Konten dari Pengguna

Apakah Program Gaji 10 Juta Membuat Milenial Termotivasi Menjadi Petani?

Nabila Dwi Ariati
Mahasiswi Semester 5 Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16 Desember 2024 15:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nabila Dwi Ariati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Petani Milenial. Foto: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Petani Milenial. Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Wacana mengenai program gaji Rp10 juta bagi petani milenial yang diusung oleh Kementerian Pertanian (Kementan) telah menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Namun, penting untuk memahami bahwa nominal tersebut bukanlah gaji dalam arti konvensional, melainkan penghasilan yang diharapkan dari usaha pertanian yang dikelola secara modern.
ADVERTISEMENT
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menjelaskan bahwa program ini bertujuan untuk memberikan fasilitas kepada generasi milenial agar dapat berwirausaha di sektor pertanian dengan memanfaatkan teknologi tinggi. Dengan membentuk klaster yang dilengkapi peralatan canggih seperti drone dan pemanen gabungan, Kementan berupaya menarik perhatian 52 persen milenial dan Gen-Z untuk terlibat dalam dunia pertanian.
Melalui pembentukan kelompok yang terdiri dari 15 orang untuk mengelola lahan seluas 200 hektar, diharapkan para petani milenial dapat memperoleh penghasilan yang signifikan, bahkan mencapai Rp30 juta per bulan bagi yang paling rajin. Namun tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menarik minat generasi muda untuk beralih dari pertanian tradisional yang kurang menguntungkan ke pertanian modern yang lebih menjanjikan.
Menariknya, program ini sejalan dengan tren global yang menunjukkan bahwa banyak generasi milenial di berbagai negara mulai beralih ke pertanian berkelanjutan dan pertanian organik.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, beberapa inisiatif serupa telah muncul, seperti program “Petani Milenial” yang diluncurkan oleh berbagai lembaga swasta dan pemerintah daerah, yang bertujuan untuk memberdayakan generasi muda dalam mengelola lahan pertanian dengan pendekatan yang lebih inovatif. Misalnya, di Bali, terdapat komunitas petani milenial yang menggunakan teknologi digital untuk memasarkan produk pertanian mereka secara online, sehingga meningkatkan pendapatan dan akses pasar.
Selain itu, berita tentang keberhasilan petani milenial di daerah lain, seperti di Jawa Barat yang berhasil meningkatkan hasil panen melalui teknik pertanian modern, juga memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk terlibat dalam sektor ini. Mereka tidak hanya mendapatkan penghasilan yang lebih baik, namun juga berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan keberlangsungan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya alat pertanian senilai Rp3 miliar yang dihibahkan kepada kelompok-kelompok ini, diharapkan mereka dapat melihat potensi besar dalam sektor pertanian. Pendaftaran untuk program ini pun telah dibuka, memberikan kesempatan bagi 20 ribu orang yang telah mendaftar, meskipun baru 3 ribu yang telah mulai beraksi.
Pertanyaannya, apakah insentif ini cukup untuk memotivasi milenial agar berani terjun ke dunia pertanian? Dengan pendekatan yang tepat dan dukungan teknologi, mungkin saja program ini dapat mengubah pandangan generasi muda terhadap pertanian dan menjadikannya pilihan karir yang menarik.
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan dukungan yang lebih luas dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Pendidikan tentang pertanian modern, akses ke pasar, serta pelatihan yang berkelanjutan akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa program ini tidak hanya sekedar wacana, tetapi benar-benar dapat memberdayakan milenial dan menjadikan pertanian sebagai sektor yang menjanjikan di masa depan.
ADVERTISEMENT