Konten dari Pengguna

Mengontrol Diri Agar Lepas Dari Masalah Pertemanan

Muhammad Raihan Arjunnajwan
Seorang Mahasiswa Jurnalistik dari Kampus Politeknik Negeri Jakarta, yang senang menulis melalui masalah yang berada di sekitar.
13 Juni 2024 9:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Raihan Arjunnajwan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perundungan di sekolah. Foto: https://images.pexels.com/photos/7407376/pexels-photo-7407376.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=2
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perundungan di sekolah. Foto: https://images.pexels.com/photos/7407376/pexels-photo-7407376.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=2

Awal Tak Selalu Bencana

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cuaca cerah, aroma jalan basah bekas terguyur hujan semalam. Hari pertama saya pindah sekolah, yang sebelumnya mantap menjadi santri, kini bebas mencoba tak terkendali. Ternyata itu hanya awal saya bertemu dua sisi yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Seorang anak remaja berumur 13 tahun, wajar bagi saya untuk memilih jalan hidup yang sesuai keinginan. Tidak ingin menyia-nyiakannya, sedikit pun tidak. Beberapa kali saya mencari jati diri saya yang sesungguhnya, namun nihil di beberapa tempat yang sudah saya sambangi. Dan mungkin ini bukan awal keyakinan, namun kebingungan yang teramat luar biasa.
Kenaikan kelas delapan SMP menjadi salah satu titik balik dalam hidup saya. Bagaimana tidak, saya keluar dari pondok pesantren dan memilih pindah ke sekolah swasta. Sebelum saya masuk ke sekolah tersebut, orang tua saya sudah mengusahakan agar saya masuk ke sekolah negeri. Namun sialnya, orang tua saya diminta membayar uang kursi seharga enam juta rupiah. Bersekolah dengan kursi emas. Akhirnya, saya memutuskan masuk ke sekolah swasta. Tidak murah, tidak mahal, bergengsi pun tidak. Batas wajar saja.
ADVERTISEMENT
Saya memulai masuk di kelas delapan, tingkat di mana seharusnya seorang murid sudah memiliki banyak kenalan, sudah beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan lingkar pertemanan. Namun apa daya, saya terpaksa mengulang itu semua. Dengan canggung, masuk di minggu kedua kegiatan belajar mengajar, tidak membuat saya tenang. Yang ada malah makin deg-degan.
Awal yang lumayan baik, di mana kebetulan saya sekelas dengan tiga orang teman semasa SD. Mereka dengan sadar memperlakukan saya dengan baik. Mengajak berkeliling, menjelaskan materi seminggu lalu yang isinya hanya perkenalan dan bernyanyi. Saya merasa bahwa keluar dari pondok pesantren tidak semenyeramkan itu. Malah banyak yang merasa sebaliknya dengan saya; mereka takut dengan lingkungan santri yang dibilang tinggi senioritas. Walau memang.
ADVERTISEMENT
Berjalannya waktu, ayah saya sudah mulai kewalahan untuk mengantar saya pulang-pergi dari sekolah. Ibu saya menawarkanku jasa antar-jemput agar aku tidak perlu naik angkutan umum. Tentu saja saya menyetujui hal tersebut.

Bertumbuhnya Kebencian

Kembali saya mulai berkenalan dengan teman-teman yang satu jemputan dengan saya. Dan pastinya mereka memiliki latar belakang keluarga yang menengah ke atas, seperti saya. Ada yang ceria, ada yang pendiam, dan ada yang merasa jagoan.
Di minggu pertama, saya merasa semuanya baik-baik saja, namun minggu-minggu selanjutnya semuanya menjadi runyam. Sebut saja Anak-anak Bageur, mereka mulai mengganggu. Sesekali mereka meludah, memukul, menimpuk, atau bahkan menendang. Tidak memiliki alasan yang jelas, namun hal tersebut sangat menyebalkan.
Dengan tubuh saya yang saat itu bisa dianggap di bawah rata-rata, kaki gelap dan kering seperti singkong, pergelangan tangan kecil seperti ranting pohon, dan tinggi tidak lebih dari 160 cm, saya tidak bisa membalas. Jika saya membalas, yang ada saya akan semakin diganggu, dengan tubuh Anak-anak Bageur yang bisa dibilang di atas rata-rata, berkebalikan dengan saya.
ADVERTISEMENT
Semua saya terima setiap saya berangkat sekolah hingga pulang sekolah. Tidak ada perbedaan, bahkan saat pulang sekolah makin parah. Hari makin panas, emosi dengan mata pelajaran yang tidak disuka, menambah keinginan si Anak-anak Bageur ini membully.
Tidak ada rasa bersalah dari apa yang telah mereka lakukan. Memang tidak hanya saya yang merasakannya, beberapa anak lain yang berukuran tubuh seperti saya juga merasakannya. Tidak ada kata ampun untuk kami, mobil jemputan menjadi tempat pelampiasan emosi Anak-anak Bageur.

Pelepasan Diri

Hingga naik kelas sembilan, saya mencoba memaksa orang tua untuk mengizinkan saya berangkat sekolah mengendarai sepeda motor. Mungkin itu bukan hal yang baik untuk ditiru. Namun apa daya, jika naik kendaraan umum bisa lebih dari 40 menit. Saya terus meyakinkan mereka bahwa saya akan baik-baik saja. Lulusan dari pelatihan gang sempit tidak perlu diragukan kemampuan mengendarai kendaraan roda duanya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya saya berhasil memenangkan hati orang tua. Kunci motor selalu saya pegang setiap pagi, bensin saya isi malam hari agar bisa ada alasan konkret untuk saya yang menguasai motor di pagi hari.
Tidak lagi bertemu dengan si Anak-anak Bageur lagi. Masa sekolah saya mulai membaik, tidak ada hal yang saya cemaskan ketika berangkat. Mungkin hanya saat saya terlambat. Sisanya adalah ketenangan dan kesenangan bertemu teman-teman di kelas yang lebih baik daripada Anak-anak Bageur.
Selama saya mengenakan seragam putih biru, saya menemukan dua sisi yang berbeda. Kebingungan yang menjerumuskan saya. Hal yang seharusnya bisa saya lakukan lebih baik. Dan saya yakin, Anda pun akan melewatinya lebih baik dari yang saya lakukan.
ADVERTISEMENT
Mungkin respons dari seorang terundung menjadi alasan perundung tidak berhenti. Saya pun tidak pernah mengerti alasan mereka. Yang saya pernah dengar bahwa seorang perundung tidak pernah menyadari bahwa mereka sedang menyakiti seseorang, dengan respons terundung dan orang sekitar yang mungkin bisa menjadi salah satu alasannya.
Namun hal yang tidak baik masih ada di kepala saya, bahwa saya masih menahan perasaan itu semua di hati saya. Semua perlakuan, ucapan, dan tatapan mereka yang seakan-akan menganggap rendah kehadiran saya. Belum mampu saya untuk lupakan, mungkin Anda lebih paham dan tahu apa yang harus dilakukan. Namun apa yang harus dilakukan banyak orang terhadap perundung?