Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kebijakan Counter Cina terhadap Containment-Policy AS di Kawasan Asia-Pasifik
24 Oktober 2022 11:28 WIB
Tulisan dari Muhammad Meiza Fachri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan pada September silam sempat memicu sebuah ketegangan dan memantik kembali prospek akan terjadinya perang langsung di Asia, antara dua kekuatan besar dunia saat ini, Amerika Serikat dan Cina.
ADVERTISEMENT
Konstelasi perpolitikan dunia, terutama di kawasan Asia-Pasifik tidak pernah surut dari berbagai ketegangan. Pada era Perang Dingin, Asia-Pasifik menjadi arena utama penyebaran pengaruh antara paham komunis dan liberal, sementara pasca Perang Dingin, pola yang sama kembali terulang, tetapi bukan lagi menitikberatkan kepada penyebarluasan paham, melainkan kepentingan antara dua negara besar, yakni Amerika Serikat dan Cina. Persaingan ini memengaruhi Asia-Pasifik secara keseluruhan.
Containment Policy Amerika Serikat
Sebuah “relik” dari Perang Dingin, containment policy, masih memiliki kegunaannya pada dekade ketiga abad ke-21 saat ini. Lagi-Lagi wilayah Asia-Pasifik menjadi arena utama pertentangan dari bifurfikasi yang terjadi antara dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat sebagai kekuatan lama dan Cina sebagai kekuatan baru yang sedang bangkit.
ADVERTISEMENT
Keberadaan basis-basis atau pangkalan militer Amerika Serikat yang mengitari Tiongkok, kerja sama strategis dengan negara-negara di Asia-Pasifik, konsepsi Trans-Pacific Partnership untuk mengalakkan perdagangan dan ekonomi negara-negara Asia-Pasifik yang “dekat dengan AS” serta belum lama ini aliansi militer dengan Inggris dan Australia dalam AUKUS, merupakan bukti nyata seriusnya Amerika Serikat memandang Cina dan ancaman darinya.
Diketahui, Amerika Serikat mulai menjadikan Asia-Pasifik sebagai concern utamanya pada era kepemimpinan Presiden Obama. Melalui kebijakan Pivot to Asia, Pemerintahan Amerika Serikat mulai “menggeser” perhatiannya dari area Timur Tengah menuju Asia-Pasifik. Implementasi dari kebijakan ini pada bidang militer adalah dengan memindahkan pasukan AS di pangkalan luar Asia ke pangkalan militernya di wilayah Asia-Pasifik. (Wardhana, 2018)
Pada era kepemimpinan Trump, concern utama dari Amerika Serikat tidak lagi untuk menjadi “polisi dunia”. Trump lebih memerhatikan konsolidasi kekuatan dan kepentingan Amerika Serikat, proyek ini dinamakan “America First” policy. Pada era ini, Amerika Serikat cenderung absent dari tendensinya "yang biasa ikut campur" dalam urusan-urusan negara lain.
ADVERTISEMENT
Namun, pada masa kepemimpinan Biden saat ini, Amerika Serikat tampak kembali menjadi “polisi dunia” dan melanjutkan kebijakan Pivot to Asia. Fenomena ini dapat dilihat dari campur tangan dan kebijakan luar negeri Biden yang kembali digalakkan di dunia, terutama Asia-Pasifik.
Melalui draft yang dikeluarkan dari website The White House, Indo-Pacific Strategy Amerika Serikat di masa Biden melingkupi : membentuk dan mempertahankan aliansi AUKUS, memperkuat kerja sama perdagangan dengan negara-negara regional Asia-Pasifik termasuk Taiwan, menjaga kedamaian dan stabilitas (peace and stability) di Selat Taiwan, serta memperkuat hubungan dengan negara-negara aliansi AS, yakni Korea Selatan, Jepang, Thailand, Australia dan Filipina. (The White House, 2022)
Tidak hanya itu, Biden bahkan tercatat mengeluarkan statemen, bahwa Amerika Serikat akan melindungi Taiwan apabila Cina berani melakukan agresinya. (Liptak & Lendon, 2022)
ADVERTISEMENT
Statemen yang cukup berani, mengingat tidak adanya hubungan aliansi apapun antara AS dan Taiwan.
Respons Cina dan Aksi Retaliasinya
Cina tentunya tidak diam melihat pergerakan-pergerakan Amerika Serikat. Dalam hal ini, Cina menempuh hal serupa, yakni dengan “merangkul” negara-negara sekitar Asia-Pasifik untuk kemudian menjalin kerja sama strategis dengannya, terutama dalam bidang ekonomi dan militer (hard power).
Bidang Militer
Cina memiliki kemajuan yang signifikan dalam perkembangan industri militernya. Cina telah dapat memproduksi pesawat tempur, seperti JF-17 bahkan kapal selam, seperti Ming-Class yang telah dapat diekspor.
