Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Konflik India-Pakistan, Babak Baru Rivalitas Geopolitik Asia Selatan
7 Mei 2025 17:27 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada Rabu, 7 Mei 2025, dunia dikejutkan oleh eskalasi militer tajam antara dua negara bersenjata nuklir di Asia Selatan, India dan Pakistan. Enam rudal yang ditembakkan India ke wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan telah menewaskan sedikitnya 26 orang dan melukai setidaknya 38 lainnya. Dalam respons cepat, Pakistan menembak jatuh tiga jet tempur Rafale milik India. Peristiwa ini merupakan puncak baru dari rivalitas geopolitik yang telah berlangsung selama lebih dari tujuh dekade.
ADVERTISEMENT
India menamakan serangan tersebut sebagai bagian dari “Operasi Sindoor”, suatu tindakan yang, menurut pejabat India, dimaksudkan untuk menetralisir elemen-elemen “teroris lintas batas”. Namun, dampak dari operasi itu bukan hanya kehancuran lokal, tetapi juga membunyikan lonceng bahaya global. Saat Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif, menyatakan tindakan India sebagai pernyataan perang. Dunia internasional memasuki fase krisis baru yang mengancam stabilitas keamanan kawasan dan global.
Dari sudut pandang teori pertahanan nasional, tindakan India dapat dipahami sebagai upaya mempertahankan integritas teritorial dan keamanan nasional melalui serangan pre-emptive. Ini merupakan praktik dari konsep deterrence by punishment, yakni menciptakan efek gentar melalui serangan yang bersifat ofensif demi mencegah ancaman lanjutan. Namun, langkah ini mengabaikan prinsip-prinsip strategi pertahanan yang menekankan pada strategic restraint dan de-escalation diplomacy.
ADVERTISEMENT
Pakistan, dalam bingkai doktrin pertahanannya, juga bertindak sesuai dengan prinsip kedaulatan dan respons setara. Dengan menembak jatuh tiga jet Rafale, Islamabad tidak sekadar menunjukkan kemampuan pertahanannya, tetapi juga mengirim sinyal keras ke New Delhi, bahwa setiap pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan akan ditanggapi dengan kekuatan penuh. Namun, respons militer semacam ini kerap memicu spiral eskalasi yang sulit dikendalikan.
Konflik di Kashmir bukan sekadar konflik teritorial, melainkan titik api geopolitik yang terus menyala akibat kegagalan struktural dalam menyelesaikan sengketa secara damai. Teori bina damai (peacebuilding) menegaskan pentingnya transformasi konflik, bukan hanya manajemen krisis. Sayangnya, dalam konteks India-Pakistan, belum ada komitmen jangka panjang dari kedua pihak untuk melakukan rekonsiliasi struktural melalui dialog lintas batas yang bermakna.
ADVERTISEMENT
India dan Pakistan sama-sama negara demokrasi dengan kapasitas militer yang besar, termasuk senjata nuklir. Ketegangan militer keduanya bukan hanya membahayakan warga sipil di perbatasan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian di pasar global, mengancam jalur perdagangan Asia Tengah, serta memperburuk krisis energi dan pangan global yang saat ini sedang rapuh. Dunia tidak bisa memandang konflik ini sebagai isu regional semata.
Bagi aktor internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB, ASEAN, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), situasi ini harus ditanggapi secara aktif. Pendekatan multilateral perlu didorong untuk mencegah perang terbuka. Sanksi diplomatik terhadap eskalasi militer dan insentif ekonomi bagi inisiatif perdamaian harus berjalan simultan. Bina damai modern membutuhkan intervensi strategis, bukan hanya retorika moral.
ADVERTISEMENT
Peran pemimpin politik juga sangat menentukan. PM Narendra Modi dan PM Shehbaz Sharif harus sadar bahwa mereka tidak hanya pemimpin nasional, tapi juga aktor kunci dalam menjaga ketertiban dunia. Menghidupkan kembali jalur diplomatik bilateral seperti Dialog Komposit dan Perjanjian Lahore 1999 bisa menjadi langkah awal meredakan ketegangan.
Selain itu, komunitas masyarakat sipil, media, dan lembaga keagamaan lintas negara harus diberdayakan sebagai aktor bina damai. Mereka dapat membangun narasi-narasi damai, memperkuat kerja sama lintas batas, dan membongkar propaganda kebencian yang kerap menjadi bahan bakar konflik. Tanpa peran masyarakat sipil, upaya diplomasi hanya akan bersifat elitis dan rapuh.
Dalam aspek militer, kedua negara harus mengaktifkan kembali hotline militer dan mekanisme Confidence Building Measures (CBMs) yang telah dibekukan sejak insiden Balakot 2019. Transparansi militer dan komunikasi lintas komando penting untuk mencegah salah kalkulasi strategis yang bisa memicu perang besar.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif pertahanan nasional modern, kekuatan tidak semata-mata ditentukan oleh rudal dan jet tempur, tetapi juga oleh kemampuan negara mencegah perang melalui diplomasi preventif. Strategi pertahanan yang adaptif saat ini harus bersinergi dengan soft power dan ketahanan sosial-politik internal.
Serangan 7 Mei juga menguji efektivitas aliansi global. Bagaimana sikap China sebagai mitra strategis Pakistan, dan bagaimana sikap Amerika Serikat yang menjalin hubungan keamanan dengan India? Ketidakpastian ini dapat merombak ulang peta kekuatan geopolitik Asia. Eskalasi India-Pakistan bukan sekadar ancaman bilateral, tetapi bisa memicu perlombaan senjata regional.
Sebagai negara bersenjata nuklir, baik India maupun Pakistan terikat oleh prinsip no first use dalam doktrin mereka. Namun, dalam situasi eskalatif, doktrin ini bisa berubah. Jika konflik tidak diredam, potensi penggunaan senjata pemusnah massal tidak lagi sekadar teori, melainkan bahaya nyata.
ADVERTISEMENT
Pendekatan pertahanan nasional yang berpijak pada keamanan manusia (human security) harus menjadi orientasi baru. Perlindungan warga sipil, pemulihan wilayah terdampak, serta jaminan hak asasi manusia tidak boleh dikorbankan atas nama pertahanan negara. Nasionalisme yang militan hanya akan membawa pada kehancuran kolektif.
Sebaliknya, melalui teori bina damai, kita dapat membayangkan masa depan India dan Pakistan sebagai kekuatan regional yang tidak saling mengancam, tetapi justru saling memperkuat melalui kerja sama ekonomi, pendidikan, dan budaya. Kerja sama lintas sektor dapat menciptakan ruang baru bagi kepercayaan dan stabilitas jangka panjang.
Dunia menyaksikan. Perang adalah pilihan, tetapi perdamaian adalah strategi yang lebih berani. Dalam bayang-bayang rudal dan Rafale yang jatuh, para pemimpin kedua negara harus memilih antara kehancuran bersama atau masa depan yang dibangun di atas rekonsiliasi dan tanggung jawab moral kepada umat manusia.
ADVERTISEMENT