Konten dari Pengguna

Mengintip Alasan Laki-laki Dilarang Mencintai Bunga-bunga pada Karya Kuntowijoyo

Nadia Andi Rahmalia
Halo, saya seorang Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan.
12 Oktober 2024 17:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadia Andi Rahmalia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Cerita Dilarang Mencintai Bunga-Bunga ini bukan hanya sebuah cerita fiksi biasa, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang kehidupan, kebebasan, dan berbagai batasan yang sering kita temui sehari-hari. Pertama kali diterbitkan pada masa Orde Baru, cerpen ini menyajikan kritik sosial yang tajam dengan bahasa yang puitis dan sarat simbolisme.
ADVERTISEMENT
Melalui setiap kalimat dan paragrafnya, Kuntowijoyo mengajak pembaca untuk merenungkan keindahan dan keterbatasan di sekitar kita, menggunakan bunga-bunga sebagai metafora yang kaya makna.
Dalam kehidupan, kita sering melihat segala sesuatu secara hitam-putih. Ayah selalu bersama ibu, kakek selalu bersama nenek, laki-laki selalu bersama perempuan.
Kita melupakan bahwa hidup ini penuh dengan perubahan. Kita lupa bahwa di antara hitam dan putih, terdapat warna abu-abu yang juga penting. Berikut pesan moral dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
Pria dan Maskulinitas
Tema yang diangkat dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga sangat menarik. Buyung yang merupakan seorang laki-laki, "dipaksa" untuk mengikuti stereotip yang melekat pada laki-laki.
“Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau perempuan bolehlah. Tetapi engkau laki-laki.”
ADVERTISEMENT
Itulah salah satu pernyataan yang disampaikan ayah Buyung ketika Buyung pulang membawa setangkai anggrek ungu yang diberikan oleh Kakek, tetangganya sekaligus sahabatnya.
“Untuk apa di kamar, hah, laki-laki mesti di luar kamar!”
Itulah yang diucapkan ayah Buyung ketika mengetahui bahwa Buyung lebih suka berada di dalam kamar daripada bermain di luar rumah dengan teman-temannya.
“Untuk apa tangan ini, hah? Untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engkau mesti kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat, Buyung. Ayo, timba air banyak-banyak. Cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja. Tahu!”
Ayah Buyung mengucapkan kata-kata itu dengan penuh emosi saat mengetahui bahwa Buyung lebih suka merawat bunga-bunga daripada melakukan pekerjaan "keras" lainnya.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan Buyung
Buyung masih terlalu muda untuk memahami kehidupan dalam istilah hitam-putih seperti yang diyakini ayahnya. Terlebih lagi ketika ia harus berhadapan dengan dua sosok pria yang memiliki kepribadian sangat berbeda.
Pergolakan batin Buyung sebagai anak kecil membuatnya dipaksa untuk berpikir, memahami, dan mengerti. Ayah Buyung digambarkan sebagai gambaran stereotip pria yang umumnya kuat dan kasar, sering bekerja di luar rumah, seperti di bengkel, dengan suara keras, dan sebagainya.
Sementara itu, tokoh Buyung yang kontras dengan ayahnya diperkenalkan sebagai sosok yang lemah lembut dan tenang. Kakek, tetangga Buyung yang kemudian menjadi sahabat baiknya, digambarkan sebagai orang yang sopan, berbicara dengan lembut, dan memiliki ketenangan, serta memiliki hobi merawat kebun bunga.
ADVERTISEMENT
Buyung merasa bimbang dalam mengambil sikap. Di satu sisi, Buyung merasa lebih dekat dengan Kakek karena Kakek selalu mendengarkan dan ramah, berbeda dengan ayahnya yang sering berbicara dengan nada tinggi.
Namun, di sisi lain ada keterikatan darah yang mengikat Buyung dengan ayahnya yang bisa dianggap lebih kuat dari ikatan kandung. Buyung merasa dilema karena takut dianggap durhaka jika tidak mengikuti perkataan ayahnya.
Apakah Buyung seperti kita?
Berapa kali kita dipaksa hidup mengikuti stereotip yang ada, yaitu larangan perempuan bekerja, laki-laki diharamkan menyukai bunga, peran ibu di rumah dan ayah di luar bekerja. Mengapa kita begitu patuh terhadap semua itu?
Membaca cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga semestinya membuat kita sadar bahwa Buyung adalah gambaran yang nyata, mencerminkan diri kita sendiri. Hidup sebenarnya memberikan banyak pilihan.
ADVERTISEMENT
Jika tidak suka putih, kita bebas memilih hitam. Jika tidak suka keduanya, masih ada berjuta spektrum warna lain yang dapat dipilih. Kita punya pilihan untuk menyukai semuanya atau bahkan tidak menyukai semuanya sama sekali!
Dilarang Mencintai Bunga-bunga
Bahwa tidak ada yang benar-benar benar atau salah dalam hidup ini, kecuali apa yang kita yakini dengan sungguh-sungguh.