Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Feminisme Minangkabau di Tengah Lautan Budaya Patrilineal Nusantara
31 Desember 2024 12:55 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Muhammad Nur Azza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Minangkabau dikenal dengan sistem kekerabatannya yang unik, yakni matrilineal. Hal ini tentu sangat kontras dengan budaya-budaya bangsa di Nusantara yang hampir seluruhnya adalah Patrilineal. Minangkabau menempatkan perempuan sebagai pusat dari garis keturunan. Kali ini saya akan sedikit membahas bagaimana sistem matrilineal ini terbentuk, berkembang, dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Perkenalan Singkat dengan Minangkabau
Minangkabau terletak di dataran tinggi Sumatra Barat, dan masyarakatnya memiliki tradisi yang kaya yang telah ada selama berabad-abad. Menurut tradisi, masyarakat Minangkabau berasal dari kelompok-kelompok yang bermigrasi dari daerah pegunungan ke daerah pesisir, membawa serta adat dan budaya mereka. Pada awalnya, istilah Minangkabau merujuk pada wilayah dataran tinggi di sekitar Padang. Nama ini kemudian meluas seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan dan pengaruh budaya masyarakat Minangkabau. Ada beberapa teori mengenai asal-usul nama Minangkabau, mulai dari yang berkaitan dengan geografis (pertemuan dua sungai), hingga yang berkaitan dengan legenda (adu kerbau). Seiring berjalannya waktu, wilayah yang disebut Minangkabau semakin meluas, mencakup seluruh Provinsi Sumatera Barat.Perkembangan penggunaan istilah Minangkabau dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sejarah politik, migrasi penduduk, dan perkembangan budaya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks teori pertemuan dua sungai, beberapa ahli ada yang berpendapat bahwa teori ini berdasar pada Prasasti Kedukan Bukit baris ke empat dan lima yang isinya
yang kurang lebih alihbahasanya adalah sebagai berikut
Berdasarkan interpretasi beberapa ahli, kata "minānka" dan "tāmvan" pada baris keempat dan kelima prasasti tersebut seharusnya dibaca sebagai satu kata, yaitu "mināngatāmvan" yang memiliki makna "sungai kembar". Pendapat ini menghubungkan "sungai kembar" dengan pertemuan Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Akan tetapi, pandangan ini mendapat sanggahan dari Casparis. Beliau berargumentasi bahwa kata "tāmvan" tidak selalu identik dengan makna "temu" atau "muara" seperti yang ditemukan pada prasasti-prasasti lain dari era Sriwijaya. Dengan demikian, kata "Minanga" berdiri sendiri dan dapat dianggap sebagai cikal bakal kata "Minang" yang kita kenal saat ini.
ADVERTISEMENT
Matrilineal dalam Adat Minangkabau
Dalam sejarah panjang peradaban manusia, perempuan seringkali berada pada posisi yang kurang beruntung. Namun, di Minangkabau, perempuan memiliki kedudukan yang istimewa. Sistem matrilineal memberikan ruang bagi perempuan untuk berperan sebagai pemimpin, pewaris harta, dan penjaga adat istiadat. Untuk asal-usul dari budaya matrilineal di Minangkabau ini kurang diketahui karena memang diperkirakan sudah ada ratusan tahun yang lalu.
Dalam budaya Minangkabau, sistem matrilineal sangat penting karena garis keturunan diturunkan melalui perempuan. Hal ini berarti bahwa seorang wanita memiliki nilai yang tinggi dalam masyarakat, terutama sebagai ibu. Kelahiran anak perempuan dianggap sangat penting, dan keluarga sering kali berharap untuk memiliki anak perempuan untuk melanjutkan garis keturunan. Kelahiran anak perempuan dianggap penting karena mereka akan melanjutkan nama dan tradisi keluarga. Mereka diharapkan untuk bekerja keras di ladang dan dalam perdagangan, dan pada usia paruh baya, mereka dapat mencapai aktualisasi diri yang lebih baik. Status seorang ibu yang berhasil dalam tugas-tugas yang dihargai secara budaya memberikan hak atas properti keluarga dan tanggung jawab dalam pengasuhan anak di mana ibu juga dianggap sebagai pusat kekuatan dan pengambilan keputusan. Meskipun ada hubungan dengan suami, ikatan yang paling kuat adalah dengan keluarga maternal, seperti saudara laki-laki dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Dalam suku, pengelolaan adat dipimpin oleh seorang penghulu (kepala adat laki-laki), tetapi hak-hak atas warisan seperti tanah dan rumah, yang dikenal sebagai harto pusako, diwariskan melalui perempuan dan dianggap sebagai milik bersama keluarga besar yang tidak boleh dijual kecuali dalam situasi darurat. Selain itu, terdapat harto pencarian, harta yang diperoleh secara individu, yang bisa diwariskan laki-laki kepada anak-anaknya.
