Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Korporasi di Balik Vonis Hakim, Wajah Baru Kejahatan Terorganisasi di Indonesia
21 April 2025 16:22 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan suap vonis ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta, mengoyak nurani hukum kita. Bersama tiga majelis hakim, yaitu Agam Syarif Baharudin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto, serta panitera dan pengacara, membongkar transaksi jual beli hukum oleh hakim. Praktik jual beli putusan kini bukan sekadar rumor, tetapi realitas hukum di hadapan publik.
ADVERTISEMENT
Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan pada 19 Maret 2025 terhadap tiga raksasa industri sawit, yaitu Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group, yang menjatuhkan vonis onslag van rechtsvervolging, menandai titik kritis. Putusan itu menyatakan bahwa korporasi terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan, namun tidak memenuhi unsur tindak pidana.
Ironisnya, setelah vonis dijatuhkan, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan aliran suap sebesar Rp60 miliar kepada majelis hakim. Fakta hukum yang mengguncang ini mengindikasikan bahwa korporasi bukan lagi sekadar pihak pasif yang “terseret” dalam perkara pidana, melainkan pelaku aktif yang menyuap, mengatur putusan, dan menuai keuntungan dari kejahatan korupsi.
Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan oknum penegak hukum, karena pola ini berulang. Kasus vonis bebas Ronald Tannur pada 24 Juli 2024 dalam perkara pembunuhan, juga menguak jual beli putusan oleh hakim PN Surabaya. Bahkan, vonis ini turut menjerat seorang mantan pejabat Mahkamah Agung yang menyimpan hampir Rp1 triliun uang tunai di kediamannya.
ADVERTISEMENT
Persoalannya bukan lagi pada siapa yang bermain, melainkan apa yang dibiarkan oleh sistem. Di tengah penguatan praktik korupsi oleh korporasi, sistem hukum pidana kita masih bertumpu pada individu sebagai pelaku utama. Padahal, kejahatan korporasi pada dasarnya adalah kejahatan sistematis, terstruktur, dan berorientasi profit.
Korporasi sebagai Pelaku Pidana
Dalam kerangka modern hukum pidana, banyak negara sudah lama mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana. Belanda sejak 1950-an telah memidanakan perusahaan yang terlibat dalam kejahatan lingkungan, penipuan fiskal, hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Indonesia sebenarnya bukan tertinggal secara normatif. Sejumlah peraturan perundangan, baik UU Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, hingga UU Perlindungan Konsumen, telah membuka ruang bagi pertanggungjawaban pidana korporasi. Namun, dalam praktik penegakan, pemidanaan korporasi masih terhitung langka dan tidak optimal.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara ekspor CPO yang merugikan negara misalnya, mestinya korporasi bukan hanya dikenai sanksi administrasi atau denda, tetapi juga dimintai pertanggungjawaban pidana secara langsung. Pemidanaan terhadap individu semata tidak cukup membongkar struktur niat jahat (mens rea) korporasi, yang dalam banyak kasus justru didesain dan dioperasikan oleh sistem internal perusahaan itu sendiri.
Jika serius ingin menjadikan hukum pidana sebagai alat kontrol sosial terhadap kekuatan ekonomi, maka model sanksi terhadap korporasi harus diperluas dan dipertegas. Pertama, pembekuan aset korporasi, termasuk seluruh anak usahanya sebagai bentuk penyitaan hasil kejahatan. Kedua, pencabutan izin usaha permanen bagi perusahaan yang terbukti melakukan suap kepada penegak hukum. Ketiga, pembubaran korporasi sebagai hukuman ultimum remedium, terutama bila terbukti melakukan kejahatan berulang dengan dampak besar atas keuangan negara. Model sanksi ini bukan sekadar memberi efek jera, melainkan menciptakan transformasi perilaku korporasi secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Agenda Legislasi dan Penegakan
Modernisasi KUHP yang telah disahkan, membuka peluang untuk menguatkan posisi korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Namun, tanpa perubahan paradigma di tubuh penegak hukum dan kehakiman, norma hukum ini akan tetap menjadi macan kertas.
Kejaksaan Agung patut diapresiasi karena menunjukkan keberanian mengusut peran korporasi dan aktor peradilan. Kini, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus menunjukkan bahwa marwah peradilan tidak boleh diperdagangkan. Parlemen dan pemerintah harus menyusun grand design pemidanaan korporasi dalam peta hukum pidana nasional. Jangan lagi hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Kita hidup di tengah arus global di mana korporasi dapat lebih kuat dari negara. Bila hukum tidak berani menyentuh, maka negara akan dikendalikan oleh uang, bukan keadilan. Indonesia sedang di persimpangan jalan. Antara menjadi negara hukum yang memuliakan keadilan atau menjadi negara yang tunduk pada kuasa modal. Menjerat korporasi bukan berarti memusuhi dunia usaha, tetapi memastikan bahwa individu atau badan hukum setara di hadapan hukum.
ADVERTISEMENT
Keadilan sejati tidak boleh berhenti di ruang sidang. Ia harus menjalar ke dalam tubuh perusahaan, menyusup ke ruang rapat direksi, dan memaksa para pengusaha untuk menyadari bahwa bisnis tanpa etika adalah jalan pintas menuju kehancuran. Jika hari ini kita gagal menghukum korporasi, maka esok hari kita akan dihukum oleh sejarah.