Tidak hanya itu, alutsista buatan Cina juga umumnya dibanderol dengan harga miring jika dibandingkan dengan alutsista buatan Amerika Serikat. Menurut data dari SIPRI, pada tahun 2020 penjualan alutsista oleh Cina di seluruh dunia (sebagian besar di Asia) mencapai 759 juta TIV, memang tidak semasif Industri militer AS yang mencapai 9.26 miliar TIV, tetapi data ini menunjukkan bahwa perlahan-tapi-pasti, industri militer Cina mulai diminati oleh dunia. (CSIS, 2018)
ADVERTISEMENT
Bagai aksi retaliasi terhadap keberadaan basis-basis militer Amerika Serikat, Cina juga digadang-gadang akan membuat basis militer perdananya di negara Vanuatu. Pendirian basis militer ini memunculkan reaksi panik dari Australia dan negara-negara aliansi AS di Kepulauan Pasifik, karena jika telah basis militer ini terealisasi, maka ancaman dari Cina akan tampak di pelupuk mata mereka. (Roggeveen, 2022)
Bidang Ekonomi
Perkembangan ekonomi Cina meningkat tajam selama beberapa dekade ke belakang. Cina melesat menjadi kekuatan ekonomi dunia. Bahkan, GDP Keseimbangan Kekuatan Belanja (PPP) Cina adalah yang tertinggi di dunia, mengalahkan Amerika Serikat. Dengan kekuatan ekonomi ini, Cina mengeluarkan berbagai proyek dan kerja sama strategis dengan negara-negara sekitarnya. Salah satu proyek besar buatan Cina adalah Belt and Road Initiative (BRI).
ADVERTISEMENT
Melalui BRI, Cina mendorong adanya mutual advantage dan absolute gains dengan negara-negara sekitar kawasannya dengan pembangunan berbagai inftrastruktur, serta penyediaan loans atau pinjaman, serta investasi yang in-turns akan meningkatkan ekonomi negara-negara yang tergabung dan ikut dalam program tersebut. (Ye, 2022)
Tidak hanya itu, ekonomi negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur (termasuk Jepang, Korea Selatan dan Taiwan) yang mulai terintegrasi dengan Cina sebagai pusatnya. Di tahun 2020, hasil perdagangan Cina dengan Asia Tenggara mencapai jumlah 685 miliar dollar, dibandingkan AS yang “hanya” mencapai 362 miliar dollar. (Mccarthy, 2022)
Dapat dilihat, bahwa Cina tidak tinggal diam terhadap pergerakan dari AS, Cina juga ikut bergerak menyebarkan sphere of influence-nya ke kawasan Asia-Pasifik dan berusaha menggaet negara-negara sekitarnya untuk “berkiblat” kepadanya.
ADVERTISEMENT
Kendati jika ditinjau dari teknologi militer, Cina belum sebanding dengan AS, tetapi Cina memiliki keuntungan di bidang ekonomi, yang dalam hal ini dapat kita lihat dari leverage berupa keuntungan mutual antara Cina dengan negara-negara Asia-Pasifik, bahkan dengan negara-negara sekutu AS seperti Jepang dan Korea Selatan. Terlebih mengingat “gagalnya” Trans-Pacific Partnership milik AS dan kesuksesan dari Belt & Road Initiative Cina, sehingga makin memantapkan kekuatan ekonomi Cina dan leverage-nya di kawasan Asia-Pasifik.
Prospeknya terhadap Indonesia
Negara-Negara di Asia Tenggara, terutama negara-negara ASEAN kembali terjebak di zona antara dua kekuatan yang berseteru. Baik Cina, maupun Amerika Serikat sama-sama ingin menyebarkan kepentingan dan pengaruhnya. Lantas, bagaimana prospeknya untuk Indonesia, sebagai salah satu regional power dan aktor penting di kawasan Asia Tenggara ?
ADVERTISEMENT
Bargaining Power dan keuntungannya untuk Indonesia
Dengan meminjam konsep bargaining dari buku Quo Vadis Politik Luar Negeri Indonesia karangan Yon Machmudi, didapatkanlah suatu advantage yang besar bagi Indonesia di kondisi ini. Posisi Indonesia sebagai regional power terbesar di Asia Tenggara, perannya sebagai founding father ASEAN, belum lagi posisi strategisnya dan sumber daya yang dimiliki, tentunya akan membuat AS dan Cina berebut untuk “mendapatkan” Indonesia.
Ini artinya, Indonesia dapat lebih aktif memainkan perannya dalam memaksimalkan kepentingan nasionalnya untuk meningkatkan kekuatan (hard power) miliknya. Di bidang militer, Indonesia dapat bekerja sama dengan AS untuk mendapatkan teknologi-teknologi militer terbaru, sementara dengan Cina, Indonesia dapat menjalin kerja sama strategis di bidang ekonomi yang lebih menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Skenario konsep bargaining ini dapat dikonsepsikan sebagai berikut : katakanlah AS enggan memberikan teknologi militer yang diinginkan, Indonesia dapat “merajuk” dan sedikit merapat ke Cina, sehingga AS ditenggarai akan “melunak” dan memberikan teknologi tersebut atau memberikan kompensasi lain agar Indonesia tidak merapat ke Cina, dan vice versa.
Dengan demikian, dengan langkah yang tepat, Indonesia dapat tampil sebagai seorang “oportunis” yang menggunakan persaingan kedua negara tersebut sebagai sarana untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan “bermain dua kaki”.