mereka dapat memilih bentuk perjanjian, baik secara tertulis maupun lisan.
Meskipun secara prinsip perjanjian tidak harus tertulis, dalam konteks pengadaan barang dan jasa pemerintah, terdapat ketentuan yang mengharuskan semua kontrak dilakukan secara tertulis. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 44 Perpres PBJ, yang menegaskan bahwa semua kontrak dalam PBJ pemerintah wajib berbentuk tertulis.
ADVERTISEMENT
2. Asas Pacta Sunt Servanda: Pilar Kepastian Hukum
Asas Pacta Sunt Servanda, yang juga dikenal sebagai asas kepastian hukum, merupakan prinsip fundamental yang mengatur akibat dari setiap perjanjian. Asas ini menegaskan bahwa setiap perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak harus dipatuhi layaknya sebuah undang-undang. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk melaksanakan isi perjanjian dengan penuh tanggung jawab dan komitmen, tanpa adanya pengecualian.
Lebih jauh lagi, asas ini menekankan pentingnya penghormatan terhadap perjanjian yang telah dibuat. Hakim atau pihak ketiga tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi terhadap perjanjian tersebut.
3. Asas Iktikad Baik
Berdasarkan asas ini, para pihak pada sebuah perjanjian harus saling meyakini dan percaya bahwa masing-masing pihak akan melaksanakan substansi perjanjian dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa para pihak seyogyanya tidak hanya fokus pada kepentingan pribadi, tetapi juga mempertimbangkan pihak lain dalam pelaksanaan kontrak, serta menafsirkan isi kontrak secara adil dan patut (Anggraeni, 2021 )
ADVERTISEMENT
4. Asas Konsensualisme
Kata konsensualisme, yang berasal dari bahasa latin “consensus” yang berarti sepakat, merupakan salah satu prinsip dalam kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata. Pasal ini menegaskan bahwa kesepakatan antara para pihak adalah syarat sahnya suatu perjanjian. Menurut Salim (2002), asas ini menunjukkan bahwa kesepakatan tidak harus dilakukan secara formal; cukup dengan adanya persetujuan yang jelas antara kedua belah pihak.
Dalam dunia PBJ pemerintahan, meskipun asas konsensualisme mengijinkan kesepakatan lisan, Perpres PBJ mensyaratkan adanya bentuk tertulis. Kesepakatan ini ditandai dengan tanda tangan di atas meterai dan paraf pada setiap halaman klausul perjanjian. Bahkan, pada proses pemilihan penyedia terdapat tahapan offer (penawaran) atas draf perjanjian oleh pemerintah selaku pemberi kerja dan acceptance (penerimaan) oleh calon vendor.
ADVERTISEMENT
Pada jadwal pengumuman tender, pemerintah selaku pemberi kerja mengunggah draf perjanjian untuk dipelajari calon vendor yang berpartisipasi. Selanjutnya, pada tahap penjelasan tender, peserta dan panitia tender berkesempatan untuk berdiskusi, termasuk membahas kemungkinan perubahan pada klausul perjanjian. Jika ada perubahan, panitia tender akan mengumumkan draf terbaru melalui adendum dokumen tender.
Setelah memahami dan menerima klausul dalam draf perjanjian, peserta tender akan mengajukan dokumen penawaran teknis dan harga. Proses ini berlanjut, hingga peserta yang terpilih sebagai pemenang tender melengkapi detail identitas penyedia dan menandatangani kontrak sesuai dengan draf perjanjian pada dokumen tender.
5. Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan salah satu prinsip yang berarti bahwa suatu p erjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang secara sukarela menyepakatinya. Pada KUHPerdata, asas ini terdapat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340. Pasal 1315 menyatakan, “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan pengikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Sementara itu, Pasal 1340 menegaskan, “Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
ADVERTISEMENT
Kedua pasal tersebut menegaskan bahwa setiap individu atau entitas hanya dapat terikat oleh perjanjian yang mereka buat secara langsung. Dalam konteks ini, tidak ada pihak lain yang dapat mengklaim hak atau kewajiban dari perjanjian yang dibuat, kecuali mereka merupakan bagian dari kesepakatan tersebut. Asas ini juga memberikan kepastian bahwa hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian hanya berlaku bagi mereka yang secara aktif terlibat dalam proses pembuatan perjanjian tersebut.
