Konten dari Pengguna

Rahasia Daya Tahan Kuliner Tradisional di Era Modern

Nadhif Syauqi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
25 Januari 2025 18:52 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadhif Syauqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kelestarian Pembuatan kue Apem yang masih menggunakan Tungku arang (Sumber Dokumentasi Probadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kelestarian Pembuatan kue Apem yang masih menggunakan Tungku arang (Sumber Dokumentasi Probadi)
ADVERTISEMENT
Di tengah derasnya arus globalisasi yang membawa ragam makanan modern ke meja masyarakat, kuliner tradisional tetap berdiri teguh dengan daya tariknya yang unik. Dari rasa yang autentik hingga nilai budaya yang melekat, makanan tradisional seperti serabi dan kue apem menjadi bukti ketahanan kuliner warisan nenek moyang di era modern. Namun, bagaimana sebenarnya rahasia di balik penjaga rasa otentik ini? Ibu Lasmi dan Bapak Marwan berbagi cerita tentang perjuangan mereka melestarikan kuliner tradisional.
ADVERTISEMENT
Ibu Lasmi, seorang penjual kue apem berusia 42 tahun, dan Pak Marwan, pembuat kue bakpia berusia 48 tahun, adalah dua sosok utama yang menjaga eksistensi kuliner tradisional di Pasar Ngasem, Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarga yang turun-temurun berjualan makanan tradisional, mereka meneruskan keahlian yang diwariskan oleh orang tua mereka.
“Saya belajar dari ibu saya sejak kecil. Saat itu, saya sering membantu mencampur adonan,” ungkap Ibu Lasmi. Sementara itu, Bapak Marwan juga menceritakan bahwa dirinya mulai mengolah kue bakpia sejak remaja. “Dulu saya hanya membantu menyalakan arang. Sekarang saya yang meneruskan usahanya,” ujarnya.
Kue apem dan bakpia bukan hanya sekadar makanan, tetapi memiliki nilai sejarah dan budaya yang mendalam. Kue apem yang dijual Ibu Lasmi dibuat dari tepung beras dan santan segar, kemudian dipanggang di atas cetakan arang hingga menghasilkan aroma khas. Sementara itu, bakpia yang dijual Pak Marwan dibuat dengan kulit yang tipis dan isian kacang hijau lembut, menggunakan metode panggang yang telah disempurnakan selama bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
“Setiap gigitan bakpia saya harus memberikan rasa yang sama seperti dulu agar pelanggan tetap setia,” ungkap Pak Marwan.
Pasar Ngasem, di daerah istimewa Yogyakarta, menjadi lokasi utama di mana kedua pelaku usaha ini menjalankan bisnisnya. Suasana pasar yang ramai dengan aktivitas jual-beli menciptakan interaksi sosial yang erat antara penjual dan pembeli.
“Di sini saya bukan hanya menjual kue apem, tetapi juga berbagi cerita dan mendengar pengalaman pelanggan,” ujar Ibu Lasmi. Bapak Marwan menambahkan bahwa banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang mampir ke pasar ini untuk mencari kuliner cita rasa otentik khas Yogyakarta.
Ibu Lasmi telah berjualan kue apem selama lebih dari 30 tahun. Usaha ini dimulai dari membantu ibunya membuat apem untuk acara adat di desa mereka. Sementara itu, Pak Marwan mulai mengolah bakpia sejak 20 tahun lalu setelah mengambil alih usaha orang tuanya.
ADVERTISEMENT
“Dulu saya hanya membantu memanggang bakpia. Sekarang saya yang menjaga kualitas dan rasa,” kata Bapak Marwan.
Menurut Ibu Lasmi, kue apem bukan hanya makanan, tetapi juga simbol tradisi dan doa. Apem sering digunakan dalam acara selamatan dan syukuran, sehingga memiliki nilai spiritual yang mendalam.
“Pelanggan saya bilang, apem ini mengingatkan mereka pada acara keluarga di desa dulu,” katanya.
Sementara itu, Bapak Marwan menyebutkan bahwa bakpia memiliki daya tarik universal.
“Bakpia bukan hanya makanan, tetapi juga oleh-oleh khas yang membawa kenangan manis dari Yogyakarta,” jelasnya.
Keduanya memahami pentingnya beradaptasi dengan zaman tanpa mengorbankan nilai tradisional. Ibu Lasmi mulai menawarkan varian rasa baru seperti apem pandan dan gula merah untuk menarik minat pembeli muda.
ADVERTISEMENT
“Saya tetap akan terus menjaga rasa asli, tetapi memberikan pilihan rasa agar lebih menarik,” katanya.
Di sisi lain, Bapak Marwan memanfaatkan teknologi seperti promosi daring untuk memperluas jangkauan pasarnya.
“Kami mulai menjual bakpia secara online. Banyak pelanggan dari luar kota yang tertarik untuk membeli,” ujarnya.
Kue apem dan bakpia memiliki keunikan dalam proses pembuatannya. Ibu Lasmi masih menggunakan cetakan tanah liat dan arang untuk memasak apem. Proses ini, meskipun memakan waktu, memberikan rasa khas yang tidak bisa ditiru dengan peralatan modern.
“Rasanya beda kalau pakai cetakan biasa,” ungkapnya.
Sementara itu, Pak Marwan menggunakan teknik pemanggangan bakpia secara manual, yang menjaga tekstur kulit tetap renyah dan isian tetap lembut.
(Sumber Dokumentasi Pribadi)
(Sumber Dokumentasi Pribadi)
Selain itu, konflik hadir dalam bentuk tantangan yang mereka hadapi, seperti kenaikan harga bahan baku dan persaingan dengan makanan modern.
ADVERTISEMENT
“Terkadang memang harga santan naik, tetapi saya tidak bisa menaikkan harga apem karena takut kehilangan pelanggan,” keluh Ibu Lasmi. Tantangan ini menunjukkan bagaimana mereka harus berjuang untuk tetap relevan di tengah perubahan zaman. Kisah Ibu Lasmi dan Bapak Marwan adalah bukti bahwa kuliner tradisional masih memiliki tempat di era modern, dengan perpaduan rasa autentik, nilai budaya, dan inovasi.
Makanan seperti serabi dan kue apem bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga simbol identitas dan kebanggaan lokal. Seperti yang telah diungkapkan Bapak Marwan,
“Kami ingin generasi mendatang tahu bahwa kita punya makanan yang penuh cerita dan makna. Ini bukan hanya soal rasa, tapi juga soal menjaga siapa kita.”
Dengan gambaran kisah dari dua tokoh inspiratif ini, kue apem dan bakpia tidak hanya menjadi camilan yang memuaskan lidah, tetapi juga membawa kita pada perjalanan sejarah dan tradisi yang kaya. Melalui tangan-tangan mereka, tradisi ini tetap hidup, membawa cerita dari masa lalu untuk dinikmati generasi sekarang hingga masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT