Konten dari Pengguna

Antikorupsi Sebagai Mata Kuliah Wajib, Strategi Membangun Ekosistem Integritas

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
2 Mei 2025 16:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 menjadi momentum historis dengan diumumkannya kebijakan baru oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa mata kuliah antikorupsi akan menjadi wajib di seluruh perguruan tinggi. Sebuah keputusan strategis yang telah disepakati dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Wakil Ketua KPK, Ibnu Basuki Widodo, dalam acara di Gedung ACLC KPK, 2 Mei 2025.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini bukan hanya simbolik. Ia merupakan bagian dari strategi jangka panjang menciptakan ekosistem antikorupsi yang kokoh. Pendekatan ekosistem menempatkan pendidikan sebagai simpul vital dalam membentuk perilaku kolektif antikorupsi. Pendidikan tidak lagi hanya dilihat sebagai wahana transfer ilmu, tapi juga sebagai arena pembentukan karakter hukum, moral, dan sosial.
Korupsi di Indonesia bukan sekadar persoalan hukum. Ia adalah gejala struktural dan kultural yang telah membentuk apa yang disebut subculture of corruption atau budaya permisif yang menjadikan penyalahgunaan kekuasaan sebagai kenormalan. Teori kriminalitas modern melihat korupsi sebagai hasil dari pertautan antara peluang, lemahnya pengawasan, dan absennya nilai-nilai moral yang tertanam sejak dini.
Karena itu, kebijakan KPK menyasar pendidikan sejak PAUD, SD, hingga perguruan tinggi merupakan langkah strategis. Anak-anak adalah benih. Apa yang mereka lihat, dengar, dan pelajari akan menjadi sistem kepercayaan mereka terhadap dunia. Ketika antikorupsi diajarkan oleh guru dan orang tua sebagai nilai luhur, maka generasi baru akan memiliki imunisasi moral terhadap praktik korupsi.
ADVERTISEMENT
Pendidikan antikorupsi tidak cukup hanya diajarkan secara kognitif. Ia harus dirancang secara afektif dan konatif. Artinya, mahasiswa tidak hanya tahu bahwa korupsi itu salah, tetapi juga merasa jijik terhadapnya dan memiliki komitmen untuk menolaknya. Mata kuliah wajib ini harus dirancang dengan pendekatan transdisipliner, memadukan hukum, etika, sosiologi, bahkan psikologi moral.
Teori ekosistem antikorupsi menekankan pentingnya keterkaitan antaraktor dan institusi. Dalam konteks pendidikan tinggi, hal ini berarti pelibatan dosen, kurikulum, organisasi mahasiswa, bahkan sistem tata kelola kampus yang bersih dari praktik pungli atau gratifikasi. Mahasiswa harus melihat bahwa apa yang diajarkan selaras dengan yang dipraktikkan.
Namun, tantangan terbesar dalam implementasi mata kuliah ini adalah resistensi dari dalam. Tak sedikit perguruan tinggi masih menjadi lahan subur praktik KKN, mulai dari jual beli nilai, suap untuk kelulusan, hingga manipulasi dana riset, dan politik menduduki jabatan rektor maupun jabatan struktural lainnya. Karena itu, penting agar reformasi ini tidak bersifat kosmetik, tetapi menyentuh sistem dan budaya kampus secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Teori kontrol sosial dalam kriminologi menyatakan bahwa kejahatan terjadi ketika ikatan sosial terhadap norma-norma melemah. Maka, memperkuat kontrol sosial di dunia pendidikan sebagaimana melalui penguatan integritas dosen, keteladanan pimpinan, dan pembentukan komunitas antikorupsi mahasiswa, adalah kunci pencegahan.
Kita tidak boleh lupa bahwa korupsi bukan hanya urusan elite politik. Ia menular dari ruang kecil, dari ruang kelas, biro akademik, koperasi mahasiswa, hingga rektorat. Ketika praktik tidak sehat dibiarkan dalam kampus, kita sedang mencetak sarjana yang telah 'terbaptis' dalam logika korupsi sebelum ia masuk ke dunia kerja atau politik.
KPK dan Kemendiktisaintek perlu menyiapkan instrumen evaluasi yang jelas. Keberhasilan bukan diukur dari jumlah kampus yang membuka mata kuliah antikorupsi, tetapi dari dampaknya terhadap sikap dan perilaku lulusan. Survei integritas mahasiswa, indeks persepsi antikorupsi kampus, hingga audit etika akademik harus menjadi bagian dari evaluasi berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sinergi dengan LLDIKTI dan BAN-PT harus dilakukan untuk menjadikan aspek integritas sebagai indikator akreditasi institusi pendidikan tinggi. Kampus yang abai terhadap nilai antikorupsi semestinya tidak mendapatkan penilaian tinggi meskipun unggul secara akademik.
Penanaman nilai antikorupsi juga harus dilakukan melalui pendekatan kultural. Seni, film, teater, dan karya sastra mahasiswa harus diarahkan untuk mengangkat tema etika, integritas, dan pemberantasan korupsi. Pendidikan karakter hanya efektif bila ia hidup dalam budaya kampus, bukan sekadar modul di ruang kelas.
KPK juga dapat memfasilitasi program beasiswa atau magang bagi mahasiswa yang aktif mengembangkan gerakan antikorupsi di kampus. Dengan begitu, mereka memiliki insentif moral dan karier yang jelas. Ini akan menciptakan agen perubahan yang bekerja bukan karena idealisme kosong, tapi karena punya visi profesionalisme integritas.
ADVERTISEMENT
Langkah ini tidak boleh berhenti pada tataran simbolik. Sebab, banyak agenda reformasi sebelumnya tumbang oleh pragmatisme politik dan resistensi birokratik. Butuh keberanian dan konsistensi dari para pemimpin kampus, dosen, dan pemerintah untuk menjadikan antikorupsi sebagai core value pendidikan nasional.
Kita sedang berada pada titik krusial. Apakah pendidikan akan menjadi benteng terakhir integritas atau justru pabrik legalisasi korupsi akademik? Pilihan ini tergantung pada keseriusan kita hari ini dalam membangun ekosistem yang sehat, transparan, dan berkarakter.
Maka, mari kita sambut kebijakan mata kuliah wajib antikorupsi ini bukan dengan tepuk tangan seremonial, melainkan dengan kerja sistematis dan komitmen kolektif. Karena bangsa yang kuat adalah bangsa yang membangun masa depannya dengan fondasi kejujuran.