Memperbaiki Penilaian Kita terhadap Masalah

Muhammad Saddam Haikal
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2022 14:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Saddam Haikal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kita semua punya masalah. (Sumber: Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kita semua punya masalah. (Sumber: Pribadi)
ADVERTISEMENT
Siapa yang hidup di dunia ini tanpa masalah? Semua orang⁠—bahkan hewan dan tumbuhan⁠—setidaknya mengalami satu kali masalah dalam hidup mereka. "Masalah" memang sudah menjadi mode pabrik dari Tuhan untuk semua makhluk hidup. Meskipun demikian, masih banyak di antara kita yang belum menyadari hal itu. Kita sering bereaksi berlebihan terhadap masalah yang melanda hidup, baik masalah sepele maupun masalah besar.
ADVERTISEMENT
Respons kita terhadap suatu masalah biasanya dipengaruhi oleh tingkat kemawasan diri, seperti rasa syukur, mengenal diri sendiri, dan kesabaran. Makin kita tidak mahir mengendalikan diri, makin sulit pula kita melihat permasalahan melalui kacamata yang positif.
Hal ini wajar dan pasti dirasakan oleh semua manusia. Tak bisa dimungkiri bahwa perasaan dan emosi kita sering berubah-ubah. Adakalanya suasana hati juga memberikan kontribusi penting terhadap reaksi kita pada sebuah masalah. Saat suasana hati sedang baik-baik saja atau gembira, masalah besar sekalipun akan terlihat kecil. Sebaliknya, ketika suasana hati sedang kacau balau, masalah sepele terasa seperti suatu hal yang mengancam jiwa.
Pola suasana hati yang naik-turun seperti roller coaster tersebut lama-kelamaan akan menjadi racun bagi kesehatan mental kita. Untuk itu, penting rasanya menjaga perspektif kita pada situasi apa pun. Tujuannya agar kita tetap dapat berpikir jernih ketika berhadapan dengan situasi atau permasalahan yang kompleks.
ADVERTISEMENT

Rumus 3P

Ilustrasi 3P besutan Martin Seligman. (Sumber: Pribadi)
Kembali pada persoalan mengenai "respons" kita terhadap suatu masalah, seorang psikolog bernama Martin Seligman menemukan suatu gagasan yang disebut sebagai Three P's. Gagasan itu merupakan singkatan dari personalization, pervasiveness, dan permanence yang memiliki pengertian masing-masing.
Seligman berpendapat bahwa kita seringkali terlalu berlebihan ketika berhadapan dengan suatu masalah. Kita memiliki kecenderungan untuk mengaitkan berbagai permasalahan hidup dengan diri kita sendiri sehingga masalah yang sebenarnya tidak begitu masif justru terkesan berat dan mustahil untuk dipecahkan. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh "rabun"-nya pandangan kita yang selalu memandang masalah secara subjektif, alih-alih menganalisisnya secara objektif.
Kira-kira, beginilah konsep 3P besutan Martin Seligman tersebut.

1) Personalization (Personalisasi)

Tidak perlu menyalahkan diri sendiri secara berlebihan atas kesalahan yang diperbuat. (Sumber: Pribadi)
Personalization adalah pandangan kita terhadap suatu masalah yang menjurus pada kausalitas (hubungan sebab-akibat) dengan diri sendiri. Personalization terjadi ketika kita menganggap bahwa semua permasalahan yang menimpa kita merupakan hasil perbuatan atau disebabkan oleh diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada konteks tertentu, kita memang perlu kesadaran ketika berbuat kesalahan sehingga bisa memperbaiki diri lebih baik lagi. Akan tetapi, kesadaran yang terlalu berlebihan justru menjadi beban mental yang nantinya akan selalu menghantui pikiran kita dengan ungkapan "Tuh, kan. Kamu memang biang kerok," atau "Ih, kerjaanmu cuma jadi pembuat masalah."
Kenyataannya, setiap masalah yang menimpa kita tidak selalu disebabkan oleh kesalahan atau perbuatan kita sendiri. Banyak sekali faktor luar yang turut memengaruhi permasalahan tersebut. Hanya saja, kita tidak mau membuka pikiran kita dan akhirnya terjebak di penjara overthinking.
Sekarang, buang jauh-jauh pikiran tersebut. Daripada terus-menerus menyalahkan diri, lebih baik kita fokus mencari solusi atas permasalahan di depan kita. Kamu pasti bisa, kok!
ADVERTISEMENT

2) Pervasiveness (Efek Domino Pikiran)

