Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kampung Apung di Tengah Hiruk Pikuk Kota Metropolitan
23 Desember 2022 11:58 WIB
Tulisan dari Nabilatul Dzakiyyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banjir yang terjadi di Jakarta pada tahun 1996 berakibat pada tenggelamnya suatu tempat, salah satunya yakni Kampung Apung. Nama Kampung Apung nampaknya sudah tidak asing untuk sebagian orang.
ADVERTISEMENT
Ketua Rukun Tetangga (RT) setempat, Rudi Suwandi (52) menceritakan asal mula adanya nama Kampung Apung disebabkan oleh banyaknya rumah yang dibangun di atas permukaan air. Selain itu ia juga menuturkan penyebab lain dinamakan Kampung Apung merupakan pemberian dari masyarakat yang semulanya adalah Kapuk Teko.
“Dahulu saat banjir permanen tahun 1996 mulai banyak rumah-rumah warga yang dibangun secara permanen. Asal mula kalau ditanya penamaan kampung ini karena adanya rumah di atas air, jadi orang menganggap bahwa rumah di atas air itu terapung. Penamaannya muncul ketika ada bantuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada 2009 dan banyak orang yang datang bilang dari Kampung Apung padahal nama aslinya Kapuk teko,” tutur Rudi saat diwawancarai di Kampung Apung, Senin (19/12/22).
ADVERTISEMENT
Lokasi kampung ini terletak di RT 010/RW 001, Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Kampung ini tidak jauh berada di Jalan Kapuk Raya, dapat ditemukan ketika masuk ke dalam gang sempit yang berada di sekitarnya. Seperti pada umumnya, gang yang terdapat di Kampung Apung hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki serta kendaraan roda dua saja.
Penampakan kampung ini dapat terlihat jelas ketika berada di ujung jembatan panjang tanpa pembatas yang menghubungkan gang dan rumah-rumah apung di atas permukaan air yang terlihat seperti sebuah danau hijau. Namun siapa sangka, di bawah permukaan air ini terdapat pemakaman warga yang menjadi salah satu penyebab terendamnya Kampung Apung.
“Jadi di sekitaran sini sudah dibangun komplek industri dan komplek perumahan, yang mana kampung kita ini sebagian wilayahnya ada Tempat Pemakaman Umum (TPU) jadi mungkin kita ketinggalan ketika yang lain diuruk tapi kampung kita tidak. Proses air naik mulai dari 20 cm, 30 cm, lanjut naik setiap tahunnya hingga mencapai 10 cm,” jelas Rudi.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Rudi mengatakan bahwa ketinggian air yang merendam Kampung Apung ini dapat mencapai tiga meter. Selain itu ia juga mengatakan jika terdapat ratusan kepala keluarga yang mendiami Kampung Apung.
“Sampai sekarang ini air itu kalau dari dasar tanah yang dulu kira-kira 2,5 meter sampai dengan tiga meter. Luas antara pemukiman dan TPU ini tiga hektar lebih, ada sekitar 210 kepala keluarga yang tinggal di sini” lanjut Rudi.
Meskipun pemukiman tempat tinggal sudah terendam air, tetapi warga Kampung Apung tetap bertahan dikarenakan ini merupakan tanah kelahiran. Beberapa faktor lain karena tempat mencari nafkah merupakan pertimbangan warga Kampung Apung tetap bertahan.
“Banyak faktornya, pertama kita punya sebidang tanah itu bisa di tempatin dua sampai tiga kepala keluarga. Jadi kalau kita jual dengan harga murah dengan daerah yang terendam seperi ini bisa beli tanah tidak bisa beli rumah. Faktor lainnya juga karena kita sudah merasa nyaman di sini, cari nafkah di sini, tanah lahir di sini, karena sebagian warga pribumi asli Kapuk,” tambah Rudi.
ADVERTISEMENT
Senada dengan itu, warga setempat yang telah menetap sejak tahun 2007, Tiar (38) menuturkan bahwa alasannya tetap tinggal di Kampung Apung disebabkan karena tempatnya ini merupakan tanah milik. Faktor inilah yang menyebabkannya tetap bertahan hingga kini.
“Gimana lagi, mau tinggal dimana memang sudah disini. Walaupun banjir, tetap ini tanah milik,” pungkas Tiar saat diwawancarai di kawasan Kampung Apung, Senin (19/12/22).
Walaupun kampung ini sudah terendam air, namun apabila terjadi hujan deras maka banjir tidak dapat dihindari. Bahkan, banjir yang merendam kampung ini tercatat hingga mencapai ketinggian satu meter. “Banjir tetap naik bisa sampai satu meter, kalau di total dari permukaan kira-kira 3,5 meter,” terang Tiar.
Hal yang sama dituturkan oleh Rudi, meskipun banjir warga tetap tinggal di rumah masing-masing. “Masih banjir satu sampai 1,5 meter, tapi kita bertahan di sini karena setiap rumah memiliki lantai dua lagi,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Tiar mengungkapkan harapannya bagi pemerintah terkait kondisi Kampung Apung saat ini. “Harapan saya agar pemerintah memberi yang layak kepada warga di sini. Seperti halnya memberikan pagar untuk lingkungan dan menugaskan petugas kebersihan untuk membantu keindahan Kampung Apung,” tegas Tiar.
Dengan kondisi Kampung Apung yang minim keamanan, seperti tidak adanya pagar pembatas. Hal menyedihkan pernah terjadi di sini yang berakibat pada tewasnya dua balita.
“Tahun 2011, anak balita dua orang tercebur dalam air. Lalu dicari oleh kedua orang tuanya tidak ketemu, setelah dua jam kemudian anak yang tercebur tadi muncul di permukaan. Namun sudah terapung dan menjadi mayat,” terang Rudi.
Nabilatul Dzakiyyah, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Prodi Jurnalistik Semester 3.
ADVERTISEMENT