Syarat Sah Kontrak
Setelah memahami berbagai prinsip dan asas yang mendasari suatu kontrak, penting bagi pelaku Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) untuk mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian dapat dinyatakan sah di mata hukum. Menurut KUHPerdata Pasal 1320 ayat 1 hingga 4, terdapat empat syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Adanya Kesepakatan
Kesepakatan ini dapat diartikan sebagai persesuaian pernyataan kehendak antara pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Menurut Salim (2002), terdapat lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu: (i) bahasa yang sempurna dan tertulis, (ii) bahasa yang sempurna secara lisan; (iii) bahasa yang tidak sempurna, asal dapat diterima oleh pihak lawan; (iv) bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan (v) diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
Meskipun terdapat berbagai cara untuk mencapai kesepakatan, cara yang paling umum dan banyak dilakukan adalah melalui komunikasi yang sempurna, yaitu secara lisan dan tertulis. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan berfungsi sebagai alat bukti yang kuat jika terjadi sengketa di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
2. Adanya Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah. Dalam konteks PBJ pemerintah, pihak yang dianggap cakap untuk melakukan kontrak adalah individu yang memiliki wewenang untuk mewakili pemerintah dan penyedia.
Dari sisi pemerintah, berdasarkan Pasal 9 dan 10 Peraturan Presiden (Perpres) tentang PBJ, pihak yang berhak mewakili pemerintah dalam berkontrak adalah Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Mereka memiliki kewenangan sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan.
Sementara itu, dari sisi penyedia, individu yang berhak menjadi wakil sah adalah: (i) direksi yang sah menurut akta perusahaan, (ii) penerima kuasa dari direksi yang sah, (iii) kepala cabang yang diangkat dengan dokumen yang sah, dan (iv) pejabat yang berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Operasi (KSO) berhak mewakili KSO.
ADVERTISEMENT
3. Adanya Objek Perjanjian
Objek perjanjian merupakan inti dari setiap kontrak, di mana ia mencerminkan prestasi yang menjadi hak dan kewajiban para pihak yang bersepakat. Menurut Salim (2002), prestasi ini dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu perbuatan positif dan negatif. Secara lebih rinci, prestasi dalam suatu perjanjian terdiri dari tiga bentuk: (i) memberikan sesuatu, (ii) melakukan suatu tindakan, dan (iii) tidak melakukan tindakan tertentu.
Objek perjanjian merupakan prestasi, yaitu hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban para pihak yang bersepakat (Salim, 2002). Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif, yaitu: (i) memberikan sesuatu, (ii) berbuat sesuatu, dan (iii) tidak berbuat sesuatu.
Sebagai contoh, dalam konteks pengadaan mobil dinas, objek perjanjian mencakup dua aspek utama. Pertama, adalah kewajiban untuk menyerahkan mobil dinas dengan tipe dan batas waktu tertentu kepada pihak pemerintah. Kedua, adalah kewajiban untuk menyerahkan uang yang setara dengan nilai mobil dinas tersebut. Dengan demikian, jelas bahwa objek perjanjian tidak hanya mencakup apa yang diberikan, tetapi juga mencakup tindakan yang harus dilakukan atau dihindari oleh masing-masing pihak.
ADVERTISEMENT
Memahami objek perjanjian dengan baik adalah kunci untuk memastikan bahwa hak dan kewajiban dalam kontrak dapat dipenuhi. Tanpa kejelasan mengenai objek, risiko sengketa di kemudian hari akan meningkat, yang tentu saja dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan perjanjian.
4. Adanya Kausa yang Halal
Kausa yang halal merupakan salah satu syarat penting dalam sahnya sebuah kontrak. Dalam konteks hukum, kausa yang halal merujuk pada isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Hal ini diatur secara jelas dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Ketidakpatuhan terhadap prinsip ini dapat berakibat fatal, yaitu menjadikan perjanjian tersebut tidak sah. Sebagai contoh, perjanjian yang mengandung unsur kejahatan, seperti perjanjian untuk membunuh orang lain, jelas-jelas dilarang oleh hukum. Dalam hal ini, tidak hanya aspek moral yang dilanggar, tetapi juga ketentuan hukum yang mengatur perlindungan terhadap kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT
Urgensi Asas dan Syarat Sah Perjanjian
Pada KUHPerdata, syarat sah perjanjian dibagi menjadi dua kategori: syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif mencakup kesepakatan dan kecakapan, yang berkaitan langsung dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sementara, syarat objektif terdiri dari objek perjanjian dan kausa halal, yang berfokus pada substansi perjanjian itu sendiri.
Ketika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan. Namun, jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum tanpa memerlukan proses pengadilan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kedua jenis syarat ini dalam menjaga keabsahan suatu perjanjian.
Dalam praktik PBJ pemerintahan, terutama dalam model dokumen kontrak, terdapat ketentuan yang memungkinkan pembatalan perjanjian tanpa harus melalui putusan pengadilan jika syarat subjektif tidak terpenuhi. Ini dimungkinkan berkat adanya redaksi yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata.
ADVERTISEMENT
Memahami asas dan syarat sah perjanjian sangatlah krusial bagi para pelaku PBJ pemerintahan. Dengan pemahaman yang baik, mereka dapat menyusun kontrak yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga mampu melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat. Kesadaran ini menjadi fondasi penting dalam menciptakan hubungan relasional yang kokoh dan mengurangi risiko sengketa di masa mendatang.