Konten dari Pengguna

Reformasi Ruang Publik, Larangan Sumbangan Jalan sebagai Solusi Kriminologis

Muh Khamdan
Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bekerja sebagai Widyaiswara Balai Diklat Hukum dan HAM Jawa Tengah
15 April 2025 13:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dedi Mulyadi selaku gubernur Jawa Barat dalam penjelasan ke kru media (Sumber: Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dedi Mulyadi selaku gubernur Jawa Barat dalam penjelasan ke kru media (Sumber: Kumparan)
ADVERTISEMENT
Paragraf demi paragraf kehidupan urban di Jawa Barat akan menorehkan narasi baru, setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengeluarkan Surat Edaran Nomor 37/HUB.O2/KESRA. Surat itu bukan sekadar larangan administratif, melainkan pernyataan politik sosial yang tegas. Meminta sumbangan di jalan raya kini dilarang, termasuk untuk pembangunan masjid. Bukan tanpa sebab, langkah ini adalah koreksi struktural terhadap kelaziman yang selama ini dianggap sepele, namun menimbulkan efek domino kriminalitas perkotaan.
ADVERTISEMENT
Dedi Mulyadi, yang dikenal sebagai pemimpin berkarakter budaya dan aksi nyata, menyentuh akar masalah kota-kota di Jawa Barat berupa urban disorder yang dimaklumi. Praktik meminta sumbangan di jalan selama ini dianggap tradisi "gotong royong" atau "amal jariyah". Namun ketika praktik ini dilakukan tanpa kontrol, tanpa transparansi, dan bahkan tanpa otoritas yang sah, maka ia berubah bentuk menjadi potensi premanisme dan ekosistem kriminal jalanan.
Dalam perspektif criminology of place, jalanan yang seharusnya menjadi ruang publik fungsional justru berubah menjadi ruang kelindan kekuasaan informal yang dijalankan oleh aktor-aktor non-negara atas nama kepentingan sosial. Dari anak-anak kecil hingga sekelompok orang dewasa dengan toples plastik, mereka berdiri di antara lampu merah dan klakson kendaraan. Ini bukan sekadar pemandangan biasa. Ini adalah degradasi tata kota.
ADVERTISEMENT
Teori Routine Activity Theory menyebutkan bahwa kejahatan terjadi ketika ada tiga elemen, yaitu pelaku termotivasi, target yang sesuai, dan ketiadaan penjaga. Dalam konteks ini, jalanan menjadi arena terbuka yang menyediakan target ekonomi (pengguna jalan) dan minim pengawasan formal. Maka, bukan hanya kriminalitas konvensional yang tumbuh, tapi juga kultur eksploitasi terhadap kemiskinan yang seringkali anak-anak dan perempuan dijadikan alat tarik empati.
Sumbangan untuk pembangunan masjid adalah ibadah. Namun, ibadah yang diletakkan di ruang publik yang tidak aman dapat mengundang permasalahan baru. Di sinilah kita perlu mengapresiasi fatwa MUI Sampang, Madura, pada 2011 yang menyatakan praktik tersebut haram. Karena niat baik yang dilakukan dengan cara buruk bisa menjadi jalan keburukan yang lebih panjang.
ADVERTISEMENT
Dalam kacamata sosiologi perkotaan, larangan ini adalah upaya menjaga marwah kota dari invasi simbolik yang merusak tata kelola ruang. Jalan bukan tempat ibadah, bukan tempat pengumpulan dana, dan bukan tempat menyatakan kemiskinan. Ketika ruang publik disulap menjadi ajang eksistensi kelembagaan informal, maka negara kehilangan kendali atas legitimasi sosial.
Ada pula aspek psikososial yang tak kalah penting. Anak-anak yang dibiarkan meminta sumbangan di jalan sejak usia dini tumbuh dalam atmosfer keliru tentang cara memperoleh penghasilan. Mereka belajar bahwa jalan raya adalah tempat "mengais belas kasih," bukan arena meritokrasi atau kerja keras. Di sinilah pembentukan moralitas publik mengalami distorsi akut.
