Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.106.1
Konten dari Pengguna
Revisi UU ASN, Antara Reformasi Struktural dan Ilusi Efisiensi
15 Mei 2025 12:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muh Khamdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rencana revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) kembali menjadi perbincangan hangat. Hal itu terutama menyangkut wacana penggabungan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) ke dalam Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB). Ide ini memang terdengar simpel dan menjanjikan efisiensi birokrasi. Namun di balik kesan efisiensi, ada bahaya besar yang mengancam ekosistem ASN, yaitu kekacauan institusional dan kaburnya akuntabilitas fungsi kelembagaan.
ADVERTISEMENT
Sejak UU ASN pertama kali disahkan pada 2014, dan kemudian direvisi menjadi UU Nomor 20 Tahun 2023, struktur kelembagaan ASN sebenarnya telah didesain dengan prinsip checks and balances yang rapi. KemenPAN-RB bertugas sebagai policy making agency yang merumuskan kebijakan strategis ASN. BKN menjalankan fungsi sebagai policy implementing agency, sedangkan LAN ditempatkan sebagai pusat pengembangan kapasitas dan laboratorium reformasi birokrasi.
Struktur seperti yang diatur UU ASN, ketiga institusi tersebut tidak seharusnya saling tumpang tindih. Namun kenyataannya, sinergi di antara mereka seringkali lemah, bahkan terkesan jalan sendiri-sendiri. Rencana strategis pengembangan ASN seperti Smart ASN 2024, Robust ASN 2030, dan ASN Kompetitif Global 2045 tampak dibuat dalam silo, tanpa orkestrasi yang jelas antar lembaga.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu mencerminkan lemahnya leadership institusional dalam mengintegrasikan arah pembangunan aparatur negara. Namun jawaban terhadap permasalahan ini bukan dengan melakukan merger kelembagaan secara instan, melainkan dengan memperkuat fungsi koordinasi, tata kelola lintas institusi, serta memperjelas sistem akuntabilitas kolaboratif antarinstansi.
Gagasan menyatukan BKN dan LAN ke dalam KemenPAN-RB sebenarnya berbahaya dari perspektif desain kelembagaan publik. KemenPAN-RB sebagai policy maker tentu harus menjaga jarak dengan pelaksana kebijakan agar tidak terjadi konflik kepentingan atau praktik sentralisasi berlebihan yang melemahkan sistem merit.
BKN seharusnya diperkuat kapasitasnya dalam menjalankan seleksi rekrutmen, promosi, mutasi hingga pemberhentian ASN berbasis meritokrasi. Jika fungsi ini dimasukkan ke dalam KemenPAN-RB, dikhawatirkan proses pengambilan keputusan rekrutmen bisa lebih mudah disusupi kepentingan politik jangka pendek.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, LAN memiliki posisi strategis sebagai think tank negara di bidang administrasi publik dan inovasi birokrasi. Institusi ini seharusnya diberi ruang untuk terus tumbuh sebagai tempat pengembangan kompetensi, riset kelembagaan, dan platform pendidikan ASN berkelanjutan, bukan justru dilebur dan kehilangan independensinya.
Kita perlu belajar dari penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melalui revisi UU ASN tahun 2023. KASN yang awalnya dibentuk untuk menjaga sistem merit, justru dianggap tidak efektif dan akhirnya dihapuskan. Ini memberikan sinyal bahwa pengawasan terhadap ASN kini semakin melemah. Tanpa KASN dan dengan potensi peleburan BKN-LAN ke dalam KemenPAN-RB, maka sistem merit yang menjadi pilar utama reformasi birokrasi kita akan semakin rapuh. Padahal, sistem merit adalah fondasi profesionalisme ASN, penyangga utama agar ASN tidak menjadi alat politik kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Kita juga menyaksikan bagaimana posisi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang awalnya dimaksudkan untuk menarik talenta diaspora Indonesia dan tenaga ahli khusus, justru mengalami degradasi makna. PPPK kini sekadar menjadi solusi tambal sulam rekrutmen tenaga ASN tanpa diferensiasi yang jelas dengan PNS.
Reformasi birokrasi yang sejati bukanlah soal penggabungan kelembagaan semata, tapi bagaimana memperkuat fungsi, memperjelas peran, dan meningkatkan kapabilitas. Pemikiran seperti ini pernah ditegaskan dalam berbagai studi LAN sendiri, namun sayangnya kurang dikapitalisasi dalam pembuatan kebijakan tingkat nasional.
Model reformasi birokrasi masa depan harus berakar pada pendekatan governance yang kolaboratif. Sinergi antarlembaga, bukan peleburannya, adalah kunci menciptakan ekosistem ASN yang lincah, adaptif, namun tetap akuntabel. Kita membutuhkan orkestrasi kelembagaan, bukan dominasi satu kementerian. Memusatkan segala hal ke dalam KemenPAN-RB hanya akan mengulang kesalahan birokrasi lama, yaitu overcentralization dan kontrol vertikal yang rentan disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Perlu ada mekanisme koordinasi reguler lintas lembaga, semacam forum nasional manajemen ASN, yang dikoordinasikan langsung oleh Wapres atau Presiden untuk memastikan harmoni kebijakan tanpa mengorbankan independensi dan spesialisasi institusi.
Tantangan ASN ke depan tidak hanya soal jumlah pegawai, tetapi juga bagaimana mereka dapat menjawab tantangan digitalisasi, krisis iklim, bonus demografi, hingga daya saing global. Untuk itu, kita perlu memperkuat institusi pengembangan kapasitas seperti LAN, bukan menghapus atau menyatukannya.
Demikian pula BKN harus lebih modern dalam sistem rekrutmennya, termasuk menerapkan artificial intelligence dan big data untuk menjamin fairness serta menghindari intervensi politik dalam proses kepegawaian. KemenPAN-RB seharusnya fokus pada penguatan regulasi, penyusunan roadmap, dan monitoring kebijakan lintas sektor. Fungsi ini terlalu mulia dan strategis bila dibebani dengan urusan teknis operasional kepegawaian atau pelatihan.
ADVERTISEMENT
Revisi UU ASN harus menjadi momentum memperkuat tata kelola ASN dan memastikan ekosistem kelembagaan yang sehat dan saling melengkapi. Jangan sampai semangat efisiensi malah membawa kita pada kekacauan institusional yang akan menghambat cita-cita besar, yaitu ASN sebagai motor penggerak Indonesia Emas 2045.