Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kashmir Membara, Diplomasi Membisu: Mendesak Strategi Bina Damai Regional
25 April 2025 20:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Serangan bersenjata di Pahalgam, Kashmir, yang menewaskan 26 wisatawan pada 22 April 2025, merupakan tragedi kemanusiaan sekaligus pukulan strategis terhadap stabilitas kawasan Asia Selatan. Dalam kacamata pertahanan nasional, insiden ini bukan sekadar aksi teror, melainkan sinyal perubahan pola ancaman yang menuntut peninjauan ulang terhadap pendekatan keamanan dan diplomasi di wilayah yang disengketakan ini.
ADVERTISEMENT
Dalam peristiwa ini, 25 korban merupakan warga negara India, sementara satu korban berkewarganegaraan Nepal. Pahalgam, destinasi wisata yang selama ini menjadi simbol normalisasi Kashmir, tiba-tiba berubah menjadi ladang kekerasan. Ketika warga sipil menjadi sasaran, maka dimensi perang telah bergeser dari konfrontasi konvensional ke bentuk yang lebih asimetris dan berakar pada ketegangan identitas serta politik spasial.
Dari sudut pandang teori pertahanan nasional, negara wajib melindungi warga negaranya dari segala bentuk ancaman, baik dari luar maupun dari dalam. Kejadian ini menunjukkan bahwa strategi pertahanan internal India belum cukup adaptif terhadap dinamika taktis kelompok bersenjata. Serangan terhadap wisatawan menunjukkan upaya menciptakan disrupsi psikologis dan simbolis terhadap kontrol negara atas wilayah Kashmir.
Lebih jauh, serangan ini memunculkan pertanyaan penting. Apakah kebijakan keamanan India di Kashmir, yang sejak 2019 menjadi wilayah federal tanpa otonomi khusus, benar-benar menghasilkan stabilitas? Ataukah justru menciptakan ruang resistensi baru yang tumbuh dalam senyap?
ADVERTISEMENT
Reaksi India berupa penutupan perbatasan darat, penghentian perjanjian pembagian air, serta pencabutan visa bagi warga Pakistan, adalah respons pertahanan teritorial yang dimotivasi oleh doktrin deterrence by denial. Namun, tindakan ini juga menandakan kemerosotan dalam kapasitas bina damai regional, karena lebih menekankan konfrontasi daripada komunikasi.
Sebaliknya, Pakistan menyangkal keterlibatan dalam serangan, meski tudingan terhadap kelompok militan yang berbasis di wilayahnya terus bermunculan. Penyangkalan semacam ini, jika tidak dibarengi langkah transparan dan kooperatif, akan semakin memperkuat persepsi internasional bahwa negara tersebut menjadi safe haven bagi jaringan kekerasan lintas batas.
Dalam bingkai teori bina damai, situasi ini memperlihatkan kegagalan peace architecture di kawasan Kashmir. Tidak ada mekanisme komunikasi permanen antara aktor negara dan non-negara, serta absennya ruang dialog yang inklusif antara India, Pakistan, dan rakyat Kashmir sebagai subjek utama perdamaian.
ADVERTISEMENT
Salah satu pilar utama bina damai adalah rekonsiliasi dan pembangunan kepercayaan (confidence-building measures). Langkah-langkah ini nyaris tak terdengar dalam narasi kedua negara. Yang justru mendominasi adalah langkah saling balas yang menutup pintu diplomasi dan memperluas ruang kecurigaan.
Ketika negara-negara fokus pada hard power dan respons militer, maka struktur sosial masyarakat lokal dibiarkan rapuh. Di sinilah teori bina damai menggarisbawahi pentingnya pelibatan masyarakat sipil, termasuk tokoh adat, pemuda, dan perempuan, dalam merumuskan kerangka damai yang tidak eksklusif terhadap elit kekuasaan.
Serangan terhadap warga sipil seperti di Pahalgam harus dibaca sebagai kegagalan ganda: kegagalan pertahanan dalam mencegah, serta kegagalan bina damai dalam menciptakan rasa aman. Tanpa sinergi antara dua pendekatan ini, Kashmir akan terus menjadi kawasan rentan terhadap siklus kekerasan yang berulang.
ADVERTISEMENT
Penting untuk mengingat bahwa Kashmir adalah titik temu berbagai kepentingan global. Selain India dan Pakistan, aktor besar seperti Cina dan bahkan kekuatan Barat memiliki minat strategis di kawasan ini. Namun tanpa tata kelola damai yang adil dan partisipatif, kekuatan-kekuatan eksternal itu hanya akan memperumit konflik.
India dan Pakistan harus menyadari bahwa solusi militeristik bukanlah jawaban jangka panjang. Mengutip Johan Galtung, pendiri studi perdamaian modern, "tidak ada perdamaian sejati tanpa keadilan struktural." Maka, langkah pertama adalah mengakui hak-hak dasar masyarakat Kashmir dan memberikan ruang partisipasi politik yang sehat.
Dalam kerangka pertahanan nasional, perlu ada redesain sistem keamanan yang tidak hanya mengandalkan senjata dan intelijen, tetapi juga sistem early warning berbasis komunitas. Pendekatan ini memungkinkan negara mendeteksi potensi kekerasan sejak dini dan mendorong respons yang lebih humanistik.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama, dalam kerangka bina damai, upaya pemulihan kepercayaan melalui kerja sama lintas batas seperti bantuan kemanusiaan bersama, dialog antaragama, dan pertukaran pelajar lintas negara harus dikedepankan. Inilah wujud dari positive peace yang berkelanjutan.
Kashmir bukan hanya medan konflik, tetapi juga ruang harapan. Namun harapan ini hanya bisa terwujud jika kedua negara keluar dari narasi nasionalisme sempit, dan berani membangun arsitektur perdamaian yang inklusif, adil, dan berbasis pada pengakuan terhadap pluralitas identitas.
Tragedi Pahalgam adalah cermin retak dari wajah pertahanan dan perdamaian Asia Selatan. Dunia harus ikut ambil bagian, bukan sebagai penonton, melainkan sebagai fasilitator transformasi. Sebab, keamanan tanpa perdamaian hanya akan melanggengkan rasa takut, dan perdamaian tanpa keamanan hanyalah ilusi kosong.
ADVERTISEMENT