Konten dari Pengguna

Premanisme Ormas dan Ancaman terhadap Investasi Industri

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
4 Mei 2025 15:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena premanisme yang kembali mencuat di berbagai kota di Indonesia bukan sekadar persoalan keamanan biasa, melainkan telah menjadi tantangan struktural yang mengancam kelangsungan investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Kasus penyegelan pabrik PT Bumi Asri Pasaman (BAP) oleh organisasi masyarakat (ormas) GRIB Jaya di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah, merupakan potret terang bagaimana kekerasan yang dibalut atribut sosial dapat menggerogoti otoritas negara dan stabilitas industri.
ADVERTISEMENT
Premanisme kontemporer tidak lagi hadir dalam wujud jalanan kumuh atau terminal gelap. Ia menjelma dalam wujud organisasi, dengan struktur, simbol, dan jargon perjuangan. Ironisnya, sebagian mengklaim legitimasi sosial, padahal bertindak di luar hukum. Ini memperkuat argumen klasik dari teori differential association dari Edwin H. Sutherland, bahwa perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi sosial, dan semakin terorganisir dalam sebuah kelompok, maka semakin tinggi potensi penyimpangan sistematis.
Peristiwa penyerangan dan intimidasi bersenjata di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada 30 April 2025, menegaskan eskalasi baru dalam bentuk kekerasan geng yang menyaru konflik lahan dan industri. Aksi itu tak ubahnya adegan film gangster, mengindikasikan keterputusan antara pendekatan penegakan hukum dan kenyataan di lapangan. Di sini, teori kontrol sosial Travis Hirschi relevan, bahwa absennya keterikatan pada nilai hukum dan institusi negara memicu tindakan brutal.
ADVERTISEMENT
Premanisme yang mengintervensi sektor industri memiliki dampak sistemik, bukan hanya bagi keamanan lokal, tetapi juga terhadap kepercayaan investor. Dalam teori investasi modal industri, kepercayaan adalah modal awal. Ketika rasa aman terganggu dan prediktabilitas hukum dipertanyakan, maka risiko investasi melonjak drastis.
Premanisme yang menyasar kawasan industri bukan lagi fenomena pinggiran, melainkan telah masuk ke jantung ekonomi produktif. Sejumlah pelaku industri melaporkan adanya pungutan liar, intimidasi terhadap buruh, bahkan pemaksaan alih kontrak keamanan oleh kelompok tertentu. Ini bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan sabotase ekonomi dalam bentuk baru.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyadari eskalasi ini dan mengambil langkah taktis melalui pembentukan Satgas Pemberantasan Premanisme di 27 kabupaten/kota. Ini langkah penting, namun tidak cukup jika tak didukung reformasi penegakan hukum, penguatan komunitas industri, dan pelembagaan sanksi terhadap ormas pelanggar hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka kriminologi, keberadaan satgas merupakan bentuk respons terhadap state failure dalam menjamin perlindungan terhadap warga dan pelaku usaha. Negara hadir dalam bentuk represif, tapi belum tentu preventif. Padahal, teori anomie Emile Durkheim menekankan bahwa kekosongan norma dalam masyarakat bisa diisi oleh norma alternatif yang dibentuk oleh kelompok menyimpang, dalam hal ini premanisme berbasis ormas.
Investasi memerlukan ekosistem hukum yang konsisten. Setiap bentuk intimidasi atau pengambilalihan paksa terhadap aset industri membuat investor mempertimbangkan relokasi. Ini sejalan dengan teori risiko investasi, bahwa ketidakstabilan politik dan sosial menjadi penentu utama dalam pemetaan kelayakan kawasan.
Menariknya, beberapa ormas justru merespons negatif kehadiran satgas, dengan mengklaim bahwa tindakan mereka adalah bagian dari "pengawasan sosial" terhadap investor asing dan pelaku industri. Ini manipulasi logika sosial. Negara harus menegaskan bahwa pengawasan terhadap industri dilakukan oleh institusi resmi, bukan melalui perantara kelompok sipil bersenjata.
ADVERTISEMENT
Ada kebutuhan mendesak untuk membedakan antara ormas sebagai elemen demokrasi partisipatif dan ormas sebagai kedok premanisme. Ketika organisasi sipil menyimpang dari kerangka legal dan mengambil peran koersif, negara wajib bertindak. Jika tidak, maka prinsip supremasi hukum menjadi retoris semata.
Di sisi lain, penanggulangan premanisme tidak dapat mengandalkan aparat semata. Pendekatan kriminologi modern menekankan pentingnya community policing, yaitu kolaborasi antara aparat keamanan, pelaku usaha, dan masyarakat lokal dalam menciptakan sistem pengawasan dan proteksi yang berkelanjutan.
Kawasan industri berikat, yang semestinya menjadi zona aman dan kompetitif bagi investor, kini mulai menjadi titik rawan konflik horizontal akibat masuknya kelompok dengan motif ekonomi tersembunyi. Hal ini mencederai konsep industrial peace yang menjadi dasar utama dari setiap skema investasi jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Pemerintah daerah, terutama kepala daerah, harus memainkan peran aktif sebagai mediator, bukan hanya regulator. Pemda wajib memetakan potensi konflik sosial di sekitar kawasan industri dan membangun mekanisme dialog yang transparan sebelum aksi-aksi koersif terjadi.
Sebuah studi penting dari UNODC mencatat bahwa keterlibatan masyarakat sipil dalam ekonomi informal yang tidak tertata, seperti premanisme pasar dan kawasan industri, cenderung meningkat saat negara gagal menghadirkan keadilan ekonomi. Artinya, selain penindakan, dibutuhkan strategi pengentasan ekonomi alternatif bagi anggota ormas yang rentan menjadi alat kekerasan.
Penegasan bahwa “tidak ada ormas di atas negara” bukan hanya pernyataan simbolik, melainkan harus dikonkretkan dalam bentuk pembubaran ormas pelanggar hukum, penyitaan aset hasil kriminal, dan pemutusan relasi gelap antara oknum aparat dan pelaku lapangan.
ADVERTISEMENT
Jika tidak ditangani secara struktural, premanisme berbasis ormas akan menjadi bentuk baru shadow governance yang mengikis kewibawaan negara dan memperkuat logika kekuasaan jalanan. Ini bukan sekadar gangguan ekonomi, tetapi ancaman terhadap kedaulatan hukum itu sendiri.
Maka, langkah ke depan harus integratif antara pembentukan satgas yang kuat, reformasi penegakan hukum, regulasi ketat terhadap ormas, dan revitalisasi kawasan industri sebagai zona ekonomi yang steril dari intimidasi. Negara harus berdiri kokoh sebagai satu-satunya entitas berdaulat yang menjamin keadilan, keamanan, dan kemakmuran industri bagi seluruh rakyat Indonesia.