Konten dari Pengguna

Habis #IndonesiaGelap, Akankah Terbit Terang atau Semakin Kelam?

Muhammad Khalid
A young researcher and socio-political activist with a vision to create a just and sustainable future. Graduated with a bachelor's degree in International Relations from UGM, currently active as a Human Rights and Democracy Campaigner at INFID.
25 Februari 2025 17:37 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Khalid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi #IndonesiaGelap di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta pada Jumat (21/02). Sumber foto: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Aksi #IndonesiaGelap di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta pada Jumat (21/02). Sumber foto: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Di tengah rintik hujan, ribuan mahasiswa berbaris mengumandangkan tuntutan dan lagu perlawanan. Gelapnya langit seakan mewakili rakyat Indonesia yang tengah gelisah dan marah. Kesejahteraan yang dinanti, nyatanya masih sebatas ucapan janji yang belum terbukti.
ADVERTISEMENT
Gelombang protes bertajuk #IndonesiaGelap berlangsung masif di beberapa kota Indonesia dalam waktu sepekan terakhir. Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, buruh, dan berbagai elemen masyarakat lainnya ini ini tidak muncul tanpa sebab, melainkan atas akumulasi kekecewaan terhadap serangkaian kebijakan yang tidak pro-rakyat mulai dari wacana kenaikan PPN, kelangkaan gas LPG 3 kg, hingga efisiensi anggaran yang berdampak pada hilangnya layanan kebutuhan dasar masyarakat. Sejak awal, kebijakan pengalihan alokasi APBN ini ditujukan untuk merealisasikan program ambisius yang dijanjikan Presiden Prabowo, Makan Bergizi Gratis (MBG) dan injeksi modal awal Danantara.
Kontroversi pejabat pemerintahan dalam menanggapi kritik masyarakat menambah gelombang kemarahan publik. Mulai dari fenomena 'heroisme palsu' Presiden Prabowo dalam membatalkan kenaikan PPN dan pembatasan suplai gas LPG 3 kg yang seakan mempermainkan hajat hidup rakyat, juga lontaran ‘ndasmuoleh Presiden ketika HUT Partai Gerindra ke-17 menanggapi opini terhadap kabinetnya membuatnya terkesan anti-kritik. Ditambah respon bernada arogan dan menyalahkan dari para menteri Kabinet Merah Putih dalam menanggapi tagar #kaburajadulu yang muncul sebagai bentuk kekecewaaan terhadap kondisi negeri. Misalnya celetukan kabur sajalah, kalau perlu jangan balik lagi” dari Immanuel Ebenezer atau “kalau berpikir pindah ke luar negeri saya malah meragukan nasionalisme kalian,” yang dilontarkan Bahlil Lahadalia. Terbaru, Luhut Binsar menanggapi aksi #IndonesiaGelap dengan mengatakan “kau yang gelap, bukan Indonesia.” Serangkaian dinamika ini mencerminkan gaya komunikasi pemerintah yang cenderung gagap, emosional, dan tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan. Tidak heran jika protes masih terus berlangsung, yang apabila terus dibiarkan tanpa solusi akan berimbas pada hilangnya dukungan dan kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah yang artinya menghambat agenda pembangunan.
ADVERTISEMENT
Sebagai warga negara, informasi publik merupakan hak yang seharusnya dijamin dan dipenuhi oleh negara. Hal ini sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28F yang diejawantahkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Terlebih apabila program yang dijalankan berasal dari dana publik (APBN) dengan jumlah besar, transparansi dan pelibatan masyarakat mutlak perlu dilakukan. Termasuk diantaranya program prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran seperti MBG dan Danantara, yang diwarnai spekulasi miring seperti rawannya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses oleh publik. Oleh karena itu, komunikasi publik merupakan salah satu fungsi terpenting negara (Liu, Horsley & Yang, 2012) yang sangat diperlukan untuk sosialisasi kebijakan, termasuk menanggapi pro-kontra yang timbul.
ADVERTISEMENT
Robert Denton dan Gary Woodward (1990) menggambarkan komunikasi publik sebagai upaya menyampaikan suatu pesan untuk memengaruhi kondisi politik tertentu, salah satunya untuk menunjang keberhasilan kebijakan. Proses ini perlu ditunjang dengan pemahaman isu, analisis pemetaan aktor beserta karakteristiknya, dan metode pendekatan yang tepat agar pesan dapat diterima secara efektif. Terlebih dalam konteks komunikasi politik, kemampuan dalam memahami situasi politik, kebijakan, dan respon publik yang kompleks dan dinamis juga diperlukan agar penyampaian pesan tepat secara waktu dan konteks. Menilai respon pemerintah dalam menanggapi protes yang muncul di ruang publik belakangan ini, kemampuan komunikasi publik jelas merupakan hal yang mendesak untuk dibenahi. Setidaknya terdapat 3 poin penting yang perlu dilakukan agar komunikasi yang dilontarkan para pejabat kedepannya mampu mengembalikan kepercayaan publik.
