Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
China Stop Impor Arwana Super Red, Apa Upaya Pemerintah?
12 September 2021 23:40 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Muhammad Rafiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ikan Hias Arwana Super Red (Scleropages Legendrei) adalah maskot ikan hias air tawar Indonesia. Ada dua alasan utama mengapa ikan hias ini mendapat gelar maskot dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pertama karena Arwana Super Red adalah ikan hias endemik Indonesia yang tidak ditemukan di negara lain. Kedua karena dari total nilai ekspor ikan hias Indonesia, 30% diantaranya disumbang oleh ekspor Arwana.
ADVERTISEMENT
Setiap tahun sedikitnya 150.000 ekor anakan Arwana Super Red asal Indonesia yang di ekspor keluar negeri. China adalah negara tujuan utama ekspor Arwana Super Red dengan jumlah 120.000 ekor pertahun. Tingginya permintaan Arwana Super Red di China seolah tidak pernah tercukupi oleh kemampuan produksi penangkaran Arwana yang sebagian besar berlokasi di Kalimantan Barat.
Mengutip trade database CITES, dalam sebulan pengusaha ikan hias China mengimpor sedikitnya 10.000 ekor anakan Arwana Super Red dari Indonesia. Dengan menggunakan patokan harga 350 dolar Amerika per ekor, maka bisnis ekspor ikan Arwana Super Red ke China selama ini nilainya adalah 36 juta dolar Amerika setahun.
Yang menjadi masalah adalah, sudah sejak bulan Januari 2020 pemerintah China mengeluarkan aturan yang melarang impor satwa liar, dimana ikan hias Arwana masuk ke dalam daftar satwa yang dilarang masuk ke China. Hal ini disampaikan oleh Marina Novira Anggraini, Atase Perdagangan KBRI Beijing. Dalam webminar yang diselenggarakan oleh LKBN Antara Kalimantan Barat dan Beijing pada April 2021, Marina Novira Anggraini menyampaikan bahwa KBRI Beijing sudah melaporkan hal ini ke pemerintah pusat sejak bulan September 2020. Pihaknya meminta agar otoritas terkait di Jakarta, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat segera mengirimkan surat resmi kepada otoritas resmi di China. Masih menurut Marina Novira Anggraini, surat dapat ditujukan kepada tiga lembaga. Pertama kepada Endangered Species Import and Export Management Office of the Peoples Republic of China, kedua ditujukan kepada Ministry of Culture of the Peoples Republic of China dan ketiga dikirimkan kepada Duta Besar China untuk Indonesia di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Melalui surat resmi ini, KLHK diharapkan mampu meyakinkan dan dapat memberikan jaminan bahwa Arwana Super Red yang di ekspor ke China adalah satwa hasil penangkaran generasi kedua (F2) dan generasi seterusnya, bukan satwa liar yang ditangkap dari alam.
Sudah hampir setahun sejak Atase Perdagangan KBRI Beijing meminta KLHK berkomunikasi dengan pemerintah China agar ekspor Arwana ke negara Tirai Bambu kembali lancar. Yang jelas hingga tulisan ini dibuat, pengusaha dan penangkar ikan hias Arwana di Indonesia masih belum bisa melakukan ekspor ke China.
Ada kekhawatiran KLHK tidak menindaklanjuti permintaan dari Atase Perdagangan KBRI Beijing, karena otoritas managemen Arwana bukan lagi menjadi kewenangan KLHK, tapi sudah berpindahtangan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebaliknya, banyak juga eksportir yang khawatir KKP merasa tidak perlu melakukan follow up, bukankah Atase Perdagangan KBRI Beijing melakukan korespondensi dengan KLHK bukan dengan KKP?
ADVERTISEMENT
Entah bagaimana cerita yang sesungguhnya, bisa jadi kekhawatiran banyak pihak itu terlalu berlebihan. Yang pasti harga jual Arwana Super Red mulai turun drastis, karena ribuan ikan yang seharusnya di ekspor ke China terpaksa dijual murah ke pasar lokal atau ke negara lain yang daya serapnya sangat terbatas.
Bila hal ini dibiarkan berlanjut, Kalimantan Barat sebaiknya bersiap mengantisipasi hilangnya devisa dari tata niaga Arwana dan bersiap-siap dengan bertambahnya angka pengangguran karena ratusan penangkaran Arwana di Pontianak dan Kapuas Hulu terpaksa gulung tikar atau setidaknya mengurangi jumlah pekerja.