Langkah Dedi Mulyadi adalah preventive action yang berbasis crime opportunity reduction. Ia tidak sedang melarang semangat filantropi, namun mengembalikannya ke tempat yang benar, yaitu institusi, masjid, komunitas lokal, dan kanal digital yang dapat diaudit. Ini adalah pendidikan etika publik.
ADVERTISEMENT
Bagi korporasi dan CSR yang hendak terlibat dalam pembangunan masjid atau program sosial, justru inilah saatnya membuat sistem lebih tertib. Hibah bisa disalurkan lewat Lembaga Amil Zakat yang terdaftar. Bantuan sosial bisa dikonversi ke beasiswa, pelatihan keterampilan, hingga gerakan zakat produktif. Bukan dengan menaruh toples di simpang jalan.
Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi sejalan dengan prinsip environmental criminology, yakni menata ruang sebagai cara menata perilaku. Ketika jalan bersih dari pungutan liar dan permintaan sumbangan, masyarakat bisa lebih fokus pada fungsi mobilitas dan keselamatan. Polisi pun bisa bekerja lebih efektif karena tidak perlu sibuk membubarkan "penggalang dana jalanan" setiap hari.
Meminta sumbangan di jalan raya seringkali hanya mengulang narasi lama, yaitu pengelolaan kemiskinan oleh yang miskin, untuk menumbuhkan wacana simpati, bukan solusi. Sudah saatnya kita bergeser dari pendekatan charity-based menuju empowerment-based. Tidak semua pembangunan masjid harus lewat uang koin yang dikumpulkan dengan teriakan "buat mushola, Pak!"
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, larangan ini adalah simbol dari transisi budaya, dari budaya kasihan menjadi budaya kesadaran sosial. Masyarakat kota, terutama generasi muda, perlu dibiasakan untuk menolong lewat sistem, bukan insting sesaat. Pendidikan sedekah pun perlu dilakukan lewat literasi digital, seminar, dan kampanye visual, bukan anak kecil di tengah panas aspal.
Kebijakan larangan oleh gubernur Jawa Barat ini menjadikan perusahaan-perusahaan besar mesti menjadikan fenomena ini sebagai indikator sosial untuk urban risk mapping. Di mana titik-titik simpang ramai dengan peminta sumbangan, di situ ada potensi friksi sosial dan indikasi ketimpangan distribusi sosial-ekonomi.
Dedi Mulyadi telah membuka pintu dialog baru tentang ruang publik, tata kelola filantropi, dan tanggung jawab sosial warga kota. Kini, tergantung pada kita semua, baik pemimpin lokal, lembaga sosial, tokoh agama, dan para pendidik, untuk ikut menjaga narasi ini tetap pada jalur yang produktif, beradab, dan membangun.
ADVERTISEMENT
Mungkin bagi sebagian orang, larangan ini terdengar kejam. Tapi dalam dunia kebijakan publik, pilihan yang sulit seringkali justru bentuk kasih sayang terdalam. Karena membiarkan anak kecil mengemis di jalan atas nama agama adalah pengkhianatan terhadap masa depan.
Dalam perspektif social control theory, masyarakat yang kuat bukanlah yang banyak memberi uang di jalan, tetapi yang memiliki nilai bersama tentang ketertiban, keamanan, dan martabat manusia. Mari kita bangun budaya baru: membantu dengan martabat, bukan belas kasihan.
Surat Edaran Nomor 37/HUB.O2/KESRA adalah langkah awal menuju Jawa Barat yang lebih tertib, bermartabat, dan beradab. Dedi Mulyadi tidak sekadar melarang, ia mengarahkan. Dan itu adalah bentuk kepemimpinan yang patut diteladani.