Konten dari Pengguna

Alasan Kasus Kekerasan Seksual di Republik Afrika Tengah

Muliya Hutami
Mahasiswa Hubungan Internasional, Univeristas Mulawarman
21 November 2022 11:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muliya Hutami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: UN/Evan Schneider
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: UN/Evan Schneider
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Serangkaian kudeta dan kekerasan politik sering terjadi di Republik Afrika Tengah (RAT) sejak memperoleh kemerdekaan. Sama dengan negara-negara lain di sekitar, RAT berada dalam garis kemiskinan dan mengalami ketidakstabilan politik sehingga memunculkan berbagai masalah yang mengarah pada kekerasan. Berbagai Konflik yang terjadi di RAT salah satunya, bermula dari memburuknya situasi pada tahun 2013 karena destabilisasi mantan rezim Presiden Francois Bozize sejak Desember 2012 hingga digulingkan oleh kelompok pemberontak Seleka pada Maret 2013. Penaklukan kekuasaan ini diiringi dengan berbagai kekerasan seperti kekerasan seksual yang diterima oleh para perempuan dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual yang diterima berupa pemerkosaan bersifat kelompok, penculikan yang bertujuan untuk perbudakan seksual, dan female genital mutilation dengan menggunakan senjata. Menurut data dari UN Women, tercatat terdapat 22 persen perempuan menyebutkan bahwa mereka mengalami kerugian fisik dan pelecehan seksual, paksaan untuk menikah terhadap perempuan di usia 15 hingga 18 tahun di angka 29 persen hingga 68 persen, minimnya hukum untuk memberikan perlindungan terhadap para korban kekerasan perempuan di RAT, dan masih banyak yang lainnya.
Gender sering digunakan untuk menentukan bagaimana hak kewarganegaraan di distribusikan di rumah, di masyarakat, kelompok, nasional, dan kelembagaan yang membuat perempuan memiliki banyak tanggung jawab tetapi sedikit sumber daya dan perwakilan. Undang-Undang kewarganegaraan di Afrika secara umum dan eksplisit mendiskriminasi berdasarkan etnis, ras, jenis kelamin dan agama yang kemudian dibebankan kepada para kaum perempuan. Bahkan terjadinya kesenjangan besar yang ada antara pria dan perempuan berkontribusi pada budaya penerimaan semua bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan terhadap pasangan, kekerasan seksual, dan pernikahan anak.
ADVERTISEMENT
Di RAT, pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang baik demi memenuhi kesejahteraan masyarakatnya terutama pada hak-hak perlindungan terhadap perempuan karena pemerintah lebih memfokuskan pada kasus yang muncul dari berbagai pemberontakan di berbagai daerah RAT. Padahal para perempuan merupakan korban kekerasan yang paling rentan dan sering terjadi dalam suatu konflik. Hal ini disebabkan oleh kewajiban para perempuan untuk melindungi keluarganya yang ditinggalkan oleh kepala keluarga (para laki-laki) untuk berperang. Sehingga penting bagi para perempuan untuk pasang badan dalam melindungi keluarga mereka.
Dan juga, kelemahan perempuan dijadikan alat oleh kelompok musuh untuk melakukan pembalasan terhadap rivalnya dengan melakukan penculikan yang kemudian akan diperkosa hingga dibunuh. Pemerkosaan dan kekerasan yang para perempuan terima tidak dapat diproses sebab sang korban memilih diam karena merasa takut untuk melapor dikarenakan stigma buruk terhadap para perempuan korban pemerkosaan dalam pandangan keluarga laki-laki. Bahkan di RAT, Undang-Undang kewarganegaraan tercantum dalam Nationality Code 1961 yang di amandemen pada tahun 1984. Tidak memberikan perempuan kemampuan untuk memberikan kewarganegaraan mereka terhadap anak yang mereka lahirkan beserta akta kelahiran.
ADVERTISEMENT
Hal ini mendukung terjadinya banyak kasus yang mengarah pada aborsi anak yang dilakukan oleh para perempuan di RAT akibat pemerkosaan atau kehamilan yang tidak diinginkan. Tercatat Dari sisi perlindungan kesehatan perempuan, RAT menduduki urutan kedua di dunia untuk kematian ibu dan bayi. Ditemukan satu dari 25 wanita meninggal karena komplikasi terkait dengan kehamilan dan atau melahirkan. Demikian itu disebabkan oleh, keterbatasan dokter dan perawat. Bahkan fasilitas kesehatan untuk sebuah rumah sakit saja sangat buruk. Ditambah stigma buruk terhadap para perempuan menimbulkan depresi hingga kematian.
Dapat diketahui kurangnya perlindungan terhadap para perempuan dilatarbelakangi juga dari culture yang sejak lama tumbuh di masyarakat. Perempuan dipandang hanya sebatas fungsi reproduksi dengan penekanan pada tatanan sosial patriarki yang semakin memperkuat dehumanisasi para perempuan. Kesenjangan gender telah memarginalkan posisi perempuan di tengah masyarakat di RAT. Sehingga alasan inilah yang menimbulkan berbagai permasalahan yang mengarah pada kekerasan seksual dengan berbagai macam tindakan di RAT. Semua itu disebabkan oleh kurangnya peran pemerintah dan minimnya kebijakan yang mengarah pada perlindungan perempuan.
ADVERTISEMENT
referensi:
Elemen Konflik Dan Implikasinya Terhadap Perempuan [daring]. Tersedia di: BAB_III.pdf (undip.ac.id) dan BAB_II.pdf (undip.ac.id)
Gaviota, Andrea. (2021). “ABC Feminisme: Akar dan Riwayat Feminisme Untuk Tatanan Hidup Yang Adil”. Bright Publisher. Yogyakarta.
Rozi Rastafani, Sugiyanto Eddie Kusuma. (2015). “Pemberontakan Seleka Di Republik Afrika Tengah”. Hal: 1-12 [daring]. Tersedia di: PEMBERONTAKAN SELEKA DI REPUBLIK AFRIKA TENGAH (unej.ac.id)