Jangan mengaitkan satu masalah dengan seluruh aspek kehidupan. (Sumber: Pribadi)
Pervasiveness adalah gejala yang dirasakan oleh seseorang berupa anggapan bahwa satu masalah dalam hidup akan berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan. Keadaan ini bisa dikatakan sebagai efek domino di dalam pikiran kita sendiri.
Ketika berbuat suatu kesalahan, jangan jadikan hal itu sebagai kesempatan untuk menghubungkannya dengan persoalan lain. Jika hal itu terjadi, kita akan sulit untuk menemukan titik cerah sehingga membuat permasalahan yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi "wabah" dan meracuni pikiran kita. Misalnya, Rina pada suatu hari mengetahui bahwa nilai ujian matematikanya adalah 50. Kemudian, Rina mengalami gejala pervasiveness, yaitu mulai berpikir bahwa dia adalah murid yang bodoh, dia bukanlah anak yang membanggakan orang tua, masa depannya akan suram, dan pikiran-pikiran desktruktif lainnya.
ADVERTISEMENT
Jika kita lihat secara saksama, pikiran Rina sudah mewabah ke mana-mana sehingga membuatnya tidak bisa berpikir jernih dan objektif. Walaupun nilai matematikanya 50, hal itu tidak serta-merta menjadi bukti bahwa Rina adalah murid yang bodoh, apalagi sampai berpikir bahwa masa depannya akan suram. Efek domino seperti inilah yang dapat menghilangkan gairah hidup hingga berpotensi menyebabkan seseorang bunuh diri karena menganggap bahwa seluruh aspek kehidupannya tidaklah berguna dan berarti. Berbahaya sekali, bukan?
Daripada Rina berpikir demikian, lebih baik dia mengembalikan fokusnya untuk evaluasi diri. Toh, masih ada kesempatan lain di kemudian hari untuk coba lagi—dan mengikuti remedial. Jangan diambil pusing, nilai 50 tidak akan langsung membuat masa depanmu hancur ataupun suram.
ADVERTISEMENT

3) Permanence (Masalah yang Permanen)

Ilustrasi rambu-rambu "Stop". (Sumber: Pribadi)
Konsep yang terakhir ini lebih menekankan pada jangka waktu permasalahan yang kita hadapi. Seringkali kita menganggap bahwa permasalahan di hidup ini akan berlangsung secara permanen. Itu artinya, kita berkeyakinan bahwa kita tidak pernah bisa terlepas dari masalah.
Pemikiran semacam ini tentu saja tidak logis karena pemaknaan "masalah" itu sendiri sangat bergantung pada pandangan dan persepsi kita. Untuk itu, apa yang kita anggap sebagai sebuah permasalahan belum tentu merupakan masalah bagi orang lain, malah justru terkadang menjadi suatu keuntungan. Di sinilah kesempatan kita untuk berkolaborasi dengan orang lain demi mencapai siklus mutualisme atau hubungan saling menguntungkan. Misalnya, "belalang" bagi petani padi merupakan hama yang mesti dibasmi. Sementara itu, belalang di mata penjual camilan belalang goreng dianggap sebagai sumber mata pencarian.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi berlainan tersebut, petani padi bisa mengubah "masalah"-nya itu menjadi sebuah keuntungan, yaitu dengan menjual belalang di ladangnya kepada pengepul pakan ikan atau penjual belalang goreng. Melalui pola seperti ini, semua pihak akan merasa diuntungkan karena pembeli belalang mendapatkan stok penjualan sedangkan petani memperoleh uang dari hasil menjual "masalah-masalah"-nya itu.
Contoh sederhana di atas sudah cukup membuktikan bahwa sebuah masalah tidak akan terus-menerus menjadi sebuah "masalah" jika kita dapat menemukan solusi efektif untuk mengubah permasalahan tersebut menjadi sebuah keuntungan. Konsep "masalah yang permanen" hanya terjadi pada mereka yang selalu berpandangan bahwa masalah akan selalu merugikan. Faktanya, kita bisa mengubah pandangan itu dengan cukup bermodalkan keyakinan untuk melihat segala sesuatu melalui sudut pandang yang luas.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan ketiga gagasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa Seligman secara gamblang menyarankan kita untuk selalu tetap berada di jalan yang benar, yaitu dengan tidak serta-merta membiarkan diri kita terjerumus ke jurang pikiran yang negatif. Jika tidak segera dibenahi, hal itu suatu saat nanti akan menjadi bom waktu yang berbahaya.

Yuk, Berefleksi!

Mulai cintai diri sendiri, yuk! (Sumber: Pribadi)
Tanamkan dalam diri bahwa setiap musibah atau permasalahan yang menimpa kita bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Masalah yang kita hadapi merupakan masalah yang sudah dialami oleh manusia-manusia sebelumnya. Dengan menyadari ini, kita menjadi lebih waras dalam memandang masalah dan segera mencari solusi sehingga tidak meratap terlalu lama.
ADVERTISEMENT
Ketika merenungi kembali permasalahan, kita sadar bahwa masalah kita tidak begitu istimewa-istimewa amat. Banyak yang pernah merasakan dan melaluinya silih berganti—dulu, sekarang, dan di masa depan nanti.
Maka dari itu, hendaknya kita bijak ketika menilai sesuatu. Toh, tidak ada permasalahan yang tidak bisa diatasi. Kuncinya adalah kita bangun kembali kemawasan diri agar menjadi lebih waras, welas asih, dan belas kasih pada diri sendiri dan orang lain (self-and-others compassion).
(Muhammad Saddam Haikal, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tertarik dengan isu linguistik, filosofi, dan pengembangan diri)