Membuka Jendela Baru dalam Sastra

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2022.
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2023 16:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilutrasi tangan manusia mengubah dunia. Sumber: Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Ilutrasi tangan manusia mengubah dunia. Sumber: Pixabay.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sastra tidak lepas dari pengaruh kosmopolitanisme yang berkembang pesat akibat kemajuan industri dan teknologi informasi. Saat ini kita berada dalam lingkaran waktu yang disebut petapah Latin, “zaman berubah dan kita diubah bersamanya”.
ADVERTISEMENT
Kosmopolitanisme muncul seiring dengan bertambahnya global village (desa semesta). Pada tahun 1960-an, Marshall McLuhan menyatakan bahwa ke depan tidak akan ada lagi yang disebut peradaban pinggir dan peradaban pusat.
Pengaruh kosmopolitanisme dalam sastra di masyarakat global village memunculkan karya-karya dengan genre teenlit “sastra ABG” dan genre metropop. Penggunaan bahasa gaul yang begitu dominan, dituduh mengacaukan kaidah bahasa Indonesia.
Mengutip perkataan Rachmania Arunita, penulis Eiffel I’m in Love dalam majalah PUSAT edisi 2, tahun 2010, berpendapat bahwa karakter teenlit yang menggunakan bahasa populer bukannya tanpa alasan. Menurutnya bahasa gaul merupakan upaya untuk memotret kehidupan anak muda apa adanya, tanpa ada yang disembunyikan.
Sebelum ada genre-genre tersebut, sebenarnya dalam perjalanan sastra kita telah ada novel genre romance populer Lupus karya Hilman Hariwijaya, yang terbit di tahun 80-an. Kemudian gerakan puisi Mbeling dipelopori oleh Remy Sylado di majalah Aktuil. Apalagi kemudian juga muncullah puisi-puisi konkret, yang di mana penyair menulis puisi dengan menggunakan tipografi untuk menyampaikan pesannya.
ADVERTISEMENT
Lalu di awal tahun 2000-an, terbitlah kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu—yang mana cerpennya yang berjudul SMS berbentuk seperti orang yang sedang melakukan short message service (SMS)-an.
Kemudian yang belum lama pernah viral di dunia sastra adalah terbitnya buku kumpulan puisi Hompimpa Alaium Gambreng karya Hamzah Muhammad. Buku ini membuat sastrawan Saut Situmorang ingin pensiun dalam dunia sastra.
Pada puisi yang berjudul Remaja Adu Kangen (Arsip 2002), Hamzah Muhammad menulis puisi dengan campuran huruf dan angka, layaknya remaja-remaja alay di media sosial. Kemudian pada puisi yang berjudul Belum Ada Judul, Hamzah merekonstruksi lirik lagu anak ciptaan Soerjono yang berjudul Bangun Tidur. Di dalam puisi Belum Ada Judul ia juga menambahkan chord gitarnya.
ADVERTISEMENT
Dari perjalanan di atas, kita melihat sastra bukanlah lagi suatu hal “berat”, untuk dimengerti orang banyak—seperti yang kita ketahui di masa sekolah. Namun, di balik ini semua, sastra kita sedang berada di ujung tanduk.
Para penggiat sastra di negeri kita mulai kelimpungan akan membuat kebaruan seperti apa lagi. Lihat saja hampir semua jenis pembaharuan sudah dilakukan oleh sastrawan atau penggiat sastra sebelumnya, dan tidak menyisakan satu pun untuk penggiat sastra masa mendatang.

Sastra Indonesia Sedang Mengalami Proses Kematian

Ilustrasi kematian. Sumber: Pixabay.
Ketika kita membaca sastra Indonesia modern, kita sadar bahwa sastra kita sudah terlalu jauh tertinggal dengan sastra Barat. Konon, masa kejayaan sastra modern terjadi pada masa Franz Kafka, James Joyce, Jorge Luis Borges, Virginia Woolf dan lain-lain, pada tahun 1920-an. Sedangkan Indonesia masih menjadi wilayah jajahan Belanda.
ADVERTISEMENT
Ketika sastra di dunia mulai mengalami kebuntuan, para sastrawan mulai bereksperimen; antara tahun 1950-an dan 1970-an. Bertahun-tahun dengan teknik-teknik yang termasuk dalam kategori sastra postmodern, para penulis Indonesia sendiri bereksperimen dengan bentuk-bentuk modern dari paternalisme Hugo Ball, absurditas Franz Kafka dan gaya Albert Camus.
Pada tahun 1990-an, sedang ramai diperbincangkan tentang matinya sastra dunia pada budaya postmodern. Tetapi di Indonesia, sastrawan kita malah baru memulai teknik sastra postmodern—yang bagaimana gelombang itu berkontribusi terhadap hilangnya sastra, dan tanpa sadar sastra kita mengalami proses kematian.
Lalu apakah sastra kita yang sedang berjalan menuju kematian; akan benar-benar mengalami kematian untuk beberapa tahun ke depan?

Menggabungkan Bunyi, Tulisan, dan Visual

Ilustrasi membaca. Sumber: Pixabay.
Sapardi Djoko Damono mengatakan awalnya sastra adalah bunyi. Sebelum manusia mengenal aksara, nenek moyang kita hanya berkomunikasi melalui suara, yaitu dengan berbicara satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Lalu bentuk sastra bertransformasi. Sastra yang mulanya adalah bunyi diwujudkan dalam tulisan. Kemudian tulisan itu dibunyikan lagi, dibacakan lagi, digubah menjadi lagu atau musikalisasi puisi, dan berubah bentuknya sesuai perkembangan zaman.
Kemudian ia menegaskan, kemunculan internet mendukung perubahan bentuk teks tersebut. Blog dan media sosial telah memungkinkan teks berpindah dari halaman kertas fisik ke versi digital.
Oleh karena itu, di masa depan kita bisa memadukan sastra dengan elemen-elemen audio dan video. Kita bisa membuat puisi atau cerpen seperti pesan WhatsApp, di mana kita bisa menggabungkan tulisan dengan voice note, bahkan telepon maupun video call.
Menurut Wilbur S. Scoot, sastra adalah cerminan masyarakat. Maka, sastra berperan penting dalam merefleksikan nilai-nilai, pandangan hidup, dan realitas di suatu masa. Namun demikian, bukan berarti kita akan meninggalkan sastra tulisan yang selama ini kita anut.
ADVERTISEMENT