Perempuan memegang peran sentral dalam keluarga dan adat Minangkabau. Mereka tinggal di rumah gadang seumur hidup bersama saudara perempuan dan anak-anak mereka, sementara laki-laki, meskipun setelah menikah tinggal di rumah istri, tetap berkewajiban terhadap keluarga asalnya. Struktur rumah gadang mencerminkan peran perempuan yang kuat, dengan mereka bertanggung jawab atas pengelolaan rumah tangga, harto pusako, dan kesejahteraan keluarga besar. Laki-laki, di sisi lain, memikul tanggung jawab terhadap keponakan dari saudara perempuan mereka sebagai seorang mamak, yang meliputi pendidikan dan pengelolaan properti keluarga, selain mendukung istri dan anak-anak mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Adat Matrilineal dengan Islam
Adat ini kemudian harus berhadapan dengan pengaruh Islam yang masuk ke tanah Minangkabau sekitar abad ke-16, yang membawa konsep patriarki dalam keluarga, seperti warisan yang lebih menguntungkan laki-laki dan peran laki-laki sebagai kepala keluarga. Meskipun Islam telah menyatu dalam beberapa aspek adat, ada ketegangan antara nilai-nilai tradisional dan ajaran Islam modern, terutama dalam konteks reformasi hukum keluarga dan hak perempuan.
Minangkabau berhasil menggabungkan nilai-nilai Islam yang mendalam dengan adat istiadat yang umumnya dianggap sulit untuk dipadukan dengan agama. Ketika Islam masuk ke Sumatra Barat, tatanan sosial di daerah tersebut sudah sangat terstruktur dengan adat yang kuat. Islam diterima sebagai tambahan pengetahuan baru yang memperkaya nilai-nilai adat yang ada. Kedua unsur tersebut tidak saling bertentangan pada awalnya. Islam diterima karena dianggap dapat memperkaya adat, sementara Islam tidak menghapus adat yang sudah ada, malah memperkuatnya dengan menambahkan elemen-elemen baru. Kemudian dapat dikatakan bahwa puncak dari keselarasan adat Minangkabau dan Islam adalah munculnya sebuah ungkapan "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah " yang artinya bahwa hukum adat berdasarkan hukum agama serta hukum agama berdasarkan Alquran. Segala perbuatan atau pekerjaan hendaknya selalu mengingat aturan adat dan agama, jangan hendaknya bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam Konteks Perjuangan Feminis
Gerakan feminis di Minangkabau dimulai pada awal abad ke-20, dengan dorongan untuk meningkatkan pendidikan perempuan sebagai bagian dari modernisasi. Salah satu tokoh utama dalam gerakan ini adalah Datuk Sutan Maharadja, yang pada 1912 mendukung penerbitan majalah feminis pertama di Sumatra, Soenting Melajoe, yang diedit oleh Zubaidah Ratna Djuita dan Rohana. Majalah ini menyoroti pentingnya pendidikan perempuan dalam sistem adat, tetapi tetap menekankan bahwa perempuan harus memegang peran tradisional sebagai ibu dan penjaga keluarga matrilineal.
Dalam gerakan feminis ini, ada upaya untuk menyelaraskan hak-hak perempuan dengan adat Minangkabau. Perempuan dianggap memiliki status tinggi dalam adat sebagai pewaris harta pusaka dan penjaga keluarga, namun peran ini sering kali tidak diterjemahkan menjadi kekuasaan formal di ranah publik. Gerakan feminis awal mengadvokasi pendidikan perempuan sebagai cara untuk memperkuat peran mereka dalam adat dan masyarakat, tanpa meninggalkan tanggung jawab tradisional.
ADVERTISEMENT
Budaya Minangkabau yang menganut konsep egaliter seharusnya memberikan kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam dunia politik. Banyak perempuan yang mulai menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengangkat isu-isu perempuan serta berperan sebagai pemimpin. Namun, di sisi lain, perempuan yang ingin memasuki ranah politik sering kali dihadapkan pada diskriminasi, karena masyarakat masih menganggap bahwa perempuan hanya mampu memimpin sesama perempuan.
Sistem matrilineal dalam budaya Minangkabau berkontradiksi dengan sistem pemerintahan patriarkal yang berlaku, sehingga perempuan sulit untuk menjabat posisi kepemimpinan. Meskipun perempuan memiliki posisi penting dalam keluarga, hal ini hanya berlaku dalam ranah keluarga dan tidak mencakup kehidupan sosial atau masyarakat secara umum. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan belum sepenuhnya menikmati kebebasan dalam masyarakat. Dalam budaya Minangkabau, perempuan memang dihormati sebagai figur sentral dalam keluarga, tetapi hak ini hanya dimiliki oleh perempuan yang sudah menikah dan menduduki posisi Bundo Kanduang. Sementara itu, perempuan yang belum menikah harus mengikuti perintah penghulu adat atau mamak, serta tunduk pada keputusan orang tua dan sesepuh dalam keluarga. Meskipun sistem matrilineal memberi perempuan hak istimewa dalam keluarga, hak tersebut tidak berlaku dalam konteks politik. Akibatnya, perempuan sering dianggap tidak setara dengan laki-laki dalam hal kepemimpinan, karena kedudukan mereka dipandang lebih rendah. Kondisi ini mendorong lahirnya gerakan feminisme di kalangan perempuan Minangkabau, yang berusaha melawan ketidaksetaraan gender yang ada dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Gelombang feminisme berikutnya, seperti yang dipelopori oleh Saadah Alim melalui majalah Soeara Perempoean, mulai mengadopsi gagasan feminis barat. Ia mengecam ketimpangan gender dalam adat dan Islam, mengkritik poligini, dan mengadvokasi kebebasan perempuan untuk memilih jalan hidup mereka, termasuk dalam pendidikan dan pernikahan. Namun, ide-ide ini mendapat perlawanan dari tokoh adat dan agama konservatif, yang merasa bahwa konsep ini bertentangan dengan nilai-nilai tradisional.
Ketegangan muncul antara adat yang berbasis matrilineal dan feminisme modern. Sementara adat memberikan perempuan peran penting dalam keluarga dan warisan, feminisme modern menuntut partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik, yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Gerakan ini juga menyoroti bagaimana pengaruh Islam dan modernisasi berkontribusi pada marginalisasi perempuan dalam ranah publik.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, organisasi perempuan seperti Bundo Kanduang didirikan untuk memperkuat peran perempuan dalam struktur adat. Organisasi ini berusaha memperjuangkan kepentingan perempuan sambil tetap menghormati prinsip adat. Salah satu fokusnya adalah pendidikan adat dan keluarga berencana, namun partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan publik di tingkat desa masih sangat terbatas karena resistensi laki-laki.
Pengaruh Barat terhadap gerakan perempuan di Minangkabau dalam memperjuangkan hak-haknya tidak sepenuhnya cocok dengan kondisi di tanah Minang. Perjuangan feminisme yang berkembang di luar tidak bisa langsung diterapkan di Minangkabau, yang masih berpegang pada prinsip adat basyandi syara', syara' basandi kitabullah. Perempuan Minangkabau memiliki kontrol atas rumah tangga dan harta warisan, sehingga mereka tidak sepenuhnya tertekan. Gerakan perempuan di Minangkabau dalam memperjuangkan haknya tidak sepenuhnya sejalan dengan feminisme Jawa atau progresivisme Eropa yang lebih menentang budaya patriarki. Meski begitu, ada bagian dari kehidupan perempuan Minangkabau yang masih dibatasi oleh adat matrilineal mereka. Namun, setelah hampir seratus tahun, banyak perubahan dalam sikap dan pandangan orang Minangkabau terhadap isu gender dan peran perempuan di masyarakat. Banyak laki-laki Minangkabau sekarang mendukung peran perempuan, selama tidak bertentangan dengan syariat dan adat. Adat matrilineal Minangkabau tetap bertahan dan bisa beradaptasi dengan perubahan zaman.
ADVERTISEMENT
Penutup
Gerakan feminis di Minangkabau telah berkembang seiring waktu, berupaya memperjuangkan hak-hak perempuan tanpa mengabaikan nilai-nilai adat yang sudah ada. Meskipun budaya matrilineal memberi perempuan peran penting dalam keluarga, mereka masih menghadapi tantangan dalam memperoleh posisi kepemimpinan di ranah publik. Pengaruh Barat terhadap feminisme di Minangkabau tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks lokal, namun perubahan sikap terhadap gender dan peran perempuan semakin terlihat. Organisasi seperti Bundo Kanduang berupaya memperkuat posisi perempuan dalam adat, meskipun partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan publik masih terbatas. Masyarakat Minangkabau, terutama laki-laki, semakin mendukung peran perempuan, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip syariat dan adat. Adat matrilineal tetap bertahan dan beradaptasi dengan perubahan zaman, menciptakan ruang bagi perempuan untuk berkembang dalam konteks modern yang lebih inklusif.
ADVERTISEMENT
Referensi
“Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah.” Republika, 8 May 2015,
Purbatjaraka, R.M. Ngabehi (1952). Riwajat Indonesia. Jakarta: Jajasan Pembangunan.
Casparis, J.G. De (1956). Prasasti Indonesia II. Bandung: Masa Baru. Dinas Purbakala Republik Indonesia.
Cœdès, George (1930). Les Inscriptions Malaises de Çrivijaya. BEFEO
Lestari, Anggi Ayu, Riksa Belasunda, and Ardy Aprilian Anwar. "Feminisme dalam Budaya Minangkabau pada Serial Musikal Nurbaya." JURNAL RUPA 8.2 (2023): 11-30.
Riza, Yulfira, translator. Naskah al-Mu'asyarah dan rekonstruksi gender awal abad XX di Minangkabau: kajian. Perpusnas Press, 2023.
Schrijvers, Joke, and Els Postel-Coster. "Minangkabau women: Change in a matrilineal society." Archipel 13.1 (1977): 79-103.