Konten dari Pengguna

Sejarah Suku Lampung di Kecamatan Anyar, Provinsi Banten

Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Mahasiswa PBSI UNJ 2022
31 Juli 2023 6:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Ridwan Tri Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) angkatan 2022, siap menjadi reporter ke Kampung Salatuhur Cikoneng, Kota Serang, Provinsi Banten untuk memenuhi tugas mata kuliah "Keterampilan Menulis Populer" pada tanggal 26-27 Mei 2023. (Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) angkatan 2022, siap menjadi reporter ke Kampung Salatuhur Cikoneng, Kota Serang, Provinsi Banten untuk memenuhi tugas mata kuliah "Keterampilan Menulis Populer" pada tanggal 26-27 Mei 2023. (Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
Persahabatan Kesultanan Banten dengan Keratuan Lampung pada masa lampau, akhirnya membentuk suatu kampung di Kecamatan Anyar, Banten yang menggunakan bahasa Lampung dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sambil menggerakkan tangan kanannya, Suheli (63), spirit kampung Salatuhur Cikoneng, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, Banten menceritakan sejarah asal mulanya suku Lampung di Serang, Banten pada Jumat (26/05/23).
”Nenek moyang kami dulu dari Kalinda, Lampung disambut oleh Sultan Banten. Beliau mau mengislamkan wilayah Banten. Dalih dalam kata itu meminta bantuan dari Lampung,” ucapnya sambil tersenyum.
Ia menuturkan, bahwa Sultan Banten menggunakan debus—tari tradisional Banten—untuk menyebarkan islam. Tujuannya untuk menjadi tontonan satu wilayah setiap berdakwah. Untuk menonton debus, penduduk Banten harus membeli tiket dengan dua kalimat syahadat.
Setelah Kerajaan Pajajaran, Kedaung, Kadang Wesi, Kuningan, dan Parung Kujang runtuh, Suheli mengatakan, bahwa sebagian nenek moyangnya pulang ke Lampung dan sebagian memilih menetap di Banten.
ADVERTISEMENT
Nenek moyangnya yang tinggal di Banten, memilih hidup tidak berdekatan dengan Kesultanan Banten. Mereka menjadikan suara meriam Ki Amuk sebagai batas pendengarannya.
Gapura Kampung Salatuhur Cikoneng (Dokumen Pribadi)
Lalu, Suheli menceritakan nenek moyangnya terpilih yang menjadi residen, mengadakan pertemuan dengan dengan Sultan Banten untuk membahas nama kampung. Menurutnya, dahulu kampung ini masih hutan belantara dan belum mempunyai nama.
Saat mengadakan pertemuan itu, Sultan Banten dan nenek moyangnya mendengar suara adzan zuhur. Karena itu, Sultan Banten memberi tahu kepada nenek moyangnya untuk memberikan nama kampung ini dengan nama kampung shotal zuhur. Dan sampai sekarang pun, kampung ini terkenal dengan nama Kampung Salatuhur.
Ia menambahkan, ketika ingin melakukan salat zuhur Sultan Banten tidak menemukan air untuk melakukan wudhu. Kemudian Sultan Banten menancapkan tongkatnya ke tanah, lalu ketika dicabut keluarlah mata air. Setelah kejadian itu, nenek moyangnya membuat sebuah sumur sedalam dua meter untuk menyucikan tempat ini.
ADVERTISEMENT
”Para prajurit cari air di mana-mana nggak ada, dikorek-koreklah sama Sultan Banten, keluar air untuk wudhu. Itu jadilah Sumur Agung.” ucapnya sambil memutar-mutar jari telunjuk di tangan kanannya.
Sumur Agung di Kampung Salatuhur Cikoneng (Dokumen Pribadi)
Melansir detiknews, Persahabatan Lampung—Banten sudah terjalin berabad-abad lalu saat Kesultanan Banten dipipin oleh Sultan Maulana Hasanudin. Persahabatan itu dibuktikan dengan adanya prasasti Dalung Kuripan, sebuah lempengan logam perunggu yang berisikan ikrar antara Sultan Maulana Hasanuddin dan Haji Muhammad Zaka Walitullah dari Keratuan Lampung.
Lalu menurut wikipedia, Realiasasi Dalung Karipan berlanjut pada saat penaklukan Kerajaan Sunda Pajajaran, Kedaung, Kandang Wesi, Kuningan, dan terakhir, daerah Parung Kujang (sekarang Kabupaten Lebak) terjadi pada abad ke-17, satu abad sesudah peristiwa Dalung Kuripan, menjadi tanda lahirnya keberadaan Cikoneng.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, Kesultanan Banten diketahui sedang berada dalam pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kemudian Keratuan Lampung mengirimkan empat orang parjurit kakak-beradik, yaitu Menak Gede, Menak Iladiraja, Menak Sengaji, dan Menak Parung.
Karena kesuksesannya keempat prajurit Keratuan Lampung ini, Sultan Agung Tirtayasa mengangkat Menak Gede sebagai adipati di Kesultanan Banten. Namun setelah satu tahun menjabat, Menak Gede meninggal dunia. Jabatan adipati pun diserahkan kepada adiknya, Minak Iladiraja. Ia pun mengalami nasib yang sama, wafat setahun kemudian.
Sepeninggalan Menak Iladiraja, Menak Sengaji dipanggil Sultan untuk menggantikan Menak Iladiraja. Akan tetapi Menak Sengaji tidak langsung menerima jabatan itu. Ia meminta syarat untuk diangkat menjadi adipati di luar daerah kekuasaan kakaknya.
Menak Sengaji ingin daerah Banten bagian barat, daerah yang langsung berhadapan dengan daerah leluhurnya yakni Lampung. Ia juga meminta dibolehkan membawa saudara-saudaranya dari Lampung.
ADVERTISEMENT
Akhirnya pun Menak Sengaji sepakat menempati kawasan Pantai Anyar yang dulu bernama Alas Priuk dan pelabuhannya dinamai Pelabuhan Priuk. Kemudian mereka mendirikan pemukiman orang Lampung yang diberi nama Kampung Bojong.
Berputarnya roda waktu jumlah 40 kepala keluarga itu mulai beranak-pinak, Kampung Bojong kemudian dimekarkan kembali menjadi empat kampung yaitu Kampung Bojong, Kampung Cikoneng, Kampung Tegal, dan Kampung Salatuhur.
Suasana di Kampung Salahtuhur Cikoneng (Dokumen Pribadi)