ADVERTISEMENT
Pertama, pemerintah perlu memahami apa yang dirasakan oleh publik, dengan lebih banyak turun dan melihat langsung situasi di lapangan. Dengan begitu, apa yang dilontarkan selaras dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, tidak justru kontraproduktif dan memperkeruh suasana. Komunikasi yang baik adalah sesuatu yang didasari dengan emosi dan empati yang mendalam terhadap suatu masalah. Sebagai contoh ketika efisiensi anggaran pertama kali dilontarkan ke publik, muncul berbagai respon dan spekulasi. Kebijakan ini pada dasarnya progresif jika dilakukan melalui sosialisasi dan proses yang bertahap, namun apabila penerapannya terlalu cepat dan terkesan memaksakan justru menimbulkan kecurigaan. Ancaman kehilangan pekerjaan hingga penurunan geliat aktivitas ekonomi juga menjadi kekhawatiran terutama bagi kelas menengah. Alih-alih memberi jaminan perlindungan dan alternatif pekerjaan terhadap masyarakat yang terdampak, salah satu pejabat justru mengatakan bahwa berakhirnya kontrak bukan termasuk PHK. Bisa jadi apa yang disampaikan betul adanya, tetapi ini menunjukkan rendahnya empati terhadap masyarakat Indonesia yang sebagian besar menggantungkan hidup pada pekerjaan informal dan tidak tetap.
ADVERTISEMENT
Kedua, pesan komunikasi publik perlu didasari kecakapan dan mitigasi yang matang. Hal ini diperkuat dengan basis data serta kesiapan dalam merancang opsi alternatif dalam menanggapi suatu respon. Misalnya salah satu tuntutan dalam aksi #IndonesiaGelap pada tanggal 17 Februari yaitu evaluasi program MBG yang dikhawatirkan menjadi proyek bancakan korupsi jika tidak diiringi dengan tata kelola yang transparan. Masukan ini memiliki intensi yang konstruktif pada dasarnya, dan menguatkan apa yang menjadi prioritas bagi pemerintah. Ditambah, bisa jadi masyarakat memiliki sentimen dan spekulasi negatif karena informasi yang masih terbatas terkait program ini. Maka ketimbang menanggapi tuntutan aksi ini dengan menuduh adanya intervensi asing, akan bijak apabila momentum ini digunakan untuk membuka transparansi dan penjelasan secara komprehensif terkait program-program yang sejauh ini masih diragukan oleh masyarakat. MBG misalnya, penentuan vendor hingga skema distribusi yang partisipatif dan bebas kepentingan perlu dijamin dan dijelaskan kepada masyarakat, sehingga semua terlibat dalam pengawasan dan dapat terimplementasi secara efektif. Begitupun terkait pembentukan Danantara melingkupi peruntukannya, bagaimana skema penentuan pimpinan, dan pelibatan publiknya menjadi sebagian dari ruang kosong yang masih menjadi tanda tanya. Selain kedalaman data, opsi alternatif juga penting dimiliki agar pemerintah tidak kaku dan memaksakan satu bentuk kebijakan. Keluwesan dalam menahan atau mengubah bentuk kebijakan, dengan tetap mempertahankan tujuan dasarnya, penting dilakukan oleh pemerintah untuk menyikapi dinamika respon publik. Misalnya dalam kasus penambahan pemasukan dari pajak, meningkatkan rasio kepatuhan pajak di sektor usaha atau menambah rasio pajak benda mewah dapat menjadi alternatif yang lebih relevan ketimbang menambah beban PPN yang berlaku universal, di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang tengah kesulitan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, yang tidak kalah penting untuk membawa krisis kepercayaan menjadi langkah perbaikan yaitu pendekatan partisipatif. Metode ini berfokus pada pelibatan masyarakat untuk turut serta dalam mengevaluasi, merekonstruksi, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan strategis yang berdampak pada masyarakat luas. Kekurangan dalam kebijakan seringkali diakibatkan bias konfirmasi, sehingga perlu diimbangi dengan perspektif multipihak. Semakin banyak pihak yang terlibat dan berkontribusi dalam penyempurnaan program, hal ini akan membawa inovasi yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat sehingga mendorong tata kelola kebijakan yang lebih maju dan inklusif. Gebrakan seperti ini juga akan menjadi warisan positif dalam meningkatkan praktik demokratisasi di lingkup formulasi kebijakan. Konsep ini dapat diterapkan dalam kebijakan efisiensi anggaran misalnya, realokasi sebesar 306 triliun rupiah bukanlah angka sedikit yang dampaknya memengaruhi banyak sektor. Apabila dilakukan tanpa konsultasi dan prioritasisasi program secara matang, akan menimbulkan kebingungan dan transisi yang tidak berjalan mulus seperti yang terjadi saat ini. Proses serba cepat ini perlu ditinjau kembali dengan melibatkan unsur masyarakat lebih luas dan kalkulasi kondisi secara akurat, misalnya bagaimana pemangkasan APBN pada subsidi transportasi publik di daerah akan berdampak terhadap aktivitas ekonomi daerah, dan apakah APBD dapat menutupi kekosongan fiskal tersebut. Analisis komprehensif ini tentu bukan pekerjaan yang dapat dilakukan dalam semalam, oleh karena itu perancangan strategi dan pelibatan publik dari awal hingga akhir proses penting untuk dilakukan.
ADVERTISEMENT
Melalui penerapan ketiga strategi komunikasi di atas, pemerintah seharusnya dapat menjadikan kritik publik ini sebagai katalisator untuk menyempurnakan kebijakan. Tanggapnya respon publik menunjukkan kepedulian dan daya kritis tinggi, yang merupakan kunci bagi penguatan demokrasi. Apabila disikapi dengan tepat, kesempatan ini dapat mengembalikan kerja pemerintahan ke trek yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Penentunya ada pada kemauan kabinet merah putih yang baru berumur 100 sekian hari ini dalam membuka ruang partisipasi bermakna. Apabila dalam kesempatan lalu Presiden menawarkan wacana kepada partai politik koalisinya untuk membentuk koalisi permanen dengan dalih menunjang stabilitas pembangunan, barangkali pandangan itu perlu diluruskan.