Opini : Sudut Pandang Patriarki dari Film Pachinko

Nadhifah Dyah Kumala
Mahasiswi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2022 21:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadhifah Dyah Kumala tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: (Arsip Apple TV via Twitter @AppleTVPlus)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: (Arsip Apple TV via Twitter @AppleTVPlus)
ADVERTISEMENT
Pachinko merupakan film serial televisi yang diproduksi oleh Apple TV+ yang sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial. Kisah yang diangkat dari karangan novel Min Jin Lee ini menyuguhkan kisah perjalanan hidup 4 generasi keluarga imigran dari Korea Selatan yang pindah ke Jepang, di mana pada saat itu latar belakang cerita terjadi pada masa pendudukan Jepang di Korea.
ADVERTISEMENT
Kisah dimulai pada tahun 1883 yang menceritakan masa kecil tokoh utama wanita, Sunja. Film ini dikemas dengan alur maju-mundur melalui sudut pandang generasi yang berbeda. Pachinko yang saat ini sudah tamat dengan jumlah 8 episode dalam fondasinya melibatkan unsur penting seperti, politik, ekonomi, sejarah, sosial, hingga pada unsur patriarki di masyarakat.
Patriarki dapat dipahami sebagai struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal di masyarakat, sedangkan perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat atau inferior.
Keterbatasan peran perempuan dalam budaya patriarki menyebabkan ketidaksetaraan terhadap perilaku yang didapatkan oleh perempuan. Pola kekuasaan ini berpengaruh terhadap kebijakan secara universal dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai gambaran, di Indonesia sendiri patriarki menjadi isu yang hingga saat ini masih diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
Sejak zaman penjajahan, perempuan hanya dijadikan sebagai alat pemuas nafsu, peran perempuan hanya sebatas pada urusan dapur dan mendidik anak, ada juga perempuan yang belum menginjak usia dewasa dijadikan sebagai alat pertukaran untuk menjadi bagian dari take dan give kekuasaan dan jabatan.
Bahkan sebagian suku, memiliki budaya yang menempatkan perempuan untuk dicuri, diberikan, dan dibagi bersama seolah mereka hanyalah objek yang perlu ‘dimiliki’.
Jika kita membicarakan patriarki maka segala bentuk diskusi akan selalu berakhir dengan kesimpulan bahwa patriarki adalah diskriminasi terhadap perempuan. Pengabaian pada eksistensi perempuan untuk berperan dalam masyarakat bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba tanpa ada faktor penyebab.
Dalam patriarki, perempuan selalu ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan, lemah, tak berdaya, emosional, tidak kompeten, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Pikiran-pikiran ini ada disebabkan oleh budaya patriarki, di mana kondisi ekonomi dan lingkungan menjadi faktor pendorong utama atas situasi tersebut. Seperti, kemiskinan yang selalu mengorbankan keberadaan perempuan dan anak-anak hingga jatuh ke dalam jurang.
Dalam series film Pachinko, kisah perjalanan karakter Sunja sedikit banyak menjelaskan mengenai bukti kehadiran patriarki yang sesungguhnya di masyarakat. Karakter Sunja muda yang jatuh cinta dengan seorang makelar bernama Hansu menjadi awal dari segala penderitaan yang dimiliki oleh seorang perempuan.
Sunja yang dikisahkan mengandung anak Hansu harus menahan malu karena pengakuan Hansu yang sudah memiliki istri di Jepang dan ingin menjadikan Sunja sebagai wanita simpanan di Korea.
Menjadi seorang simpanan merupakan status yang sangat rendah, karena perempuan dan anaknya tidak berhak menjadi bagian dari keluarga, mereka tidak berhak mendapatkan bagian dari hasil waris dan mereka harus hidup sebagai aib di lingkungan masyarakat. Ya seperti, inilah salah satu posisi perempuan dalam budaya patriarki.
ADVERTISEMENT
Perempuan dianggap benda dan bukan makhluk hidup, perempuan dianggap sebagai alat yang dapat dibuang kapan saja jika sudah tidak lagi berguna, jika sudah tidak lagi menarik maka kamu akan dibuang. Posisi Sunja maupun istri sah Hansu, merupakan gambaran dan potret dari realitas yang menunjukkan di mana posisi perempuan dalam budaya patriarki.
Meskipun tidak semua laki-laki bersikap demikian, hal itu tidak menutupi bahwa keberadaan patriarki tetap ada dan menjadi hal yang menyudutkan perempuan.
Beralih pada perjalan Sunja yang pada akhirnya menikah dengan seorang pendeta bernama Isak Baek, mereka pergi ke Osaka karena pekerjaan Isak dan anggota keluarga lain yang berada di sana.
Disinilah budaya patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, diangkat secara jelas oleh nasihat yang disampaikan ibu Sunja kepada Sunja.
ADVERTISEMENT
Penggalan kalimat di atas merupakan sebagian gambaran kecil yang menjelaskan bagaimana perempuan memahami posisinya dalam budaya patriarki, bagaimana perempuan dibelenggu oleh sistem sosial yang membuatnya harus mengutamakan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Dan lebih lucunya ketika bahkan pendidikan menjadi fasilitas yang sangat istimewa dan langka bagi perempuan dalam budaya patriarki.
Memangnya apa yang salah jika perempuan berpendidikan? Memangnya ada yang salah jika perempuan berkeinginan untuk belajar, menempuh pendidikan sekolah kemudian memilih menjadi ibu rumah tangga (IRT)? Itupun ilmunya juga akan digunakan untuk mengajarkan anak di rumah.
Merupakan kesalahan besar dengan adanya budaya patriarki, sehingga tidak memberikan perempuan kesempatan untuk memiliki ruang mengambil peran dalam masyarakat. Peran yang lebih dari hanya status ibu rumah tangga yang diremehkan, meskipun pendidikan pertama anak itu di rumah.
ADVERTISEMENT