Konten dari Pengguna

BUMN dan Bayang-Bayang Impunitas Pertanggungjawaban Hukum

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
7 Mei 2025 13:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Parlemen telah resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 24 Februari 2025. Ini merupakan revisi ketiga dari UU No. 19 Tahun 2003. Namun, alih-alih memperkuat tata kelola perusahaan negara, regulasi baru ini justru menimbulkan kekhawatiran serius dalam aspek integritas dan penegakan hukum, khususnya dalam kerangka hukum pidana korporasi modern.
ADVERTISEMENT
Pasal 9G UU BUMN 2025 menyebutkan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Dengan demikian, mereka tidak lagi diwajibkan untuk menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sinilah letak celah baru yang potensial memperlebar ruang gelap korupsi.
Secara historis, banyak kasus besar korupsi berasal dari tubuh BUMN. Kasus suap pengadaan pesawat di Garuda Indonesia yang menyeret direktur utamanya adalah contoh nyata. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp9,37 triliun. Belum lagi skandal pengadaan LNG dan Pertamax palsu di Pertamina yang nilai kerugiannya disebut mencapai ratusan triliun rupiah.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) selama 2016–2021 mengungkapkan bahwa terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN, melibatkan 340 tersangka, di mana 51 di antaranya adalah direktur BUMN. Fakta ini menunjukkan bahwa jabatan di BUMN menyimpan risiko moral hazard yang tinggi jika tidak disertai mekanisme pengawasan yang ketat.
ADVERTISEMENT
Ketika LHKPN tidak lagi diwajibkan, transparansi menjadi korban pertama. LHKPN adalah instrumen awal deteksi dini terhadap ketidakwajaran kekayaan pejabat negara, termasuk di BUMN. Ketika instrumen itu dicabut dari lingkup direksi dan komisaris BUMN, maka pintu awal pencegahan korupsi telah resmi dibuka lebar.
Dari sudut pandang hukum pidana korporasi, keputusan ini berpotensi menurunkan standar due diligence dalam governance korporasi negara. Teori hukum pidana korporasi modern menekankan tanggung jawab pidana tidak hanya pada individu tetapi juga pada entitas hukum (korporasi) yang diwakili oleh manajemen puncaknya. Maka, penghapusan status penyelenggara negara justru mengaburkan subjek pertanggungjawaban pidana korporasi negara.
Lebih dalam lagi, penghapusan kewajiban LHKPN dapat menciptakan asymmetric accountability antara korporasi negara dan pejabat publik lainnya. Padahal BUMN adalah pengelola keuangan negara melalui penyertaan modal negara (PMN), dana publik, dan belanja APBN, sehingga seharusnya tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan publik yang akuntabel dan transparan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini juga berpotensi menciptakan ruang impunitas baru bagi aktor korporasi negara. Ketika tidak ada kewajiban pelaporan kekayaan, dan kedudukan hukum direksi-komisaris tidak lagi setara dengan pejabat publik, maka akan terjadi kevakuman norma dalam aspek pertanggungjawaban pidana dan administratif.
Secara sistemik, ini menunjukkan belum terjadinya konsolidasi harmonis antara UU BUMN dengan UU Tipikor, KUHAP, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU BPK, hingga UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Padahal, dalam negara hukum modern, sinergi antar-peraturan adalah nadi keadilan substantif.
Perlu diingat, korporasi negara memiliki kekhususan sebagai entitas ganda. Di satu sisi menjalankan fungsi bisnis, di sisi lain membawa mandat pelayanan publik. Maka diperlukan pendekatan dual compliance, yaitu sistem kepatuhan yang memenuhi standar tata kelola perusahaan sekaligus norma-norma keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Negara semestinya tidak abai terhadap konsep piercing the corporate veil, di mana hukum pidana dapat menembus batas fiktif korporasi untuk menuntut individu yang mengendalikan keputusan yang merugikan publik. Tanpa pelaporan harta kekayaan, instrumen untuk menembus tabir ini menjadi tumpul.
Implikasinya tidak hanya menyangkut penegakan hukum, tetapi juga kepercayaan investor. Dalam ranah hukum investasi, corporate governance adalah salah satu pilar utama iklim investasi yang sehat. Ketika tata kelola BUMN menjadi buram, persepsi risiko meningkat, dan investor akan menghindari sektor-sektor yang beraroma kroniisme.
Lebih dari itu, revisi UU BUMN seharusnya bukan sekadar harmonisasi peran bisnis negara, tetapi juga menjadi arena konsolidasi prinsip integritas publik. Dalam praktik global, banyak negara justru memperluas cakupan transparansi manajemen BUMN, termasuk memperketat audit, kewajiban pelaporan, hingga pelibatan lembaga antikorupsi.
ADVERTISEMENT
Karena itu, perlu langkah korektif berupa revisi ulang atau minimal judicial review atas pasal 9G yang menjadi akar masalah ini. Prinsip public interest primacy harus ditempatkan di atas kepentingan pragmatis bisnis semata. BUMN bukanlah sekadar entitas ekonomi, tetapi representasi etika publik dan akuntabilitas negara.
Jika tidak ada koreksi, maka risiko jangka panjangnya bukan hanya kerugian keuangan negara, tetapi terkikisnya legitimasi publik terhadap peran negara dalam ekonomi. Ketika BUMN kehilangan kontrol etik dan pengawasan publik, maka negara akan kalah dari korporasi yang dikuasainya sendiri.
Penegakan hukum pidana korporasi tidak bisa bersandar pada pendekatan sektoral semata. Diperlukan kebijakan nasional anti-korupsi yang memadukan reformasi kelembagaan BUMN dengan integrasi sistem hukum pidana, keuangan negara, dan prinsip keterbukaan informasi.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, reformasi hukum BUMN harus berorientasi pada satu kata kunci: konsolidasi. Konsolidasi antara kepentingan ekonomi, integritas publik, dan sistem hukum pidana korporasi yang komprehensif. Tanpa itu, kita hanya akan menyaksikan babak baru korupsi berjubah kebijakan.