Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tak Perlu Ada Senja, Jika Kehadirannya Sudah Cukup
31 Mei 2022 13:05 WIB
Tulisan dari Nabiila Putri caesari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kala itu masa remaja memang sulit untuk dilupakan. Masa-masa senang yang dimana belum mengenal tahu dunia luar. Perasaan yang masih tercampur aduk, gelisah, marah, senang, sedih. Pikiran main dan jalan-jalan yang hanya menghantuiku.
ADVERTISEMENT
Jauh-jauh hari memang teman lelaki kelasku mengajak untuk naik gunung. Gunung Kencana dengan ketinggian 1.803 mdpl. Penasaran yang menghantui, karena sebelumnya aku tidak pernah muncak. Tapi, ini gunung. Bukan tempat wisata yang dikunjungi dalam waktu singkat. Aku perempuan dan pasti ibu melarangku untuk pergi.
Belum mencoba izin saja aku sudah membayangkan ekspresi yang ada di wajah ibuku. Sebelumnya memang aku sudah mencoba mengajak teman perempuanku untuk ikut menemani. Sayangnya pada tidak bisa, sebab sulitnya izin dari orang tua.
Tapi, beruntungnya diriku. Lelaki berwarna rambut hitam pekat, kumis tipis di bibirnya, warna kulit yang hitam kecoklat-coklatan dan kacamata yang selalu berada di wajahnya. Ya, dia ketua kelasku sekaligus orang yang kusuka, yang memang menggemari gunung sejak lama.
ADVERTISEMENT
Kerap kali disapa Fasya. Umurnya yang lebih tua setahun denganku, dan cara berpikirnya yang lebih dewasa. Ini alasan mengapa aku menyukainya. Fasya memang lebih berpengalaman dengan memuncak. Maka dari itu, aku memintanya untuk izin kepada ibuku.
Sorenya, ia izin dengan ibu. Teras rumah mereka berbicara berduaan, aku tidak ikut karena takut ibu mengomel. Sekitar lima belas menit berlalu, mereka berdua menyudahi percakapan. Yang aku bingungkan, ibu tidak mengeluarkan ekspresi marah atau tidak senang. Wajahnya terlihat biasa-biasa saja, begitu pun dengan Fasya.
Rasa gelisah dan penasaran yang menghantui, apakah aku diizinkan atau tidak?
“Boleh sama ibu…” ucap Fasya dengan nada beratnya.
Ternyata keputusan bulat yang sudah dibicarakan mereka berdua membuatku terkejut. Aku diizinkan untuk pergi, senyuman lebar keluar dari mulut dan perasaan yang senang habis seperti kedapatan harta karun saja. Sampai saat ini aku bertanya-tanya, apa yang membuat ibu kepelet dengan izinnya.
ADVERTISEMENT
Tindakan atas mendengar itu aku ingin memeluknya karena rasa gembira sudah membantuku izin dengan ibu, tapi hati berkata tidak, hubungan kita hanya teman.
Wajar saja kalau ibu tidak mengizinkan. Anak kelas yang ikut hanya lima lelaki, yaitu Faiz, Aldo, Pilar, Haikal dan Fasya sebagai teman dekatku. Lalu, hanya aku sendiri perempuan.
Malamnya, aku menyiapkan peralatan untuk dibawa dan yang pasti pamit dengan ibu. Meminta doa untuk kelancaran kepergianku besok hari. Jujur, aku sulit sekali tidur karena terlalu bersemangat.
Keesokan paginya, alarm berbunyi, burung kenari berkicau merdu, dan suara merdu ibu membangunkanku. Bergegas untuk mandi, air keran di pagi hari yang dingin membekukan tubuh dan menggetarkan bibirku.
Sarapan pagi dengan makanan sejuta umat, apalagi kalau bukan telor ceplok dan nasi. Kedatangan seseorang dari teras rumah membuyarkan lamunanku saat menyuap nasi sendok terakhir.
ADVERTISEMENT
Fasya datang menjemput, dengan bawaan barang yang secukupnya tidak seribet diriku yang terlalu banyak barang. Ciri khas dari fasya yang menggunakan kuda besi miliknya.
Keberangkatan pukul 05.00 WIB, dengan teman yang lain. Perjalanan yang ditempuh dalam waktu kurang lebih tiga jam. Istirahat beberapa kali dan akhirnya sampai juga di bawah kaki gunung.
