Konten dari Pengguna

Sastra Masuk Kurikulum: Harapan dan Kenyataan

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa PBSI UNJ 2022
14 Juli 2024 11:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Rebecca Zaal: https://www.pexels.com/id-id/foto/sekelompok-orang-mengambil-foto-764681/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Rebecca Zaal: https://www.pexels.com/id-id/foto/sekelompok-orang-mengambil-foto-764681/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sastra telah menjadi bagian dari pendidikan selama bertahun-tahun. Pada Oktober 1999, program "Sastra Masuk Sekolah" diluncurkan untuk mengatasi kondisi “nol buku” di sekolah-sekolah. Pada tahun 2000, program ini diperluas dengan kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang bertujuan mendekatkan sastra kepada murid.
ADVERTISEMENT
Kini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) melanjutkan inisiatif ini melalui program "Sastra Masuk Kurikulum," bagian dari Episode Merdeka Belajar ke-15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar. Program ini bertujuan menguatkan kompetensi dan budaya literasi membaca, sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024.
Program ini bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan empati siswa, serta memperluas wawasan mereka tentang budaya dan sejarah bangsa melalui sastra. Pemerintah meminta sekolah memasukkan unsur sastra melalui buku-buku yang disediakan oleh Kemdikbudristek. Misalnya, guru sejarah dan sosiologi bisa menggunakan karya sastra untuk mendukung pembelajaran di kelas.
Diharapkan, program ini akan meningkatkan minat baca anak-anak Indonesia. Data UNESCO menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia hanya membaca 37 halaman buku per tahun, dengan indeks minat baca hanya 0,001 persen. Penelitian dari Central Connecticut State University menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal literasi, hanya satu peringkat di atas Botswana.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah program ini akan mencapai tujuannya?
Di Manakah Posisi Merdeka Belajar?
Foto oleh wiwidwijayanto: https://pixabay.com/id/illustrations/boy-girl-book-flying-on-a-book-4586191/
Pertanyaannya, bagaimana posisi "Merdeka Belajar" yang digagas pemerintah? Mengapa pemerintah masih merasa perlu memilihkan bacaan sastra untuk siswa SD hingga SMA? Hal ini bisa membelenggu kreativitas dan merusak inovasi siswa, yang akhirnya hanya akan berfokus pada karya-karya yang telah diakui pemerintah.
Siswa mungkin akan kehilangan kesempatan untuk menemukan karya sastra yang sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Lebih buruk lagi, kebijakan ini bisa membuat pendidik menjadi pasif, merasa tidak perlu mencari dan mengeksplorasi bacaan sastra lain di luar daftar yang disediakan oleh pemerintah.
Akibatnya, pendidik mungkin kurang termotivasi untuk memperluas wawasan mereka sendiri dan tidak dapat memberikan pengalaman belajar yang kaya dan beragam kepada siswa.
ADVERTISEMENT
Kilas balik, pada tahun 1910, Pemerintah Belanda membentuk Komisi Bacaan Rakyat untuk menyediakan bacaan bagi sekolah pribumi. Peran komisi ini kemudian diambil alih oleh Balai Pustaka. Menurut Pramoedya dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka sering diubah oleh redaksi. Balai Pustaka percaya bahwa penerbit harus menyeleksi bacaan untuk mendidik masyarakat di tanah jajahan.
Kini peran menyeleksi karya sastra untuk kurikulum sekolah telah beralih dari Komisi Bacaan Rakyat dan Balai Pustaka di masa kolonial ke Kemendikbudristek melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan di masa kini. Pola penyeleksiannya masih memiliki kemiripan, yaitu dengan membentuk "komisi khusus" dan bertujuan untuk mendidik masyarakat melalui karya sastra.
Upaya untuk "mendidik" melalui seleksi sastra ini dapat berbalik menjadi upaya untuk "mengontrol" pemikiran dan kreativitas siswa dan pendidik. Sastra seharusnya menjadi ruang bebas di mana ide-ide dapat dieksplorasi dan diekspresikan tanpa batasan. Ketika pemerintah terlalu campur tangan dalam menentukan bacaan, mereka mengambil risiko menghambat perkembangan intelektual dan kreatif siswa.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pendekatan mereka dalam program ini.
Bagaimana Kesiapan Pendidik dan Calon Pendidik?
Foto oleh MoteOo: https://pixabay.com/id/vectors/kelas-guru-birma-siswa-kartun-1459570/
Dalam program ini, pendidik dan orang tua dapat menggunakan Panduan Rekomendasi Buku Sastra yang ditetapkan melalui Keputusan Mendikbudristek Nomor 025/H/P/2024. Keputusan ini mengatur tentang Rekomendasi Buku Sastra untuk Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Program Sastra Masuk Kurikulum di sekolah-sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka. Panduan ini bertujuan agar pendidik dan orang tua dapat mendampingi siswa dalam mendapatkan informasi yang lengkap.
Namun, tantangan utamanya adalah kesiapan pendidik dan calon pendidik di Indonesia. Apakah mereka sudah siap untuk mengajarkan sastra di sekolah?
Saya tidak tahu pasti apakah pendidik dan calon pendidik di Indonesia membaca buku sastra–terutama yang direkomendasikan oleh Kemdikbudristek.  Tapi, izinkan saya menceritakan sedikit kecemasan saya sebagai mahasiswa jurusan pendidikan. Maaf jika saya terlalu menggeneralisasi. Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), saya prihatin mengetahui beberapa teman di kelas saya tidak bisa membedakan antara antologi cerpen dan kumpulan cerpen. Ketika dosen menyuruh kami mencari antologi cerpen, beberapa teman saya malah mengirim kumpulan cerpen.
ADVERTISEMENT
Selain itu, saat Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), panitia menyuruh mahasiswa baru (maba) meresensi buku seperti Laut Bercerita, Pulang, Gadis Pantai, Saman, dan Entrok. Sayangnya, panitia yang menjadi pembimbing maba tidak pernah membaca novel-novel tersebut dan malah mencari resensi di mesin pencari sebagai jalan pintas.
Jika calon pendidik, khususnya dari jurusan PBSI, saja sudah menunjukkan sikap seperti ini. Bagaimana mahasiswa jurusan pendidikan lainnya? Situasinya pasti tidak jauh berbeda. Lalu, bagaimana kita bisa mengharapkan siswa mencintai sastra jika pendidiknya sendiri tidak memiliki minat dan pemahaman yang cukup?
Pemerintah harus menyadari bahwa program ini tidak akan berhasil tanpa pendidik yang kompeten dan antusias. Perlu ada pelatihan intensif dan berkelanjutan bagi calon pendidik untuk memastikan mereka benar-benar memahami dan mampu mengajarkan sastra dengan baik.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kesuksesan program ini bergantung pada kesiapan pendidik dan kebebasan siswa dalam mengeksplorasi dunia sastra. Tanpa itu, program tidak akan memberikan manfaat nyata bagi perkembangan literasi di Indonesia.