Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Peta Jalan Reformasi Peradilan, Dari Rotasi Menuju Ekosistem Hukum yang Baik
24 April 2025 13:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peradilan adalah benteng terakhir keadilan. Ketika benteng ini runtuh, kepercayaan publik terhadap negara ikut roboh. Baru-baru ini, Mahkamah Agung (MA) melakukan langkah besar dengan merotasi 199 hakim dan 68 panitera di berbagai pengadilan negeri (PN), termasuk PN Surabaya dan PN Jakarta Selatan. Langkah ini menjadi respons atas dugaan praktik jual beli hukum yang mencoreng wajah institusi peradilan.
ADVERTISEMENT
Rotasi ini bukan sekadar mutasi administratif. Ia mencerminkan upaya restoratif terhadap kepercayaan publik. Dalam teori reformasi hukum, perubahan struktur harus diiringi perubahan budaya hukum. Dalam konteks ini, perombakan hakim harus dimaknai sebagai upaya membongkar budaya permisif terhadap korupsi dan menyusun ulang sistem integritas yang lebih kokoh.
Reformasi hukum yang ideal menurut Lawrence Friedman terdiri dari tiga elemen, yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum. Ketiganya saling berkaitan. MA telah menyentuh aspek struktur lewat rotasi ini, namun PR besar menanti di ranah substansi dan budaya. Jika tidak, rotasi hanya akan menjadi “politik pindah kursi” yang gagal menyentuh akar persoalan.
Kasus di PN Surabaya berkaitan vonis bebasRonald Tannur dan PN Jakarta Selatan dengan skandal vonis lepas ekspor CPO, bukanlah kasus tunggal. Ia merupakan puncak dari gunung es yang disebut “mafia peradilan”, sebuah jejaring tak kasat mata yang menjual keadilan kepada mereka yang punya kuasa dan uang. Mafia ini tak akan hancur hanya dengan mutasi hakim, melainkan perlu pendekatan kriminologi hukum peradilan yang menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Kriminologi hukum peradilan menyoroti relasi kekuasaan dalam lembaga peradilan yang menciptakan peluang deviasi. Ketika kontrol internal lemah, dan pengawasan eksternal tumpul, hakim bisa menjadi aktor dalam patologi hukum. Sistem promosi yang feodal, relasi informal dengan pihak-pihak eksternal, dan tekanan elit lokal menjadi bagian dari struktur insentif menyimpang tersebut.
Dalam konteks ini, pemetaan potensi korupsi dalam sistem peradilan menjadi langkah krusial. Harus ada audit integritas berkala terhadap aparat peradilan, termasuk mekanisme early warning system berbasis digital yang bisa mendeteksi pola relasi mencurigakan antara hakim, pengacara, panitera, dan pihak-pihak lain dalam suatu perkara.
Rotasi juga seharusnya tidak menjadi "pengasingan diam-diam" bagi hakim-hakim yang justru berani dan bersih. MA harus juga transparan dan objektif dalam menentukan siapa yang dipindah dan mengapa. Jika tidak, langkah reformasi ini bisa menjadi bumerang yang justru melumpuhkan hakim-hakim progresif yang berseberangan dengan kekuatan lama.
ADVERTISEMENT
Pergantian ketua PN Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara adalah langkah simbolik sekaligus strategis. Ketiga wilayah tersebut adalah titik panas peradilan Indonesia, tempat perkara-perkara penting dan sensitif sering diputuskan. Integritas pemimpin pengadilan di sini akan sangat menentukan wajah peradilan kita secara nasional.
Namun, penggantian orang saja tidak cukup. Diperlukan perubahan sistemik dalam manajemen perkara, pengawasan internal, dan perlindungan bagi whistleblower. Tanpa sistem merit yang objektif, dan perlindungan terhadap aparat yang berintegritas, peradilan akan tetap rentan disusupi praktik transaksional.
Penting untuk menyoroti bahwa integritas tidak bisa ditanamkan dalam ruang kosong. Harus ada insentif untuk bersikap jujur dan sanksi keras untuk penyimpangan. MA dan Komisi Yudisial harus bekerja sama dalam mengembangkan ekosistem yang menghargai integritas dan mendorong akuntabilitas.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, publik juga harus dilibatkan. Partisipasi masyarakat sipil dalam memantau jalannya peradilan merupakan prasyarat demokrasi hukum yang sehat. Sistem keterbukaan informasi perkara dan sidang daring harus diperluas sebagai bentuk kontrol horizontal terhadap aparat peradilan.
Dalam pendekatan reformasi hukum, perubahan hukum harus kontekstual, yaitu mesti menyesuaikan dengan kondisi sosial, politik, dan budaya masyarakat. Maka, langkah MA ini harus dibarengi kampanye nilai-nilai etika yudisial secara massif, baik melalui pendidikan hukum formal maupun pendidikan masyarakat.
Titik berat reformasi peradilan ke depan adalah membongkar jejaring relasi informal yang menjadi saluran transaksi hukum. Ini melibatkan aktor-aktor non-yudisial seperti pengacara, jaksa, aparat penegak hukum lain, hingga pengusaha dan politisi. Perombakan besar ini adalah momentum. Momentum tidak selalu datang dua kali. MA dan pemerintah harus mengkapitalisasi momentum ini untuk mendorong paket reformasi kelembagaan yang lebih luas, termasuk revisi sistem seleksi dan promosi hakim, serta pembentukan lembaga audit etik independen.
ADVERTISEMENT
Korupsi yudisial adalah kejahatan terhadap demokrasi. Ia menghancurkan nilai-nilai keadilan dari dalam. Maka, respons terhadapnya tidak boleh setengah hati. Rotasi ini harus menjadi awal dari proses pembersihan total terhadap institusi yang selama ini disakralkan tapi ternyata ternoda.
Sebagai masyarakat akademik, kita mendukung langkah ini namun tetap kritis. MA harus membuat roadmap reformasi jangka panjang dengan target yang terukur. Kita tidak boleh puas dengan tindakan insidental. Reformasi harus terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan.
Jika berhasil, sejarah akan mencatat bahwa 2025 adalah titik balik peradilan Indonesia. Namun jika gagal, publik akan makin sinis dan memilih jalan kekuasaan atau uang, bukan hukum, untuk mencari keadilan. Itu adalah kegagalan kita semua.