Di Balik Kemilau Jakarta: Gaji Rendah dan Terasing

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2022.
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2023 5:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kota. Sumber: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kota. Sumber: Pixabay.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta seringkali digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan kehidupan mewah. Namun, di balik kemewahannya, Jakarta juga menyimpan ketimpangan sosial yang memilukan.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, Jakarta adalah surganya kesempatan untuk sukses dan menjadi orang. Sementara di sisi lain, ada mereka yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, dan tidak pernah mendapatkan kesempatan tersebut.
Bahasa gampangnya, mah, ”Hidup gini-gini saja dari dulu”.

Gaji di Bawah UMP dan Tingginya Biaya Hidup di Jakarta

Ilustrasi orang yang sedang cemas. Sumber foto: Pixabay
Kisah paling dasar dan sering terlupakan oleh banyak orang, adalah kisah mereka yang hidup dengan gaji di bawah upah minimum provinsi (UMP). Mungkin banyak orang di luar Jabodetabek, atau bahkan di luar pulau Jawa berpikir bahwa hidup di Jakarta itu enak, karena UMP-nya lumayan besar.
Namun nyatanya, banyak dari mereka yang bekerja dengan gaji kisaran antara dua sampai tiga juta rupiah, dan bekerja lebih dari delapan jam. Ditambah hari libur mereka juga harus bekerja—khusus yang bekerja di sektor Food and Beverage, atau lainnya.
ADVERTISEMENT
Kita bayangkan saja, dengan gaji di bawah UMP dan tingginya biaya hidup di Jakarta, mereka harus melanjutkan hidupnya. Kesenjangan ini tercermin dalam pilihan makanan. Mereka cenderung memilih makanan murah untuk mengisi perut.
Mungkinkah dengan gaji di bawah UMP, dan libur hanya sekali dalam seminggu: mereka harus mengocek kantong antara lima belas ribu hingga dua puluh ribu rupiah untuk sekali makan dengan gizi yang cukup.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan makanan murah. Tapi yang jadi masalah adalah apakah makanan terebut memiliki kandungan gizi sudah cukup? Masa iya sudah kerja di atas delapan jam, kurang gizi lagi.
Belum lagi beli vitamin, bensin atau top up kartu untuk naik transportasi umum atau biaya ojek online, uang jajan, bayar kontrakan yang harganya antara enam ratus sampai tujuh ratus ribu ripuah yang cuma sepetak 4x4 (beruntung kalau rumah enggak ngontrak), dll.
ADVERTISEMENT
Terus ditambah jalan di Jakarta yang macet parah. Kalau enggak mau kena macet, mereka naik transportasi umum dan siap gencetan-gencetan dengan penumpangnya lainnya.
Itu yang masih lajang. Belum lagi yang sudah nikah dan punya anak.
Apakah enggak meledak kepala mereka?

Terpinggirkan dalam Gaya Hidup dan Hiburan di Jakarta

Ilustrasi kehidupan malam di Jakarta. Sumber foto: Pixabay.
Selain itu, Jakarta juga pusat mode tren dan gaya hidup. Di setiap tahunnya, tren mode dan gaya hidup baru selalu berganti di Jakarta. Namun, ada sisi lain yang terlupakan. Mereka yang memiliki gaji di bawah UMP, harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak memiliki uang banyak untuk mengikuti tren tersebut. Mereka yang tidak bisa mengikuti mode tren merasa terpinggirkan.
Kecuali mereka hidupnya masih ditanggung orang tua. Sisa gajinya bisa dipakai hiburan segala macem, kalau enggak pas dia tiba-tiba sakit kan harus beli obat. Belum lagi, kalau sebagian dari mereka anak pertama; yang di mana sisa uang kerjanya buat tambah-tambah kebutuhan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Jakarta memang memiliki segala hiburan untuk semua selera. Mulai dari mal-mal mewah yang menghadirkan merek-merek internasional, restoran dan kedai kopi, serta klub malam hingga angkringan di pinggir jalan yang menjadi salah satu denasti nongkrong di malam hari. Namun keterbatasan finansial membuat sebagian mereka sulit menikmati hiburan tersebut. Dan, inilah menciptakan rasa asing yang mendalam.
Ketika mereka yang menerima gaji rendah melihat teman-teman dan rekan-rekan mereka menikmati hiburan atau makan di restoran-restoran mewah, mereka merasa terbatas oleh keterbatasan finansial mereka. Ini menciptakan rasa ketidaksetaraan sosial dan emosional, membuat mereka merasa terisolasi dan terpinggirkan di Jakarta meskipun mereka tinggal di tengahnya.

Penutup

Jakarta adalah tempat yang penuh dengan ironi. Di balik kemilau cahayanya, ada kisah yang seringkali terlupakan; kisah tentang mereka yang hidup dengan gaji di bawah UMP. Mereka harus bertahan di tengah biaya hidup yang tinggi dan terasing dari gaya hidup mewah yang menggambarkan kemilau Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dalam keadaan inilah mereka dengan tabah terus melanjutkan hidup.