Ciri Khas dan Keunikan Bahasa Lampung Cikoneng

Kantor Desa di Kampung Salatuhur Cikoneng (Dokumen Pribadi)
Setelah meceritakan sejarah asal mulanya suku Lampung di Serang, Banten, Suheli menerangkan ciri khas bahasa Lampung Cikoneng. Ia menjelaskan bahwa dalam bahasa Lampung Cikoneng terdapat realisasi bunyi [o] pada posisi vokal akhir terbuka. Hal ini berbeda dengan bahasa Lampung yang merealisasikan bunyi [a].
”Kalo di Lampung kan ’agadipa’, kalo di sini ’agodipo’. Itu artinya ’mau ke mana’,” lalu ia menambahkan bahwa bahasa Lampung Cikoneng tidak merealisasikan bunyi [R], ”Kalo di Lampung bunyi ’er’ pake tenggorkan. Tapi kalo di sini ’er’nya biasa aja,” lanjut Suheli.
ADVERTISEMENT
Selain itu, juga terdapat kata yang sama, namun memiliki arti yang berbeda. Dalam bahasa Lampung ’jemoh’ berarti ’besok pagi’, sedangkan dalam bahasa Lampung Cikoneng ’jemoh’ berarti ’kapan-kapan’.

Reporter dari mahasiswa UNJ jurusan PBSI foto bersama anak-anak di Kampung Salatuhur Cikoneng (Dokumen Pribadi)
Walaupun artinya berbeda, ia memaparkan bahwa orang Lampung bisa memahami bahasa Lampung Cikoneng ini. Berbeda dengan orang dari kampung ini yang belum tentu dapat memahami bahasa orang Lampung di seberang sana.
”Kalo kami kan ga pernah rantau ke sana, jadi kurang jelas. Di Lampung sana dialek juga masing-masing. Apung, Liwa, Kemering, terus banyak lagi,” ujarnya sambil memejamkan mata.