Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Mistik Cinta Rabi'ah Al-Adawiyah
3 Februari 2025 9:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhdhori Ahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian yang dilakukan oleh seorang pakar sufisme Dr. Javad Nurbakhsh tak kurang dari 120 nama wanita sufi yang hidup dalam kurun waktu lebih dari sepuluh abad, yaitu abad ke delapan hingga abad ke sembilanbelas. Hal ini, setidaknya menjadi bukti bahwa sufisme tidak dimonopoli yang berjenis kelamin laki-laki saja. Penelitian Dr. Javad Nurbakhsh juga membuktikan bahwa wanita sufi juga dapat mencapai maqam (kedudukan) yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Rabi’ah bin Ismail al-Adawiyah merupakan salah satu dari wanita sufi yang dikenl dengan dengan kesucianya dan kecintaanya kepada Allah SWT. Karena kezuhudanya Rabi’ah al-Adawiyah dijuluki sebagai The Mother of the Grand Master ibu para sufi besar.
Hidup Rabi’ah al-Adawiyah
Rabia’ah al-Adawiyah hidup hidup pada masa pemerintah Bani Umaiyah ditengah masyarakat umum yang hidup dalam makmuran dan kemewahan. Sedangkan keluarga Rabi’ah al-Adawiyah hidup dengan serba kekurangan. Ayah Rabi’ah mendapatkan penghasilan hanya dari pengangkut penumpang menyeberangi sungai Dijlah dengan menggunakan sampan. Meskipun demikian, ayanya dikenal sebagai orang yang sholih, taat beragama, terbiasa hidup sederhana dan zuhud.
Suatu malam disaat Rabi’ah dilahirkan, tidak ada satu lampu-pun dirumahnya, sama sekali tidak ada minya untuk membersihkan pusar bayi, dan tidak ada sepotong kain pun untuk membungkus bayi itu. Hal ini merupakan gambaran kehidupan keluarga Rabi’ah al-Adawiyah yang sangat miskin. Kemudian sebelum masa dewasa Rabi’ah, ibunya telah meninggal dunia. Penderitaanya ditambah dengan kelaparan hebat yang terjadi di kota Basrah yang menyebabkan Rabi’ah berpisah dengan ketiga saudaranya. Dalam kesendirianya itu Rabi’ah jatuh kepada laki-laki jahat sebagai budak belian dengan harga murah. Rabi’ah dilakukan dengan tidak manusiawi, siang malam tenaganya diperas tanpa henti.
ADVERTISEMENT
Penderitaan yang dialaminya tidak lantas menjauhkan dirinya dari Tuhanya, justru sebaliknya dirinya semakin semangat untuk beribadah. Hingga pada suatu malam Majikan Rabi’ah terbangun dan melihat Rabi’ah sedang melakukan ibadah. Majikanya mendengar munajat Rabi’ah kepada Tuhannya;
“Ya-Allah, Engkau tahu bahwa keinginan hatiku adalah tunduk dan menuruti perintah-Mu dan bahwa cahaya mataku mengabdi kepada pengadilan-Mu. Jika masalah ada ditanganku, aku tidak akan berhenti sesaat pun untuk mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menempatkanku di tangan makhluk ini. Karena hal ini, aku terlambat untuk mengabdi kepada-Mu.
Mendengar munajat itu, majikan Rabi’ah berbisik “wanita seperti ini tidak layak diperhambakan”. Keesokan harinya majikan Rabi’ah memanggilnya dan berkata: “aku membebaskanmu, jika engkau ingin tetap tinggal bersama kami, kami semua akan melayanimu. Jika engkau tak ingin seperti demikian, engkau boleh pergi kemana sesuka hatimu. Kemudian Rabi’ah meminta izin untuk meninggalkan tuanya. Selepas itu dirinya memutuskan memasuki kehidupan sebagai seorang sufi.
ADVERTISEMENT
Mistik Dalam Islam
Mistik dalam Islam bisa didefinisikan sebagai cinta kepada-Nya yang mutlak. Sebab yang memisahkan mistik sejati dan sekedar tapa-brata (asceticism) adalah cinta. Cinta kepada Ilahi mampu membuat si pencari mampu menyandang, bahkan menikmati, segala penyakit dan penderitaan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya, untuk mengujinya dan memurnikan jiwanya. Cinta menghantarkan pelaku mistik menuju Ilahi.
Mistik Islam merupakan usaha untuk mencapai pembebasan pribadi memlalui tauhid sejati. Intisari dari ajaran tasawwuf dari sejarah panjangnya adalah pengumpulan dari awal lagi dengan perumusan yang berbeda beda tentang kebenaran Mutlaq bahwa tak ada Tuhan melainkan Allah SWT, serta kesadaran bahwa Dia yang boleh dipuja.
Selain hal tersebut, mistik islam menekankan pentingnya penyucian jiwa (tazkiyah) sebagai langkah hubungan menuju kedekatan kepada Allah SWT. Penyucian ini melibatkan pengendalian hawa nafsu, memperbanyak dzikir, dan menghindari pengaruh duniawi. Dalam proses ini, kesadaran hamba terhadap kehadiran Allah senantiasa diperkuat hingga akhirnya tercapai keadaan fana’, yakni ketika diri seseorang larut dalam cinta dan kehendak Ilahi secara total.
ADVERTISEMENT
Pendekatan ini juga mencakup dimensi cinta yang tulus tanpa pamrih, seperti yang diajarkan oleh para sufi besar, termasuk Rabi'ah Al-Adawiyah. Dalam perspektif ini, cinta kepada Allah SWT dianggap tertinggi, bahkan melebihi rasa takut atau harapan terhadap balasan surga. Dengan landasan cinta ini, mistik Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak dalam keridhaan Allah semata.
Cinta dalam Spiritualitas Rabi’ah Al-Adawiyah
Dalam ajaran Rabi’ah Al-Adawiyah, cinta memiliki peran yang sentral dalam membangun hubungan dengan Allah SWT. Rabi’ah memandang cinta kepada sang pencipta sebagai tujuan yang tertinggi, melampau rasa takut akan neraka dan harapan akan surga. Cinta sejati menurut Rabi’ah adalah murni tanpa ada embel-embel apapun kecuali keridhoan Allah SWT semata.
Cinta dalam Spiritualitas Rabi’ah mengajarkan transformasi batiniyah melalui pengabdian penuh kepada Allah SWT. Dengan cinta sebagai inti hubungan dengan Allah SWT seorang hamba diarahkan untuk mencapai kepasrahan total, larut dalam kehendak-Nya. Bagi Rabi'ah, cinta ini adalah jalan menuju kedekatan hakiki dengan Allah, yang melahirkan kebahagiaan spiritual tiada banding.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, cinta menurut Rabi'ah mengajarkan, menuntun seseorang untuk memuliakan Allah SWT bukan hanya dalam ritual ibadah tetapi juga dalam setiap sendi kehidupan. Dirinya mengajarkan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, harus didasari cinta kepada Allah SWT. Dengan cara ini, cinta menjadi medium untuk mencapai harmoni antara dunia material dan spiritual sekaligus memperlihatkan keindahan hubungan antara manusia dan Sang Pencipta.
Ada sebuah puisi estetik yang ditulis oleh Farid al-Din ‘Aththar untuk Rabi’ah Al-Adawiyah:
Bukan, ia bukan seorang wanita,
Melainkan lebih dari serratus orang pria:
Berjubah inti penderitaan
Dari kaki hingga wajah, tenggelam dalam kebenaran
Lenyap dalam pancaran Tuhan
Dan terbebas dari segenap keberlimpahan.