Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bunga untuk Ibu
12 Maret 2021 21:42 WIB
Tulisan dari Moh dzaky Amrullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Moh. Dzaky Amrullah
Sejak kematian ayahku tiga tahun lalu, aku harus menjadi pemuda yang mandiri, lebih dari itu aku harus menjadi pemuda yang siap dan bisa mengurus keluarga. Kepergian ayahku mengharuskan mengurus ibu dan adik-adikku yang masih menginjak sekolah dasar. Aku tidak mau keempat adikku harus bekerja di usia yang belum pantas mengurus keluarga dan karena bekerja itu nantinya mereka juga harus kehilangan cita-cita mereka yang katanya akan menjadi pengusaha, biarlah aku yang menanggung beban keluarga dalam hal nafkah, karna aku adalah anak tertua yang notabenenya mempunyai tanggung jawab itu setelah kepergian ayah.
ADVERTISEMENT
Sejak kecil aku diajari ayahku supaya menjadi anak yang mandiri, sejak berumur tujuh tahun aku sudah bisa menjahit pakaianku sendiri, walaupun hasilnya tidak seindah tangan-tangan yang sudah berpengalaman, tapi kata ayahku itu lebih bagus daripada harus meminta tolong orang lain kalau kita bisa mengerjakan sendiri.
Lahir sebagai anak petani membuatku sedikit mahir dalam bertani dan berkebun, lahan yang ayah tinggalkan adalah satu-satunya harta milik keluarga kami yang bisa menghidupi keluarga. Dengan sedikit bekal dari ayahku, aku menyulap lahan itu menjadi kebun yang dapat menghasilkan panen, mulai dari panen yang bisa aku petik tiap musim dan yang bisa aku petik tiap bulannya atau bahkan bisa aku panen tiap minggunya. Selain dari ayah, aku juga belajar lewat internet, aku tidak mau dengan adanya internet itu membuatku menjadi pemuda yang malas, makanya aku memanfaatkannya untuk mencari cara menghasilkan panen yang banyak dalam lahan yang sempit.
ADVERTISEMENT
Mungkin kedewasaanku itu tidak hanya aku dapatkan dari pengalaman bersama ayah, tapi juga aku dapatkan lewat cerita ibu yang selalu membuatku terkagum. Sejak kecil aku sudah mendapat cerita tentang para Sahabat Rasulullah. Yang paling aku ingat adalah sosok Sayyidina Ali radiyallahu ‘anhu yang sudah sangat mandiri di usianya yang menurut kebanyakan orang itu belum pantas untuk mengerjakan pekerjaan orang dewasa, namun Sayyidina Ali radiyallahu ‘anhu mampu melakukan pekerjaan itu, bahkan beliau menikah pada usia kurang lebih 16 tahun.
Kata ibuku bukan hanya dalam hal nikahnya yang bisa kita contoh dari Sayyidina Ali radiyallahu ‘anhu, namun lihatlah dalam usia segitu muda sudah bisa menafkahi orang lain. Kata ibuku juga kalau ukuran kedewasaan itu bukan dari usia, tapi dari kapan kita mencontoh Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam, maka di situlah kita akan dewasa.
ADVERTISEMENT
Pernah aku tanyakan kenapa bukan umur yang menentukan kedewasaan kita dan kenapa ukuran itu adalah ketika kita mengikuti sunnah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam. Kata ibuku, sebab Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam di utus menjadi Nabi pada usia 25 tahun dan jika kita mencontoh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam itu sama saja kita sedang memerankan peran manusia terhebat pada usia 25 tahun. Sebab kata ibuku itu aku selalu berusaha mencontoh Rasulullah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalani hidup. Dan karna kata ayahku juga mandiri itu adalah sunnah.
Ibuku sering mengingatkanku untuk melanjutkan sekolah tinggi, namun aku selalu saja menolak dengan alasan aku akan bekerja saja dan mengurus keluarga. Dan malam itu mungkin ibuku sudah putus asa mengingatkanku. “engkau pergilah sekolah nak” kata ibuku sambil melipat pakaian adik-adikku.
ADVERTISEMENT
“Sudahlah bu jangan ingatkan aku lagi, aku sudah nyaman dengan ini” jawabku tanpa mengetahui kalau ibuku menangis. Sampai isak itu terdengar jelas di telingaku, barulah aku paham kalau ibu sedang menangis “ada apa bu?” kataku langsung mendekapnya.
“Engkau lanjutkanlah sekolahmu nak, kamu dulu lulus sebagai siswa terbaik, namun kamu tinggalkan beasiswa demi keluarga kita. Sekarang adik-adik biar ibu yang mengurusnya. Ibu rasa tabungan kita sudah cukup buat melanjutkan sekolahmu,” kata ibuku dalam pelukanku yang semakin erat.
“Tidak bu, tabungan itu untuk ibu nanti pergi ke tanah suci,” kataku yang pura-pura tegar menahan tangis.
“Kamu lupa satu hal nak,” kata ibuku lalu menatap tajam mataku “Rasulullah tidak hanya mencontohkan untuk mandiri, tapi juga mengajarkan untuk menghilangkan kebodohan dengan belajar. Dan ibu belum pernah menyampaikan ini, Sayyidina Ali itu terkenal dengan ilmunya nak”.
ADVERTISEMENT
Aku hanya bisa diam tak kuat berkata satu kata pun selain “terima kasih ibu.” Dalam lubuk hatiku yang paling dalam.