Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Belum Layakkah Tan Malaka Menjadi Tokoh Pendidikan?
25 September 2023 6:26 WIB
Tulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah 25 Tahun reformasi di negeri, tapi sumbangsih Tan Malaka di dunia pendidikan tidak pernah diajarkan dalam sekolah, bahkan hingga perguruan tinggi berlatar belakang dunia pendidikan.
ADVERTISEMENT
Saya mahasiswa dari Kampus Pendidikan. Waktu semester dua, saya mendapatkan mata kuliah ”Wawasan Pendidikan”. Di mata kuliah tersebut saya mendapatkan materi tentang tokoh pendidikan yang berpengaruh di negeri ini.
Tokoh-tokoh tersebut, antara lain; K. H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Muhammad Sjafei dengan Indonesisch Nederlandsche School (INS) Kayutanam-nya, serta masih banyak yang tidak saya sebutkan satu persatu.
Tapi mengapa saya tidak menemukan nama Tan Malaka? Apakah beliau yang dikenal sebagai “Bapak Republik Indonesia” belum layak masuk ke dalam materi pelajaran? Bukankah ”Bapak Republik Indonesia” ini memberikan sumbangsih yang besar dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini?
Tan Malaka Menyebarkan Semangat Perjuangan Melalui Pendidikan
Menurut Muryanti (2006: 75), selain menyebarkan semangat perjuangan melalui media cetak, Tan Malaka juga meyebarkan semangat-semangat pergerakan dan marxis melalui media pendidikan.
ADVERTISEMENT
Bersama Semaoen, Ketua Perserikatan Komunis Hindia, Tan Malaka mendirikan sekolah yang diberi nama Sarekat Islam (SI)School pada tahun 1921.
SI School berlokasi di Kampung Gendong, Kelurahan Sarirejo, Kecematan Semarang Timur, Kota Semarang, dan kita harus berjalan kaki melalui gang-gang sempit yang membelah kampung tersebut.
Dalam merancang kurikulum SI School, Tan Malaka meletakkan tiga dasar pemikirannya. Pertama, memberikan pengajaran dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dll.
Kedua, memberikan hak kebebasan siswa-siswanya untuk bergaul. Ketiga, menunjukkan kewajiban siswa-siswanya untuk tidak lupa pada jutaan kaum yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan.
Dalam buku yang berjudul SI Semarang dan Onderwijis, Tan Malaka menyatakan bahwa sistem SI School lebih Baik dibandingkan dengan Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang kebarat-baratan. Menurutnya, budaya yang ada di SI School lebih cocok untuk anak pribumi.
ADVERTISEMENT
Rumornya, gedung SI Semarang pernah akan dirubuhkan. Beruntungnya, rencana tersebut gagal dilakukan, karena gedung tersebut dipugar dan dijadikan cagar budaya.
Pemugaran tersebut secara tidak langsung menyelamatkan sejarah sepak terjang Tan Malaka dalam menentang penjajahan di sektor pendidikan.
Mungkin ramalan Karl Marx ada benarnya. Ia memulai tulisannya di Communist Manifesto dengan kalimat "Ada hantu berkeliaran di Eropa--Hantu Komunisme.” Rupanya, hantu tersebut malah jauh bergentayangan melintasi benua.
Nyatanya, komunisme masih menjadi momok yang menakutkan di negeri yang sudah 25 tahun reformasi. Padahal kalau tidak ditutup-tutupi pun mahasiswa juga tidak tertarik dengan komunisme. Apalagi setelah tahu keadaan Uni Soviet di masa Josef Stalin atau keadaan Republik Rakyat Tiongkok di masa Mao Dezong.
Mengutip tulisan Leila Salikha Chudori dalam novel Pulang, antara lain:
ADVERTISEMENT
”[...] Dan seandainya mereka tahu (komunisme), toh teori itu teori yang gagal di mana-mana. Tak ada yang tertarik. Aku saja tidak. Bimo saja tidak. [...] karena kami membacanya sebagai mahasiswa dan menggunakan nalar.”