Saat mendekati tujuan, masalah datang. Motor Fasya tromolnya hancur dan macet di gear. Belum mulai muncak, ada saja hambatan yang datang.
Mau tak mau motor di titipkan di bawah, saat muncak diganggu pikiran dengan motor.
Cemas akan pulang ke rumah kalau motor rusak, apalagi sudah jauh begini bengkel jarang sekali ada.
Perjalanan memuncak dimulai, berbatu terjal, lalu tanah merah, dan trek terjal yang menjulang tinggi. Baru mulai saja aku sudah kedapatan tangga kayu yang biasanya disebut ‘Tanjakan Sambalado’ kalau orang sini bilang jumlah anak tangga tersebut sekitar 1.700.
ADVERTISEMENT
Baru sepuluh menit naik saja aku sudah lelah minta ampun dengan nafas yang terengah-engah. Sesekali aku meminta untuk beristirahat dan sepanjang jalan bibirku menggigit madu rasa untuk menambahkan stamina di tubuh. Berbeda dengan temanku ia memilih untuk menjadi tim cokelat dibandingkan madu rasa.
Tetap memegang penuh untuk mencapai puncak, aku terus berusaha berjalan. Walaupun sempat patah semangat dan ingin kembali pulang, Fasya selalu memaksa aku. Bahwa aku itu sanggup sampai ke puncak. Jika dihitung aku sudah tiga kali berkata seperti itu.
Tiba-tiba dengan cepat ia berhenti dan langsung mengambil tas carrierku. Langsung saja menumpuk di atas tasnya. Rasanya berdebar di hati, sudahku peringatkan tidak perlu melakukan hal seperti itu. Kalau sampai bawa perasaan terperosok sampai dalam sulit untuk melupakannya.
ADVERTISEMENT
Sendu rasanya melihatnya berjalan memikul barang-barangku, tapi itu kehendaknya. Berjalan di sampingnya sambil bercerita tentang bumi dan isinya. Dikelilingi pohon-pohon besar, siang hari rasanya seperti malam hari, sejuk rasanya ciptaan tuhan.
Sampainya negeri di atas langit, beristirahat sejenak dan langsung bergegas untuk mengeluarkan barang dan tenda. Menjelang sore, kami kaum wanita menyiapkan menu makan untuk malam hari, begitu pun para lelaki menyiapkan kayu-kayu dan alat masak lainnya.
Sosis, nugget, kangkung, dan indomie satu persatu dimasak secara bergilir. Setelah siap semuanya, aku makan dengan fokus tanpa memikirkan kondisi di sekitarnya. Seusai dari itu semua, angin malam mulai datang kencang, tanah mulai lembab, dan langit gelap gulita.
Memakai baju dobel dan jaket tetap saja angin tidak menusuk ke tubuh. Kebetulan sekali tendaku dan Fasya berhadapan, jadi ia sering melihat keadaanku begitu pun sebaliknya. Memang aku dekat dengannya daripada teman laki lainnya, jadi aku hanya mengandalkannya sifat baiknya.
ADVERTISEMENT
Menjelang malam, senja yang ditunggu-tunggu semua orang termasuk diriku sirna sudah. Rintik hujan membasahi tenda, air hujan mengenai wajahku, dan warna langit ke abu-abuan. Hanya bisa termenung seperti kehilangan akal, karena waktu kita muncak hanya satu malam. Ingin menuntut tetapi dengan siapa?
Ketika langit sudah gelap gulita, redanya air hujan, mulai terlihat bintang-bintang langit, teringat dengan petuah fasya, bahwa jerih hasil payah di bawah akan terbayarkan di atas dan betah sehingga tidak ingin turun.
“Kalau udah diatas pasti nanti gamau turun,” ucapnya.
Udara malam mulai seperti tidak ada obatnya, aku langsung menuju ke tenda selepas melihat bintang. Memejamkan mata, badan rasanya seperti terbelah delapan dan diikuti suara latar hewan dan dengkuran temanku.
ADVERTISEMENT
Paginya, terdengar alarm dering ponsel yang membangunkanku dalam mimpi. Memulai kembali aktivitas seperti manusia pada umumnya. Bagiku satu hari di bulan Oktober 2019 itu cukup untuk kenang seumur hidup. Momen yang tidak datang dua kali dari kehadiran seseorang. Lelahnya diriku membuahkan hasil.
(Nabiila Putri Caesari/Politeknik Negeri Jakarta)