Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menafsir Kemarahan Presiden dari Kacamata Kehumasan dan Komunikasi Politik
5 Juli 2020 11:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Muhammad Saiful Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari sebelumnya, rakyat Indonesia dihebohkan dengan kemarahan Presiden yang dilakukan saat rapat terbatas. Di tengah masih bergulirnya kontroversi tentang penanganan pemerintah terhadap Covid-19, publik gempar karena dipublikasikannya video Presiden Joko Widodo yang memarahi para pembantunya. Tentu video ini menghebohkan publik karena dalam video ini presiden terlihat memberikan arahan dengan nada meninggi. Kemarahan sang presiden ini secara garis besar karena presiden menilai para pembantunya tersebut bekerja layaknya kondisi normal. Bahkan presiden secara gamblang mengatakan tak ada progress yang cukup signifikan. Padahal dalam video tersebut, presiden kerap kali mengatakan bahwa kini kita sedang dalam sebuah keadaan yang krisis serta membutuhkan langkah yang extra ordinary.
ADVERTISEMENT
Lalu tentunya setiap kemarahan presiden akan membuat heboh publik. Hal ini terjadi karena publik menilai bahwa sifat dasar Presiden Jokowi jauh dari emosional. Maka tentu setiap kemarahan presiden disebabkan sebuah sebab yang extra ordinary. Berdasarkan asumsi tersebut, maka banyak para pakar yang menganalisis kemarahan sang presiden tersebut dari berbagai sisi.
Sama seperti publik lainnya, saya juga ingin menganalisis kemarahan presiden tersebut dari sudut pandang kehumasan dan komunikasi politik.
Dalam kehumasan, menjaga reputasi menjadi sebuah hal yang sangat penting bagi institusi. Reputasi ini penting untuk dijaga karena tanpa hal tersebut, sebuah institusi akan menemui kendala dalam menjalankan roda organisasinya. Hal ini karena sebuah institusi perlu untuk menjaga relasi positifnya kepada stakeholder maupun publik yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
Begitupun dengan institusi pemerintahan. Institusi pemerintahan perlu untuk menjaga reputasinya kepada stakeholder dan publiknya karena institusi pemerintahan perlu mendapatkan kepercayaan yang utuh dari kedua entitas tersebut. Sebagai contoh apabila pemerintah tidak mendapatkan kepercayaan yang cukup baik dari publik yang dalam hal ini adalah masyarakat, maka besar kemungkinan berbagai program yang dimiliki oleh pemerintah tidak diterima dengan maksimal oleh masyarakat. Maka reputasi dan kepercayaan dalam hal ini penting untuk dijaga.
Lalu bagaimana membaca kemarahan presiden tersebut dari kacamata kehumasan? Dalam kacamata kehumasan, menurut saya tindakan tersebut tidaklah tepat. Mengapa? Karena kemarahan presiden tersebut secara tidak langsung mengafirmasi berbagai kritik kelemahan yang diarahkan kepada pemerintah selama penanganan Covid-19 ini. Hal paling utama yang terafirmasi adalah pemerintah yang kerap kali dikritik tak memiliki sense of crisis sehingga kerap kali menghasilkan kebijakan yang kurang tepat. Selain itu sikap pemerintah yang cenderung tak menganggap ini sebagai krisis juga terafirmasi dengan teguran presiden yang menegur para pembantunya karena terkesan biasa-biasa saja dalam keadaan yang membutuhkan tindakan extra ordinary ini. Maka kemarahan presiden ini berarti membuka kepada publik berbagai kelemahan kabinetnya yang mana presiden sendiri menjadi bagian dari itu.
ADVERTISEMENT
Namun tentu saja tidak serta merta bahwa segala permasalahan harus dibiarkan begitu saja. Secara kehumasan, berbagai problem yang ada seharusnya dapat diselesaikan secara internal alih-alih diselesaikan secara eksternal. Hal ini diperlukan untuk menjaga reputasi dan kepercayaan publik yang dibutuhkan utamanya dalam masa krisis seperti ini.
Selanjutnya juga menarik untuk melihat kemarahan presiden tersebut dari kacamata komunikasi politik. Dalam hal ini, komunikasi politik penting untuk dibaca karena penting untuk mengetahui pesan politik di balik kemarahan presiden tersebut. Tentu saja kemarahan presiden tak dapat serta merta hanya dimaknai begitu saja sebagai sebuah ekspresi emosional semata, terlebih ekspresi tersebut dilontarkan oleh seorang presiden di sebuah sistem presidensial yang berlaku sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus. Ekspresi presiden tersebut pastinya menyimpan makna-makna tertentu. Pemaknaan tersebutlah yang dapat kita baca dengan kacamata komunikasi politik.
ADVERTISEMENT
Apabila sebelumnya dilihat dalam kacamata kehumasan tindakan tersebut lebih cenderung merupakan tindakan yang kontraproduktif, sebaliknya dalam kacamata komunikasi politik tindakan presiden tersebut cenderung dapat dimaknai secara positif. Dalam kacamata ini, saya memaknai bahwa presiden berusaha menyampaikan kepada publik bahwa berbagai kebijakan yang kontraproduktif selama masa krisis ini bukanlah terjadi karena presiden, namun lebih karena para pembantunya yang tak memiliki sense of crisis dan bekerja seperti layaknya tak terjadi krisis. Maka sontak pasca kemarahan ini, fokus tudingan masyarakat mengarah pada para menteri. Hal ini ditambah dengan pernyataan presiden yang bahkan siap mengeluarkan Perppu lagi apabila dibutuhkan. Ini menyiratkan presiden berusaha untuk menyampaikan pesan bahwa dirinya memiliki political will dalam menangani wabah ini.
ADVERTISEMENT
Namun dalam pemaknaan lainnya, kemarahan presiden bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Hal ini cukup beralasan karena para menteri tersebut dipilih sendiri oleh presiden sehingga apabila terdapat menteri yang dianggap tak memiliki kompetensi yang baik dalam menangani wabah ini, maka ini juga disebabkan karena pilihan presiden sendiri.
Terlepas dari itu semua, hal yang paling menarik adalah menanti perbaikan kebijakan pemerintah dalam penanganan krisis ini. Apabila tak juga menunjukkan perubahan, maka kita layak menanti tindakan extra ordinary presiden sebagaimana yang dijanjikan dalam kemarahannya, seperti reshuffle misalnya.